Candi Jawi
Dibangun sekitar abad 13, Candi Jawi bukanlah merupakan tempat pemujaan atau tempat peribadatan. Candi ini merupakan tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singosari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singosari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat beribadat Kertanegara.
Mengapa Kertanegara membangun candi di sini. Padahal, letaknya jauh dari pusat kerajaan? Bisa jadi karena di kawasan ini pengikut agama Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja.
Mungkin saja, kawasan Candi Jawi dijadikan basis pendukung Kertanegara. Terbukti, saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
Bentuk candi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah, dengan ukuran luas 14,24 x 9,55 meter dan tinggi 24,50 meter. Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina.
Biasanya, candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain menganggap sebagai candi pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari Buddha.
Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dinding. Sayangnya, relief ini belum bisa dibaca. Bisa jadi karena pahatannya yang terlalu tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas menceritakan candi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief tersebut. Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi Penataran yang masih jelas. Salah satu fragmen yang ada pada dinding candi, menggambarkan sendiri keberadaan candi Jawi tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi. Nampak Jelas pada fragmen tersebut pada sisi timur dari candi terdapat candi perwara sebanyak tiga buah, namun sayang sekali kondisi ketiga perwara tersebut saat ini bisa dibilang rata dengan tanah. demikan juga di fragmen tersebut terlihat jelas bahwa terdapat candi bentar yang merupakan pintu gerbang candi, terletak sebelah barat. Sisa-sisa bangunan tersebut memang masih ada, namun bentuknya lebih mirip onggokan batu bata, karena memang gerbang candi tersebut dibangun dari batu bata merah.
Disamping relief yang terletak dibagian dinding candi, terdapat pula relief lain yang terletak dibagian dalam candi. Terletak tepat dibagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian dalam candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas.
Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Bisa jadi ada dua periode pembangunannya.
Memang, Negarakertagama menyebutkan bahwa candrasengkala atau tahun Api Memanah Hari (1253 Saka) candi itu disambar petir. Saat itulah arca Maha Aksobaya raib. Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk yang mengunjungi candi itu sampai bersedih atas hilangnya arca tersebut. Memang ditemukan arca Maha Aksobaya yang kini disimpan di Taman Apsari, depan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, yang kemudian dikenal dengan Patung Jokodolog. Akan tetapi, arca ini bukan berasal dari Candi Jawi.
Setahun setelah disambar petir itu, dilakukan pembangunan kembali. Pada masa inilah diperkirakan menggunakan batu putih. Namun, dari mana batu putih tersebut? Karena, kawasan yang masuk kaki Gunung Welirang kebanyakan batu hitam. Batu putih banyak dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.
Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982.
Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Negarakertagama menyebutkan, di dalam bilik candi terdapat arca Siwa. Di atasnya terdapat Maha Aksobaya. Ada sejumlah arca bersifat Siwa, seperti Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma.
Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah berkeping-keping.
Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan patung. Selain itu, terdapat pagar bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit, seperti Candi Tikus di Trowulan dan Candi Bajangratu di Mojokerto.
Pemindahan arca pada satu sisi memang tepat untuk menghindarkan dari pencurian. Akan tetapi, dapat mengurangi substansi sejarahnya. Menjadi tidak lengkap. Arca-arca yang dipindah dari habitatnya menjadi kehilangan nilai historisnya. Lihat saja arca yang disimpan di Hotel Tugu Park, Malang. Arca-arca itu memang terawat baik, tetapi lantas tercabut dari nilai historis dan ritualitasnya. Suatu hal yang memang dilematis.