Tidi lo Polopalo

tarian tradisional dari Gorontalo

Tidi lo Polopalo adalah salah satu tarian yang terdapat di Gorontalo.[1] Tarian ini biasa digunakan di lingkungan istana namun saat ini masyarakat biasa telah dibolehkan untuk melaksanankannya. Melalui persyaratan yang ada. Persyaratan tersebut telah dikenal  dengan istilah Mopodungga lo tonggu (membayar perizinan adat) yang harus dilakukan oleh penyelenggara Tidi lo polopaloa. Mopodungga lo tonggu dilakukan dengan rangkaian adat yaitu keluarga pengantin yaitu harus menyerahkan sejumlah uang (sesuai ketetapan adat yang berlaku) yang diletakkan pada malam berhias, kepada pemangku adat. Selanjutnya uang tersebut diserahkan ke Baitul Maal sebagai uang kas mesjid atau lembaga peradatan. Tarian Tidi lo Polopalo memberikan gambaran kehalusan budi pekerti kaum wanita, keramah tamahan serta pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang akan diembannya setelah berumah tangga.

Sejarah

Pada abad XVI (1524-1581Masehi), Gorontalo dibawah pemerintahan Raja Amai yang memiliki tiga orang anak yaitu seorang putra bernama Matolodulakiki dan dua orang putri bernama Ladihulawa dan Pipito. Di zaman itu setiap orang diberi kebebasan menjadi hulubalang raja dengan syarat memiliki kemampuan dalam ilmu beladiri, dan diikutkan dalam sayembara untuk menjadi hulubalang raja. Selanjutnya oleh Matolodulakiki, sayembara menguji para pemuda itu diangkat menjadi salah satu tradisi yang hingga saat ini dikenal dengan sebutan Molapi Saronde. Hal itu menimbulkan perasaan cemburu pada dua orang putri raja sehingga mereka pun memohon izin pada raja untuk mengimbangi kemajuan laki-laki dengan menciptakan tarian yang dikenal dengan Tidi lo Polopalo. Melalui Tidi lo Polopalo, putri raja hendak menggambarkan kehalusan budi pekerti kaum wanita, keramah tamahannya serta pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang akan diembannya setelah berumah tangga.

Rujukan

  1. ^ Kemendikbud RI (01-01-2017). "Warisan Budaya Tak Benda Indonesia". Penetapan Tidi Lo Polopalo. Diakses tanggal 21-09-2019.