Suku Polahi
Suku Polahi adalah sebukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo.[1] Menurut cerita yang beredar di masyarakat, polahi adalah masyarakat pelarian zaman dahulu yang melakukan eksodus ke hutan karena takut dan tidak mau dijajah oleh Belanda[2] sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini.
Suku ini mengasingkan diri sekitar abad ke-17 dan kini hidup di pedalaman hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo.[3]
Asal Mula
Konon orang Polahi adalah pelarian pada zaman Belanda. Dalam kamus bahasa Gorontalo, Polahi berasal dari kata "Lahi-lahi" yang artinya, pelarian atau sedang dalam pelarian. Polahi adalah pelarian pada masa penjajahan Belanda yang takut atau tidak mau membayar pajak, yang kemudian tinggal di hutan tepatnya di lereng Gunung Boliyohuto di Desa Tamaila Utara, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo.[2]
Menurut catatan sejarah yang ada, sejatinya suku Polahi merupakan warga Gorontalo yang pada masa penjajahan Belanda dulu melarikan diri ke dalam hutan yang dikarenakan oleh pemimpin mereka waktu itu tidak mau ditindas oleh penjajah. Oleh karena itu, orang Gorontalo menyebut mereka Polahi, yang artinya "pelarian".[4]
Hal ini menjadikan orang Polahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indonesia merdeka, sebagian keturunan Polahi masih tetap bertahan tinggal di hutan. Sikap anti penjajah tersebut masih terbawa terus secara turun-temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap penindas dan penjajah.[1]
Kehidupan
Hidup dalam keterasingan selama berada di hutan rimba membuat orang Polahi tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan dan agama. Keturunan Polahi menjadi warga masyarakat yang sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata sosial pada umumnya. Polahi juga tidak mengenal ilmu baca tulis serta lagi tidak menganut agama atau kepercayaan.[1]
Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah dialek Gorontalo dan menganut agama tradisional. Suku Polahi hidup dari bercocok tanam ala kadarnya dan berburu binatang seperti babi hutan, rusa, serta ular sanca. Suku Polahi juga belum mengenal pakaian seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah suku Polahi sangat sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat badan. Suku Polahi juga tidak bersekolah dan menikmati fasilitas kesehatan modern. Untuk menuju ke tempat suku polahi, diperlukan waktu sekitar 7 jam dengan berjalan kaki menaiki gunung.[1]
Orang Polahi sangat terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak mempunyai pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan suku Polahi tidak mengenal hitung-menghitung dan tidak mengenal nama hari dalam kalender. Atas bantuan para peneliti, saya dapat bertemu dengan tiga orang Polahi yang telah turun dari gunung. Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". Sebelumnya saya mendengar bahwa orang Polahi hanya mengenal dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".
Kepercayaan
Orang Polahi hidup dalam kelompok-kelompok kecil di belantara hutan Gorontalo mengenal 3 tuhan dalam kepercayaannya. Ketiga tuhan ini adalah Pulohuta, Lati dan Lausala.[5]
1. Pulohuta, digambarkan sebagai sosok yang hidup serta memiliki kuasa atas tanah. Konsepnya berasal dari nenek moyang. Pulohuta adalah sepasang suami istri. Bila Polahi hendak membuka hutan, maka mereka akan meminta izin dahulu kepada Pulohuta.[5] Selain memegang kuasa atas tanah, Pulohuta juga memegang kuasa atas hewan di hutan. Bentuk penghormatan orang Polahi kepada Pulohuta, adalah jika mereka mendapat hewan buruan, bagian tertentu dari tubuh hewan itu diiris seperti kuping, mulut, dan lidah, kemudian ditaruh di tunggul kayu untuk dipersembahkan kepada Pulohuta.
2. Lati, Tuhan Lati digambarkan sebagai sosok makhluk hidup yang menghuni pohon-pohon besar serta di air terjun. Ukuran tubuhnya digambarkan kecil-kecil seukuran boneka dalam jumlah banyak. Lati merupakan pemegang kuasa atas pohon. Bila Polahi ingin menebang pohon besar atau mengambil madu lebah hutan yang terdapat di atasnya, Polahi membakar kemenyan, merapal mantera dengan tujuan menyuruh Lati pindah ke pohon lain.[5]
3. Lausala, dalam narasi Polahi layaknya tokoh marvel (super human). Tokoh antagonis yang digambarkan sebagai sosok yang haus minum darah. Sosok Lausala ternyata bukan hanya dideskripsikan sebagai tokoh laki-laki, sebab ada juga perempuan tua yang disebut-sebut sebagai Lausala. Polahi membuat beberapa gambaran untuk meyakinkan bahwa Lausala itu benar-benar ada. Orang Polahi meyakini Lausala memiliki mata merah, membawa pedang yang menyala dan ia bisa pindah dengan cepat dari balik bukit ke bukit yang lain. Menurut polahi, jika ada anjing menggonggong, itu salah satu pertanda hadirnya Lausala.[5]
Perkawinan Sedarah
Masyarakat Polahi hidup nomaden. Mereka tinggal dalam gubuk-gubuk kayu sederhana supaya mudah untuk ditinggalkan.[6] Ketika ada anggota polahi yang meninggal dunia, maka akan dikuburkan disitu, kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Polahi pindah untuk mencari lokasi baru lag dengan membawa alat masak, pakaian, terus piring gelas, dan alat yang bisa dipakai.
Rasa takut yang mendalam terhadap jenazah menjadi penyebab masyarakat Polahi untuk meninggalkan rumah mereka.[6] Polahi sering berpindah ke tempat yang lain, lalu membangun gubuk-gubuk baru. Dengan pola hidup demikian, masyarakat Polahi hanya berkutat dengan kelompoknya. Hal tersebut kemudian melahirkan tradisi pernikahan sedarah atau antarsaudara.[6]
Kawin dengan saudara kandung adalah hal yang biasa dalam Suku Polahi. Sesepuh pada salah satu Kelompok Polahi yaitu Kelompok 9 adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia mengawini kedua saudara kandungnya ini sekaligus. Istrinya yang satu tak mempunyai anak, sedangkan satu lagi mempunyai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Meski hidup mengasingkan diri dan bertradisi berbeda dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat Polahi terbilang terbuka dengan masyarakat di luar lingkupnya.[7].
Budaya makan sehari sekali
Masyarakat suku Polahi memiliki kebiasaan unik, diantaranya masyarakat Polahi yang hanya makan sehari sekali. Dalam sehari orang Polahi cuma makan sekali yaitu di sore hari saat jam 5 saat menjelang maghrib. Mereka mengonsumsi umbi-umbian yang sebelumnya telah mereka tanam dan tidak terbiasa mengonsumsi beras. Diketahui mereka bercocok tanam menanam umbi-umbian (ubi jalar), pepaya, dan pisang. [6]
Referensi
- ^ a b c d "Kisah Suku Polahi dan Cerita Mistis yang Melingkupinya". Bangka Pos. Diakses tanggal 2020-09-22.
- ^ a b Liputan6.com (2019-08-28). "Mengenal Suku Polahi, Komunitas Adat yang Masih Langgengkan Kawin Sedarah". liputan6.com. Diakses tanggal 2020-09-21.
- ^ Solihin, ANTARA FOTO/Adiwinata. "Mengenal Kehidupan Suku Pedalaman Polahi di Gorontalo". detiknews. Diakses tanggal 2020-09-21.
- ^ Sabtu; Mei 2020, 23 Mei 2020 12:00 WIB 23; Wib, 12:00 (2020-05-23). "Mengenal Suku Polahi yang Hidup Terasing di Pedalam Hutan Gorontalo". indozone.id. Diakses tanggal 2020-09-22.
- ^ a b c d Media, Kompas Cyber. "Terungkap, Suku Polahi di Hutan Gorontalo Mengenal Tiga Tuhan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-09-22.
- ^ a b c d "Kisah Masyarakat Polahi di Gorontalo yang Punya Tradisi Nikah Sedarah". kumparan. Diakses tanggal 2020-09-22.
- ^ http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/01/13/0003.html