Sudirman Nasir

Revisi sejak 16 Oktober 2020 07.16 oleh Nur Rafiza Putri (bicara | kontrib) (Membuat tulisan baru tentang profil Sudirman Nasir)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Sudirman Nasir lahir pada 31 Desember 1973 di Soppeng, Sulawesi Selatan. Sudi adalah seorang ilmuwan Indonesia di bidang kesehatan masyarakat dengan keahlian, antara lain, perilaku berisiko remaja dan obat terlarang, HIV-AIDS, kesehatan ibu, serta penyakit tidak menular.

Pendidikan

Masa kecil Sudi dihabiskan di sebuah kampung di Soppeng, pedalaman Sulawesi Selatan, dan masa remajanya dilewatkan di Kota Makassar. Selepas SMA pada 1991, Sudi melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar, dan lulus pada tahun 1998.


Sudi melanjutkan pendidikan pascasarjana Master in Women’s Health (program master riset) di University of Melbourne dengan beasiswa Australia Development Scholarship (2004-2006). Ia menyelesaikan tesisnya yang berjudul Stories from the lorong; Drug subculture and the social context of HIV-risk behaviours among intravenous drug users in Makassar, Indonesia, dengan kategori First Class Honours.


Sudi melanjutkan penelitian terkait penggunaan obat-obatan terlarang di lorong (kawasan ekonomi bawah) di Makassar dalam disertasinya yang berjudul Drug use and non-drug use among young people in a lorong (slum area) in Makassar, Indonesia. Setelah berhasil mempertahankan disertasinya pada 2011, Sudi memperoleh gelar PhD dari University of Melbourne dengan beasiswa dari University of Melbourne dan Nossal Institute of Global Health.

Kiprah Penelitian

Meskipun lulus sebagai seorang sarjana kedokteran, Sudi memilih melanjutkan studi pascasarjananya di bidang kesehatan masyarakat. Fokus penelitian Sudi bermula dari ketertarikannya pada perilaku berisiko remaja di kawasan menengah ke bawah di Makassar, lingkungan tempat tinggal Sudi pada akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Pada masa itu, pandemi HIV-AIDS mulai muncul di Indonesia dan semakin banyak anak muda yang terpapar, terutama dari kalangan berperilaku risiko tinggi seperti pengguna narkotika suntik. Terdapat sejumlah faktor biomedis maupun sosial-ekonomi yang memengaruhi kerentanan kelompok tersebut. Sudi mengeksplorasi aneka faktor itu dalam tesis dan disertasinya di Universitas Melbourne dan menghasilkan sejumlah publikasi ilmiah.[1],[2] Sudi juga terlibat dalam sejumlah program pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di Sulawesi Selatan dan Indonesia sejak pertengahan 1990-an.


Setelah menyelesaikan program doktoral di Universitas Melbourne pada 2011, Sudi kembali ke Indonesia dan menjadi pengajar serta peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin. Ia melanjutkan penelitian mengenai topik tersebut dan secara bertahap melebarkan topik penelitiannya pada hal-hal lain terkait kesehatan masyarakat.


Pada 2013 hingga 2018, Sudi tergabung sebagai peneliti senior dalam sebuah konsorsium penelitian lintas negara, yaitu dua negara Asia, empat negara Afrika, dan dua negara Eropa (ReachOut Consortium, didukung oleh European Commission). Konsorsium ini melakukan penelitian lapangan di fasilitas-fasilitas kesehatan tingkat primer di sepuluh negara tersebut. Di Indonesia, penelitian lapangan dilakukan di fasilitas kesehatan berbasis masyarakat (puskesmas, posyandu, polindes) di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dan di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini merupakan kolaborasi antara Liverpool School of Tropical Medicine (UK) dan Royal Tropical Institute, Belanda, yang membuahkan sejumlah publikasi ilmiah dan program peningkatan kapasitas serta kualitas layanan kesehatan di wilayah penelitian.[3],[4]


Pada 2016 hingga 2019, Sudi terlibat sebagai peneliti senior di divisi kesehatan untuk studi “One-Health: Sustainability and profitability of cocoa based farming in Sulawesi, Indonesia”. Penelitian ini merupakan kajian bersama antara University of Sydney dan Institut Pertanian Bogor, dengan dukungan Australia-Indonesia Centre. Penelitian lintas disiplin ini juga menghasilkan sejumlah publikasi ilmiah sekaligus upaya pengembangan dan penerapan kurikulum pelatihan One-Health bagi para tenaga kesehatan dan pertanian di wilayah itu.[5]


Sudi tetap menjadi peneliti senior di dalam program Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR), Australia-Indonesia Centre hingga tahun 2022.

Kiprah Profesional Akademik

Pada 2014, Sudi ditunjuk oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sebagai salah satu anggota Komite Studi penyusunan dokumen SAINS45: Agenda Ilmu Pengetahuan Indonesia Menyongsong Seratus Abad Kemerdekaan hingga dokumen tersebut terbit pada 2016.[1]


Komite Studi penyusun SAINS45 kemudian tergabung dalam sebuah organisasi otonom di bawah AIPI, yaitu Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Bersama 12 anggota komite studi SAINS45 lainnya, Sudi menjadi anggota-pendiri sekaligus Ketua Kelompok Kerja Sains dan Pendidikan ALMI yang dibentuk pada 20 Mei 2015.


Pada 2017, Sudi kembali terpilih sebagai anggota Komite Studi penyusunan dokumen Sains untuk Biodiversitas Indonesia,[2] sebuah dokumen yang mentranslasikan SAINS45 untuk lebih dapat diimplementasikan oleh pembuat kebijakan.


Sejak 2019, Sudi menjadi senior research fellowdi Program PAIR (Partnership for Australia-Indonesia Research), Australia-Indonesia Centre (AIC), hingga tahun 2022.


Selain menulis artikel-artikel ilmiah di jurnal-jurnal akademik, Sudi juga secara berkala menulis untuk publik awam mengenai berbagai masalah kesehatan termasuk tentang pandemi Covid-19 di sejumlah media massa lokal, nasional,dan internasional.[3],[4],[5]

Penghargaan

Kontribusi Sudi di ranah ilmiah dan aktivisme di bidang kesehatan masyarakat menjadikan Sudi mendapatkan sejumlah penghargaan berupa fellowship, antara lain, Eisenhower Fellowship (Global Program, 2019), Amerika Serikat; SAME Fellowship in Liverpool School of Tropical Medicine (visiting scholar didanai oleh Kemenristek Dikti RI, 2018), UK; Asia Leadership Fellow Program (ALFP, 2017) yaitu  visiting fellow di Jepang lewat dukungan Japan Foundation-International House of Japan, Tokyo.


[1] ttps://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0955395908000327

[2]https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0955395911001873

[3] https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0277953616303732

[4] https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14635240.2020.1719862

[5] https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352771419300564


[6] https://almi.or.id/sains45/

[7] https://almi.or.id/2019/11/18/buku-sains-untuk-biodiversitas-indonesia/

[8] https://www.thejakartapost.com/academia/2020/10/07/masculinity-hinders-covid-19-prevention-measures.html


[9] https://www.policyforum.net/covid-19-and-mental-health-in-indonesia/

[10] https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/20/120200823/jika-tak-ada-intervensi-kasus-corona-di-indonesia-bisa-tembus-71000-akhir?page=all