Besse Langello Arung Bulo-Bulo
Besse Langello Arung Bulo-Bulo
Biografi
Besse Langelo alias We Mataesso alias Daeng Ritikka adalah Raja Bulo-Bulo ke-23 yang pada mulanya menjadi Arung Pansare' di Lamatti & Bulo-bulo ketika dikirim oleh Raja Bone. Raja perempuan pemberani ini dicatat dalam Buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (Abduh, 1982)1. Dialah yang berjuang menentang dan berperang melawan Belanda dari tahun 1817 sampai tahun 18193, yang ketika itu sempat mengkoca-kacirkan pasukan Belanda. Dia jugalah yang mengangkat La Makkarodda atau Baso Kalaka, yang digelar Petta Malampe'e Uttuna sebagai Sullewatang Bulo-Bulo. Dia jugalah yang melantik I Mandasini atau La Puteici sebagai Panglima Perang di Tellu Limpo'e. Dia juga melantik I Patimbangi, yaitu Arung Patimpeng sebagai Arung Pasanre (Raja Perwakilan) di Bulo-Bulo. Dia jugalah yang memulai membentuk kerajaan Taipa bagian bawah dan Arung Kalaka pada bagian atas. I Rannu alias Baco Balubu yang dilantik menjadi Arung di Kalaka, I Denggo sebagai Arung di Taipa bagian atas pada tahun 1824. Sebelum Langello, Perang dengan Belanda juga terjadi akibat sikap dari Kerajaan Bulo-bulo yang tidak memperkenankan Belanda memungut bea pada pelabuhan di muara sungai Tui dan sungai Tangka dan Kerajaan Bulo-Bulo tetap mengadakan hubungan. dengan Kerajaan Bone sebagai daerah "passiajingeng" yang oleh Belanda dilarang serta pengangkatan I Cella sebagai Raja Bulo-bulo ke-XIV pada tahun 1823 tanpa sepengetahuan Belanda dan didirikannya benteng pertahanan di Mangarabombang dan Tongke-tongke yang sebenarnya dilarang keras oleh Belanda. Usaha Belanda untuk memaksakan kekuasaannya di Sinjai,melahirkan suatu perlawanan rakyat yang berlangsung dari tahun I 823 - 1859 dipelopori oleh raja Bulo-bulo I Cella beserta ·Sullewatang Kerajaan Bulo-bulo Baso Kalaka. Masa perlawanan tersebut cukup lama yaitu 36 tahun. Selama berlangsungnya perlawanan itu, di Kerajaan Bulo-bulo terjadi empat kali pergantian raja yaitu: I Cella : 1823 - 1835, Ismail Daeng Mallengu: 1836 - 1840, We Mataesso Daeng Ritikka yang bergelar Besse Langello : 1841 - 1856 , dan pada masa Ahmad Singkerurukka Arung Palaka : 1856 - 1859. Singkat cerita, Sesuai dengan amanat Ismail Daeng Mallengu yang juga disepakati oleh pemuka kerajaan dan rakyat Bulo-bulo, beliau digantikan oleh We Mataesso Daeng Ritikka yang bergelar Besse Langello. Peristiwa ini menyebabkan kemarahan pemerintah Hindia Belanda. Belanda menyusun kekuatan baru untuk menyerang Bone terlebih dahulu, dengan pertimbangan bahwa selama Kerajaan Bone masih kuat, maka perlawanan Kerajaan Bulo-bulo tidak akan berhenti, Pada bulan Maret 1855 Belanda mulai menyerang kembali Sinjai, dimana Baso Kalaka sebagai pimpinan lasykar perjuangan menghalau Belanda. Pertempuran berlangsung di benteng Mangara Passahakue. Pada tahun 1859 seluruh daerah Sinjai dikuasai oleh Belanda. Sebagai rangkaian penguasaan Belanda di daerah ini, Ahmad Singkeruruka meletakkan jabatannya sebagai raja Bulo-bulo pada tahun 1860 dan sebagai penggantinya,Belanda mengangkat Abdul Ganing sebagai Regent Bulo-bulo. Besse Langelo wafat dan dimakamkan di Bulu Paijo sehingga digelari MatinroE ri Bulu Paijo.
Riwayat Keluarga
Dari Lontaraq Paliweng Bulo-Bulo5, Besse Langello dinikahi oleh La Mappasessu To Appatunru sebelum naik tahta menjadi Raja Bone ke-24 menggantikan orang tuanya, Dari Arung Bulo-Bulo ini lahir 3 orang anak yaitu La Pamulu To Paraungi Arung Cabalu, We Lebbi Daeng Tanyalla, dan La Bagenda Daeng Massolong yang juga dikenal sebagai Petta Janggo.
La Pamulu menikah dengan We Dattaro, anak dari La Mappamellang Datu Salomekko & Arung Salangketo dengan istrinya We Tenri Jai Arung Bulo-bulo (Sinjai), lalu lahirlah delapan orang anak yaitu Andi Abdul Wahid Petta Bani, Andi Mallawangeng Petta Bela, Andi Kasi Petta Mase, Andi Lumba Petta Sese, Andi Paduai Petta Mala Arung Mario, Andi Patellui Petta Sau Arung Sumaling, Andi Eppa Petta Solong, dan Andi Mella Petta Wero, Sullewatang Barebbo. Salah satu anak La Pamulu yaitu La Patellui Petta Sau, menikah dengan We Buatimo Petta Ungga Arung Saweng yang melahirkan Andi hatile Petta jeppu. Petta Jeppu menikah dengan Petta Kanang lalu lahirlah Andi Mattotorang Petta Rau yang merupakan ayahanda dari mantan Bupati Sinjai 1983-1993, Andi Arifuddin Mattotorang yang juga ayah dari Vokalis Andi Fadly Arifuddin. La Patellui juga kawin dengan I Sabina Daeng Taminne yang melahirkan Andi Makkulau Petta Tone' yang adalah ayahanda mantan Bupati Sinjai 1971-1983, Andi Bintang Makkulau.
Lanjut ke anak berikutnya, We Lebbi Daeng Tanyalla. Bau Lebbi' menikah dengan Lannaco Dulung Awa Tangka, melahirkan Bau Buana yg kawin dengan La makkuasse Petta Inru kemudian lahirlah Bau Mapparenna Petta Kanang, Bau Mattulada Petta Tangnga dan Bau Welampe Petta Tappa. Salah seorang keturunanna adalah Mantan Wakil Rektor Unhas, Prof. Dr. Dokter H.A.M.Akil, Sp.PD., K-GEH, FINASIM. atau juga yang dikenal sebagai Andi Ambo Mai Petta Hajji yang merupakan anak dari Andi Akil Petta Bara bin Bau Mattulada. Selanjutnya, anak terakhir yaitu Bau Bagenda Petta janggo menikah dengan Besse Talle' yang melahirkan Bau Parukku.
Lagu Heroik Perjuangan (Osong)
Salah satu yang juga populer dari Besse langello untuk penyemangat perang melawan Belanda, sebagaimana diteliti Balai Bahasa Ujung Pandang (Darmawati, 2012)2 yang mengulas elong osong Mata Essona BuloBulo dan menemukan bahwa osong Besse Langelo mewariskan konfigurasi heroik kepada generasi muda, yaitu berperang melawan musuh demi keutuhan negeri tercinta dan mengutamakan keberanian pribadi dalam membela tanah air, dan kedua konfigurasi heroik tersebut patut diteladani. Osong ini adalah osong perjuangan yang diungkapkan untuk membangkitkan semangat para pemimpin kerajaan dan para pemberani pada saat itu. Sebagai seorang pejuang, penutur harus melawan pasukan perang Belanda agar tidak mudah masuk berkuasa di negeri Tellu LimpoE. Kutipan lagu heroik bugis tersebut dan terjemahannya adalah sebagai berikut:
- Gilissako alauk,/ ‘Tengoklah ke arah timur
- mitai caronakkonang / Lihatlah terapung‐apung
- kappalak pitubbatu e, / Kapal yang berjumlah tujuh buah
- kappalak passiunona Balanda pute mata e. / Kapal perang Belanda si putih mata
- Rekkuwasia labela tettinulukko / Jika engkau tidak rajin
- mewai mappasiduppang palek lima /bertemu tangan (melawan) dengan mereka
- temmareso Balanda pute mata e, / maka Belanda si putih mata tidak bersusah payah’
- Pada soroko labela ri langkanamu / ‘mundurlah kalian semua pulanglah ke istanamu
- mutudang siwiduwidu awiseng rilebbiremmu / engkau duduk bercengkrama dengan istri kesayanganmu
- muwassuro timpak i panimpakmu mukuwa ttellong / engkau suruh membuka jendelamu kemudian di situlah menjenguk
- Nawatakku masaliweng pasang lingkajo pammusu / dan aku sendiri keluar memakai pakaian perang
- mupomagga sulangali / engkau perhatikan
- makkunrai samanna ilek buaja / perempuan menyerang bak buaya
- botogagareng, / menganga
- mabbitte manuk to Saddek. / bertarung bagaikan ayam to Saddek
Osong lainnya dari Besse Langello juga pernah dimuat dalam Jurnal Perancis oleh Gilbert Hamonic (1980)4 yang mengulas bahasa Tuhan ke bahasa sejarah dengan catatan kaki no. 18 bahwa tolo atau epik kepahlawan bugis sering ditulis atas permintaan raja/ratu tanpa menyebutkan penulisnya sendiri dengan mengambil contoh epos yang luar biasa dari Besse Langelo yang memerintah Bulo-Bulo (Tellu LimpoE) ketika berperang melawan Belanda pada tahun 1825 sebagai berikut:
- Mamminasawa', La Puang, / Maître, je fais le serment,
- Malluru samanna ile' / D'attaquer comme l'éclair
- Buaja boto gagareng, / Semblable au roi surnaturel des crocodiles.
- Mattumpu' samanna tedong, / De cogner comme un buffle
- Mdbitte manu' tosadeng, / De combattre comme un coq ensorcelé,
- Malluhtang kua ese', / De perforer comme un instrument pointu,
- Mattoreang kua salaga,/ De réduire en morceaux comme une herse,
- Kupakkarompa'sai / Je passerai à travers les crocs
- Balanda Pute Mataé! / Des Hollandais aux yeux clairs !
- Natellu taung makkanna, / Durant trois ans, ils se firent la guerre.
- Ala engkaga, la bêla! / Pas un seul moment, O ami !
- Sipassoro massau tekko / Ils n'eurent l'occasion de faire trêve
- Tessipaile' matanna / Ou de ne garder qu'un seul oeil ouvert
- Napaakkua rumpu' u'ba'/ En raison de la fumée des fusils qui, des deux côtés
- Wali-wali mallalatung / S'étendait comme la mer jusqu'au firmament
Referensi
- Abduh, M. et al. (1981) Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Depdikbud, Jakarta.
- Darmawati, B. (2012). Konfigurasi Heroik Dalam Sastra Bugis: Suatu Pendekatan Sosiologi. Jurnal Atavisme Vol 15, No 1.
- Gising, Basrah (2002). Sejarah Kerajaan Bulo-bulo, Lamatti & Tondong, Suatu Bentuk manifestasi Sinjai Bersatu. Penerbit Era Media, Makassar.
- Harmonic, G. (1980) . Du "langage des Dieux "au langage de l'Histoire. Quelques remarques à propos de l'historiographie bugis de Célèbes. Jurnal Archipel, Vol. 20.
- Pamulu, M. (2018) Besse Langello, We Mataesso Daeng Ritikka. Blog Pribadi, Jakarta.