Nusantara

istilah bahasa Jawa Kuno untuk teritori Majapahit yang berbentuk kepulauan

Nusantara adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah yang membentang dari Semenanjung Malaya sampai Caledonia Baru, yang sekarang sebagian besar merupakan wilayah banyak negara. Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Melayu dan bahasa Portugis Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep kewilayahan yang ada di sebelah selatan Asia Tenggara.

Peta kepulauan Nusantara berlapis emas melambangkan tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia di Ruang Kemerdekaan Monas, Jakarta

Setelah sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Yusof Ishaq[1] sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Filipina (Nusantara Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-12 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris dan bahasa Perancis.

Gajah Mada pernah menyatakan dalam Sumpah Palapa: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pattanj, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Luzon, Tanah Maori, samana ingsun amukti palapa.

Terjemahannya adalah: "Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pattani, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Luzon, Tanah Maori. demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah "Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup wilayah modern Malaysia, Indonesia, Brunei, Filipina, ditambah wilayah Tanah Maori, dan Fiji. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Melayu Kuno nusa ("pulau") dan antara (lain/seberang).

Dwipantara

Kebanyakan sejarawan Indonesia mempercayai bahwa konsep kesatuan Nusantara bukanlah pertama kali dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa pada tahun 1336, melainkan dicetuskan lebih dari setengah abad lebih awal oleh Kertanegara pada tahun 1275. Sebelumnya dikenal konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kertanegara, raja Singhasari.[2] Dwipantara adalah kata dalam bahasa Sanskerta untuk "kepulauan antara", yang maknanya sama persis dengan Nusantara, karena "dwipa" adalah sinonim "nusa" yang bermakna "pulau". Kertanegara memiliki wawasan suatu persatuan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi serangan penyerbuan Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok. Karena alasan itulah Kertanegara meluncurkan Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik dengan kerajaan Kerajaan Melayu di Indragiri. Pada awalnya ekspedisi ini dianggap penakhlukan militer oleh orang-orang Minang di sebelah barat pulau Sumatra, akan tetapi belakangan ini diduga ekspedisi ini lebih bersifat upaya diplomatik berupa unjuk kekuatan dan kewibawaan untuk menjalin persahabatan dan persekutuan dengan kerajaan Melayu.

Penggunaan modern

Pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara memperkenalkan nama "Nusantara" untuk menyebut wilayah Hindia Belanda. Nama ini dipakai sebagai salah satu alternatif karena tidak memiliki unsur bahasa asing ("India"). Alasan ini dikemukakan karena Belanda, sebagai penjajah, lebih suka menggunakan istilah Indie ("Hindia"), yang menimbulkan banyak kerancuan dengan literatur berbahasa lain. Definisi ini jelas berbeda dari definisi pada abad ke-14. Pada tahap pengusulan ini, istilah itu "bersaing" dengan alternatif lainnya, seperti "Indonesië" (Indonesia) dan "Insulinde" (berarti "Hindia Kepulauan"). Istilah yang terakhir ini diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker.[1]

Ketika akhirnya "Indonesia" ditetapkan sebagai nama kebangsaan bagi negara independen pelanjut Hindia Belanda pada Kongres Pemuda II (1928), istilah Nusantara tidak serta-merta surut penggunaannya. Di Indonesia, ia dipakai sebagai sinonim bagi "Indonesia", baik dalam pengertian antropo-geografik (beberapa iklan menggunakan makna ini) maupun politik (misalnya dalam konsep Wawasan Nusantara).

Nusantara dan Kepulauan Melayu

Literatur-literatur Eropa berbahasa Inggris (lalu diikuti oleh literatur bahasa lain, kecuali Belanda) pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 menyebut wilayah kepulauan mulai dari Sumatra hingga Kepulauan Rempah-rempah (Maluku) sebagai Malay Archipelago ("Kepulauan Melayu"). Istilah ini populer sebagai nama geografis setelah Alfred Russel Wallace menggunakan istilah ini untuk karya monumentalnya. Pulau Papua (New Guinea) dan sekitarnya tidak dimasukkan dalam konsep "Malay Archipelago" karena penduduk aslinya tidak dihuni oleh cabang ras Mongoloid sebagaimana Kepulauan Melayu dan secara kultural juga berbeda. Jelas bahwa konsep "Kepulauan Melayu bersifat antropogeografis (geografi budaya). Belanda, sebagai pemilik koloni terbesar, lebih suka menggunakan istilah "Kepulauan Hindia Timur" (Oost-Indische Archipel) atau tanpa embel-embel timur.

Ketika "Nusantara" yang dipopulerkan kembali tidak dipakai sebagai nama politis sebagai nama suatu bangsa baru, istilah ini tetap dipakai oleh orang Indonesia untuk mengacu pada wilayah Indonesia. Dinamika politik menjelang berakhirnya Perang Pasifik (berakhir 1945) memunculkan wacana wilayah Indonesia Raya yang juga mencakup Britania Malaya (kini Malaysia Barat) dan Kalimantan Utara[3]. Istilah "Nusantara" pun menjadi populer di kalangan warga Semenanjung Malaya, berikut semangat kesamaan latar belakang asal usul (Melayu) di antara penghuni Kepulauan dan Semenanjung.

Pada waktu negara Malaysia (1957) berdiri, semangat kebersamaan di bawah istilah "Nusantara" tergantikan di Indonesia dengan permusuhan yang dibalut politik Konfrontasi oleh Soekarno. Ketika permusuhan berakhir, pengertian Nusantara di Malaysia tetap membawa semangat kesamaan rumpun. Sejak itu, pengertian "Nusantara" bertumpang tindih dengan "Kepulauan Melayu".

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Justus M. van der Kroef (1951). "The Term Indonesia: Its Origin and Usage". Journal of the American Oriental Society. 71 (3): 166–171. doi:10.2307/595186. 
  2. ^ Indonesia Negara Maritim (in Indonesian)
  3. ^ Ketika Halaman Sudah Ditetapkan. Tempo Interaktif edisi 15 Agustus 2005.

Pranala luar