Kadipaten Jipang
Ini adalah artikel yang memenuhi kriteria penghapusan cepat, tetapi tidak ada alasan yang diberikan untuk memenuhinya. Pastikan bahwa alasan Anda telah memenuhi salah satu syarat KPC. Ganti tag dengan {{db|1=alasan Anda}}
. NA
Jika artikel ini tidak memenuhi syarat KPC, atau Anda ingin memperbaikinya, silakan hapus pemberitahuan ini, tetapi tidak dibenarkan menghapus pemberitahuan ini dari halaman yang Anda buat sendiri. Jika Anda membuat halaman ini tetapi Anda tidak setuju, Anda boleh mengeklik tombol di bawah ini dan menjelaskan mengapa Anda tidak setuju halaman itu dihapus. Silakan kunjungi halaman pembicaraan untuk memeriksa jika sudah menerima tanggapan pesan Anda.
Ingat bahwa artikel ini dapat dihapus kapan saja jika sudah tidak diragukan lagi memenuhi kriteria penghapusan cepat, atau penjelasan dikirim ke halaman pembicaraan Anda tidak cukup meyakinkan kami.
- Kepada nominator: Tempatkan templat:
{{subst:db-reason-notice|Kadipaten Jipang|header=1|tidak ada alasan yang diberikan}} ~~~~
- pada halaman pembicaraan pembuat/pengunggah.
Kepada pengurus: artikel ini memiliki isi pada halaman pembicaraannya yang harus diperiksa sebelum dihapus.
Pengurus: periksa pranala balik, riwayat (beda), dan catatan sebelum dihapus. Periksa di Google.
Halaman ini terakhir disunting oleh Arya Mataram (kontribusi | log) pada 16:04, 4 Desember 2020 (UTC) (3 tahun lalu)
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. Mohon bantu kami mengembangkan artikel ini dengan cara menambahkan rujukan ke sumber tepercaya. Pernyataan tak bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus. Cari sumber: "Kadipaten Jipang" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR (November 2020) |
Kadipaten Jipang adalah nama sejarah yang disebut-sebut dalam beberapa kronik Jawa, khususnya yang terkait dengan Kerajaan Islam Demak dan berdirinya Kerajaan Pajang.[1] Jipang merupakan Kerajaan vazal dari Kerajaan Islam Demak. Nama Jipang muncul dalam catatan sejarah karena penguasanya saat itu Arya Penangsang, adalah satu - satunya orang yang mempertahankan Kedaulatan Kerajaan Demak setelah wafatnya Mukmin atau Sunan Prawoto Raja Demak keempat th 1547.
Wilayah Kadipaten Jipang sekarang kira-kira mencakup kawasan Blora, Cepu, Lasem, dan Bojonegoro. Nama "Jipang" masih dipakai sebagai nama desa di bagian selatan Kecamatan Cepu (Desa Jipang) yang dulu pernah menjadi kota kedudukan sang adipati. Nama "Panolan" sekarang juga menjadi nama desa (Desa Panolan) yang tak jauh dari Jipang, namun sekarang berada di wilayah administrasi Kecamatan Kedungtuban.
Mengurai Mitos Jipang
Harus diakui bahwa kronologi Jipang sampai saat ini belum secara terbuka disajikan dan dikaji lebih dalam. Tetapi terlanjur Jipang identik dengan sebuah kerajaan ‘merah’, yang terkungkung pada kisah seorang Arya Panangsang. Walaupun secara sadar atau tidak, harusnya sejarah Jipang tidak muncul dan tenggelam begitu saja karena serangan Pajang abad 16. Sehingga cerita panjang Jipang itu, mau tak mau, tak sepantasnya hanya dikaitkan dengan seorang Arya, yang dikatakan telah bunuh diri secara tak sengaja.
Dari keterangan beberapa prasasti abad 13 dan 14, pada era Singhasari sampai Majapahit, sudah menyebut nama Jipang dengan status spesialnya sebagai desa swatantra, semacam tempat berlabuh para banyaga (pedagang) atau tempat nadhitira pradesa di bantaran Bengawan. Didalam Babad Tanah Jawi, Hikayat Banjar, Hikayat Hasanudin ataupun cerita tutur yang berkembang, dimana bercerita tentang kerajaan Jipang, dapat disepakati juga bahwa Jipang di abad 15 adalah sebuah negeri kuat masa transisi dan juga wilayah penting penyebaran Islam. Jipang bahkan menempati urutan ke dua setelah Ngampel (Ampel), sebagai wilayah yang paling pertama masuk Islam di Jawa, lebih awal ketimbang Demak.
Semua karya pujangga-pujangga itu, baik Jawa maupun Melayu, juga sepakat bahwa letak kota kuno itu berada di bantaran Bengawan. Dari keterangan cerita tradisi dan sebaran bata kuno, sebuah asumsi kemudian muncul dan menjadi kuat, bahwa letak kota Jipang berada di dusun Jipang (Cepu, Blora), dengan makam Gedong Ageng-nya. Namun, disebuah dusun bernama Jipang-ulu (Ngelo, Bojonegoro), yang terpencil dan terletak persis berhadapan dengan sebuah goa di tebing Bengawan (Goa Sentono, Menden), dimana ditemui juga makam Wali Santri, cukuplah menjadi bahan pertimbangan, tentang bukti keberadaan pusat kota sebuah negeri penuh mitos bernama Jipang. Dan bisa jadi, sebutan Panghulu muncul untuk mengenang daerah ini.
Tidak ada keterangan pasti, nihil bukti sezaman, karena semua pujangga bungkam dengan cara kematian tokoh paling fenomenal Jipang, bernama Arya Penangsang. Sehingga kisah-kisah (heroik) tentangnya, yang diceritakan setelah kematianya, berangsur-angsur berubah menjadi hagiology (takhayul) yang lengkap dengan segala unsur mistisme khas Jawa; kesempurnaan dan kedigdayaan. Muncul juga mitos anti mainstream: bahwa Arya Penangsang memiliki keperkasaan Gagak Rimang dan kesaktian keris Setan Kober, sehingga sebenarnya ia tidak pernah mati, semua anggapan pastilah salah!
Apa yang dilebih-lebihkan pada legenda tidak selamanya selalu salah, karena ternyata Jipang masih hidup setelah serbuan mematikan pasukan Pajang. Jipang tidak benar-benar mati hanya karena gugurnya seorang pemimpin. Bahwa kerabat Arya (yang tersisa) dikabarkan mengungsi ke Palembang via Surabaya. Keturunan Panghulu Jipang berhasil membangun pusat Islam di Loram Kudus. Dan, tampak jelas upaya-upaya dilakukan untuk membangkitkan kembali kejayaan Jipang. Pangeran Benawa putra Sultan Hadiwijaya, membangun pusat Jipang baru (atau tepatnya replika) di Panolan, segera setelah melihat bahwa Pajang mulai dikuasai orang-orang Demak. Tetapi ketika kekuatan Jipang sudah mulai bangkit, sungguh diluar dugaan, justru Mataram – nama yang sama dengan negeri kuno pra Majapahit dengan kemegahan candi-candi Hindu-Budha – adalah pemenang perlombaan politik, menjadi penguasa tertinggi Jawa. Pangeran Banawa harus rela mengantarkan kejayaan Mataram dengan menyerahkan seluruh wilayah Jipang.
Jipang adalah negeri perbatasan antara pesisir luar dan pegunungan pedalaman Jawa, juga negeri yang muncul pada persimpangan masa atau peralihan zaman. Dan agaknya selalu akan seperti itu. Kemiripan “nasib” antara Haji Worawari dengan Arya Penangsang mencuat, tidak hanya sama-sama sebagai tokoh yang mewakili masa peralihan, tetapi juga tentang posisi wilayah kepimpinannya. Bahwa ketika pusat kerajaan Mataram berpindah dari Tengah ke Timur, juga sebaliknya, Worawari ataupun Jipang ternyata menempati posisi tengahnya.
Mengurai Mitos Jipang
Harus diakui bahwa kronologi Jipang sampai saat ini belum secara terbuka disajikan dan dikaji lebih dalam. Tetapi terlanjur Jipang identik dengan sebuah kerajaan ‘merah’, yang terkungkung pada kisah seorang Arya Panangsang. Walaupun secara sadar atau tidak, harusnya sejarah Jipang tidak muncul dan tenggelam begitu saja karena serangan Pajang abad 16. Sehingga cerita panjang Jipang itu, mau tak mau, tak sepantasnya hanya dikaitkan dengan seorang Arya, yang dikatakan telah bunuh diri secara tak sengaja.
Dari keterangan beberapa prasasti abad 13 dan 14, pada era Singhasari sampai Majapahit, sudah menyebut nama Jipang dengan status spesialnya sebagai desa swatantra, semacam tempat berlabuh para banyaga (pedagang) atau tempat nadhitira pradesa di bantaran Bengawan. Didalam Babad Tanah Jawi, Hikayat Banjar, Hikayat Hasanudin ataupun cerita tutur yang berkembang, dimana bercerita tentang kerajaan Jipang, dapat disepakati juga bahwa Jipang di abad 15 adalah sebuah negeri kuat masa transisi dan juga wilayah penting penyebaran Islam. Jipang bahkan menempati urutan ke dua setelah Ngampel (Ampel), sebagai wilayah yang paling pertama masuk Islam di Jawa, lebih awal ketimbang Demak.
Semua karya pujangga-pujangga itu, baik Jawa maupun Melayu, juga sepakat bahwa letak kota kuno itu berada di bantaran Bengawan. Dari keterangan cerita tradisi dan sebaran bata kuno, sebuah asumsi kemudian muncul dan menjadi kuat, bahwa letak kota Jipang berada di dusun Jipang (Cepu, Blora), dengan makam Gedong Ageng-nya. Namun, disebuah dusun bernama Jipang-ulu (Ngelo, Bojonegoro), yang terpencil dan terletak persis berhadapan dengan sebuah goa di tebing Bengawan (Goa Sentono, Menden), dimana ditemui juga makam Wali Santri, cukuplah menjadi bahan pertimbangan, tentang bukti keberadaan pusat kota sebuah negeri penuh mitos bernama Jipang. Dan bisa jadi, sebutan Panghulu muncul untuk mengenang daerah ini.
Tidak ada keterangan pasti, nihil bukti sezaman, karena semua pujangga bungkam dengan cara kematian tokoh paling fenomenal Jipang, bernama Arya Penangsang. Sehingga kisah-kisah (heroik) tentangnya, yang diceritakan setelah kematianya, berangsur-angsur berubah menjadi hagiology (takhayul) yang lengkap dengan segala unsur mistisme khas Jawa; kesempurnaan dan kedigdayaan. Muncul juga mitos anti mainstream: bahwa Arya Penangsang memiliki keperkasaan Gagak Rimang dan kesaktian keris Setan Kober, sehingga sebenarnya ia tidak pernah mati, semua anggapan pastilah salah!
Apa yang dilebih-lebihkan pada legenda tidak selamanya selalu salah, karena ternyata Jipang masih hidup setelah serbuan mematikan pasukan Pajang. Jipang tidak benar-benar mati hanya karena gugurnya seorang pemimpin. Bahwa kerabat Arya (yang tersisa) dikabarkan mengungsi ke Palembang via Surabaya. Keturunan Panghulu Jipang berhasil membangun pusat Islam di Loram Kudus. Dan, tampak jelas upaya-upaya dilakukan untuk membangkitkan kembali kejayaan Jipang. Pangeran Benawa putra Sultan Hadiwijaya, membangun pusat Jipang baru (atau tepatnya replika) di Panolan, segera setelah melihat bahwa Pajang mulai dikuasai orang-orang Demak. Tetapi ketika kekuatan Jipang sudah mulai bangkit, sungguh diluar dugaan, justru Mataram – nama yang sama dengan negeri kuno pra Majapahit dengan kemegahan candi-candi Hindu-Budha – adalah pemenang perlombaan politik, menjadi penguasa tertinggi Jawa. Pangeran Banawa harus rela mengantarkan kejayaan Mataram dengan menyerahkan seluruh wilayah Jipang.
Jipang adalah negeri perbatasan antara pesisir luar dan pegunungan pedalaman Jawa, juga negeri yang muncul pada persimpangan masa atau peralihan zaman. Dan agaknya selalu akan seperti itu. Kemiripan “nasib” antara Haji Worawari dengan Arya Penangsang mencuat, tidak hanya sama-sama sebagai tokoh yang mewakili masa peralihan, tetapi juga tentang posisi wilayah kepimpinannya. Bahwa ketika pusat kerajaan Mataram berpindah dari Tengah ke Timur, juga sebaliknya, Worawari ataupun Jipang ternyata menempati posisi tengahnya.
Referensi
- ^ "Petilasan Kadipaten Jipang". blorakab.go.id. Diakses tanggal 29 November 2020.
Artikel bertopik sejarah ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. |