Desakota adalah istilah yang digunakan dalam geografi perkotaan yang digunakan untuk mendeskripsikan wilayah di antara lingkungan kota-kota besar. Daerah desakota ini berada di wilayah perkotaan, lahan pertanian, serta pemukiman hidup yang berdampingan dan bercampur secara intensif.

Citra satelit dari Kawasan Metropolitan Bangkok : Daerah perkotaan di tepi dan sepanjang jalan arteri merupakan ruang desakota.
Sebuah jalur batas kota desa pinggiran kota yang terletak di Distrik Baiyun, Guangzhou, Cina. Baiyun terkenal oleh penduduk setempat sebagai daerah desakota di Guangzhou .

Etimologi

Istilah ini diciptakan oleh peneliti perkotaan Terry McGee dari Universitas British Columbia pada tahun 1990. Desakota merupakan gabungan kata bahasa Indonesia, yaitu desa dan kota[1]

Daerah desakota biasanya terdapat di Asia, khususnya Asia Tenggara. Sebagai contoh dapat ditemukan di daerah perkotaan di Pulau Jawa, [2] daerah padat penduduk di sekitar delta di wilayah jalur batas desa-kota Jakarta, atau di daerah Jabodetabek. Selain di Indonesia, daerah desakota lainnya dapat ditemukan di daerah metropolitan Bangkok atau Manila. [3] Di luar wilayah Asia Tenggara, wilayah dengan ciri-ciri yang sesuai ada di daratan Cina, [4] [5] [6] India, Jepang, Taiwan, [7] dan Korea Selatan.[8]

Karakteristik

Daerah Desakota terletak di luar zona periurban, yang memungkinkan penglaju untuk melakukan perjalanan setiap hari dengan mudah. Daerah desakota biasanya berada di radius lebih dari 30 atau 50 km dari pusat kota. Mereka biasanya tersebar di sekitar jalan arteri ataupun jalan kabupaten, kadang-kadang dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Daerah desakota biasanya bercirikan kepadatan penduduk yang tinggi dan penggunaan lahan pertanian yang intensif (terutama penanaman padi basah), tetapi berbeda dari daerah pedesaan yang padat penduduk, malahan karakteristiknya lebih mirip dengan perkotaan. [9]

Kriteria daerah desa kota antara lain:

Jaringan transportasi yang berkembang, mobilitas penduduk yang tinggi, peningkatan aktivitas di luar sektor pertanian, koeksistensi berbagai bentuk penggunaan lahan, lebih banyak partisipasi perempuan dalam tenaga kerja dibayar, dan belum adanya regulasi penggunaan lahan. [10]

Mengingat wilayahnya yang luas dan batas-batas yang tidak jelas, munculnya daerah Desakota menyulitkan pemerintahan karena rencana, peraturan atau desain yang seragam sulit dijalankan. Wilayah desakota memiliki karakteristik laju mobilitas barang dan jasa yang tinggi serta pola pemukiman yang berubah dengan cepat. Mereka biasanya menghindari pembagian zona khusus fungsional yang biasanya diterapkan dalam geografi perkotaan. Bentuk penggunaan lahannya sangat berbeda, misalnya pertanian tradisional, industri skala besar dan menengah, taman hiburan dan lapangan golf, pusat perbelanjaan dan kompleks toko ritel, serta bentuk permukiman dari kawasan kumuh perkotaan hingga kawasan elite saling berdampingan di dalamnya dan berdekatan satu sama lain. [11]

Tipe-Tipe Pola Desakota

McGee


In addition to the general trend of spatial–economic changes, McGee (1991: pages 12–14) defines three main desakota types according to various levels of economic drivers of the urbanization processes (Figure 2). Type I means Asian countries, such as Japan or South Korea, that have experienced a rapid transformation of the spatial economy in terms of a rural-to-urban shift in population, although agricultural land use may remain quite persistent. Type II includes countries, such as Taiwan or Thailand, that have experienced a decline of people in agriculture and a concurrent growth of small-to-medium-sized industries in rural areas. Type III covers countries, such as China or India, that bear some spatial and economic resemblance to type II but are characterized by changes that occur due to high population growth and slower economic growth.

Lihat juga

iteratur

  • Bunnell, Tim; Drummond, Lisa B.W.; Ho, K.C., ed. (2002). Critical Reflections on Cities in Southeast Asia. Singapur: Times Academic Press. ISBN 978-981-210-192-1. Bunnell, Tim; Drummond, Lisa B.W.; Ho, K.C., ed. (2002). Critical Reflections on Cities in Southeast Asia. Singapur: Times Academic Press. ISBN 978-981-210-192-1.  Bunnell, Tim; Drummond, Lisa B.W.; Ho, K.C., ed. (2002). Critical Reflections on Cities in Southeast Asia. Singapur: Times Academic Press. ISBN 978-981-210-192-1. 

Referensi

  1. ^ Cairns, Stephen (2002), "Troubling Real-estate: Reflecting on Urban Form in Southeast Asia", Critical Reflections on Cities in Southeast Asia: 117 
  2. ^ McGee, Terry G. (2002), "Reconstructing 'The Southeast Asian City' in an Era of Volatile Globalization", Critical Reflections on Cities in Southeast Asia: 33–34 
  3. ^ McGee (2002), Reconstructing 'The Southeast Asian City', hlm. 47–48 
  4. ^ Guldin (1997), Desakotas and Beyond, hlm. 48, 62 
  5. ^ Sui, Daniel Z.; Zeng, Hui (2001), "Modeling the dynamics of landscape structure in Asia's emerging desakota regions: A case study in Shenzhen", Landscape and Urban Planning, 53 (1–4): 37–52, doi:10.1016/s0169-2046(00)00136-5 
  6. ^ Xie, Yichun; Batty, Michael; Zhao, Kang, Simulating Emergent Urban Form: Desakota in China (PDF), CASA Working Paper (95), Centre for Advanced Spatial Analysis, University College London 
  7. ^ Stone, C.S.; Chi, Chang-Liang (2012). "Contesting Urban and Rural Space in Desakota Regions of Taiwan — A Case Study of I-Lan County". Environment and Urbanization ASIA. 3: 93–120. doi:10.1177/097542531200300106. 
  8. ^ Hebbert (1994), Sen-biki amidst Desakota, hlm. 71 
  9. ^ McGee (1991), The Emergence of Desakota Regions in Asia., hlm. 6–7 
  10. ^ Chia, Lin Sien; Perry, Martin (2003), "Introduction", Southeast Asia Transformed: A Geography of Change, Singapur: Institute of Southeast Asian Studies: 12, ISBN 978-981-230-119-2 
  11. ^ Cairns (2002), Troubling Real-estate, hlm. 118