Jalaluddin Rumi

penyair Sufi
Revisi sejak 7 Desember 2020 09.56 oleh Waiting seat (bicara | kontrib) (Jalaluddin Rumi: Perbaikan kesalahan ketik)

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Samarkand) pada tanggal 6 Rabiul Awal tahun 604 Hijriah atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya yang masih merupakan keturunan Abu Bakar bernama Bahauddin Walad, sedangkan ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi merupakan seorang cendekia yang saleh, berpandangan ke depan, dan seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia tiga tahun, karena terancam oleh serbuan Mogol, keluarganya meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan Suriah, sampai ke Provinsi Rum di Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki sekarang. Mereka menetap di Qonya, ibu kota provinsi Rum. Dalam pengembaraan dan pengungsiannya tersebut, keluarganya sempat singgah di kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota inilah Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah ketuhanan.

Rumi

Hari itu, sebagaimana biasanya, Jalaluddin Rumi tengah mengajar para muridnya dalam sebuah perkuliahan. Tiba-tiba seseorang yang sebelumnya belum dikenal secara lebih dekat oleh Rumi masuk ruang perkuliahan tersebut. Orang asing itu pun menunjuk sebuah tumpukan buku sembari bertanya dengan nada berantakan, "Apa ini?" Rumi menjawab dengan nada jengkel, "Kau tidak akan mengerti." Mendapat jawaban yang demikian dari Rumi, orang itu lantas membawa buku-buku tersebut untuk dibakar. Maka, tersulutlah api yang membakar buku-buku tersebut, Rumi ganti bertanya, "Apa ini?" Orang asing itu menjawab, "Kau tidak akan mengerti." Saat itu, Rumi terhentak dalam kebingungan. Dia merasa bodoh, hingga pada akhirnya ia menjadi murid dari orang asing yang membakar buku-buku itu. Orang asing tersebut adalah Syamsuddin Al-Tabrizi, atau dikenal sebagai Syams Tabrizi. Dialah guru yang membimbing Rumi untuk meninggalkan segalanya. Sejak pertemuannya dengan Syams Tabrizi, Rumi berubah secara drastis. Hingga pada akhirnya, Rumi menjadi seorang sufi agung yang populer dengan syair-syair indahnya. Suatu ketika, Syams Tabrizi meninggalkan Rumi tanpa memberitahukan ke mana tujuan dari kepergiannya itu. Rumi bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Maka, lahirlah sebuah kitab yang berjudul Diwan Syams Tabrizi yang berisi ghazal-ghazal kerinduan Rumi kepada Sang Guru, Syams Tabrizi.[1]

Tahun 1244 M, Rumi bertemu dengan syekh spiritual lain, Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah Syamsuddin wafat, Rumi kemudian bertemu dengan Husamuddin Ghalabi, dan mengilhaminya untuk menuliskan pengalaman spiritualnya dalam karya monumentalnya Matsnawi-ye Ma’nawi. Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai akhir hayatnya pada tahun 1273 M.[2]

Suatu hari Rumi bertanya,

Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan? Mengapa orang beriman itu berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan? Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar? Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci itu gagal dalam tindakan dan muamalah?

Rumi mengkombinasikan tiga hal sekaligus, mempunyai visi spiritual yang mendalam sekelas Buddha atau Yesus, mempunyai refleksi intelektual yang luas seperti Plato atau Aristoteles dan mempunyai kemahiran dalam menemukan kata-kata indah seperti Shakesphare.[3]

Karya

Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengkritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio. Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.

Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.

Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, tetapi ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.

Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah:

Jangan tanya apa agamaku. Aku bukan Yahudi, bukan zoroaster, bukan pula Islam. Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.

Jalaludin Rumi meninggalkan dua buah karya yang mengupas tentang sastra. Di antara kitabnya ada yang redaksinya berbentuk prosa dan ada pula yang susunannya berbentuk nazam. Karya yang redaksinya berbentuk prosa adalah:

  1. Al-Majalis as-Sab'ah: kitab ini berisi kumpulan nasihat dan khotbah yang disampaikan Rumi di atas mimbar-mimbar. Adapun isinya merupakan hasil dari pengembaraan hidup Rumi yang mempertemukan dirinya dengan sang guru, Syamsuddin al-Tabrizi;
  2. Majmu'ah min ar-Rasa'il: kitab ini berisi sekumpulan surat yang ditulis oleh Rumi kepada para sahabat dan kerabatnya, dan;
  3. Fihi Ma Fihi, kitab yang berisi penyampaian dengan bentuk prosa. Kebanyakan pembahasan dalam setiap pasal-pasalnya merupakan jawaban dan tanggapan atas bermacam pertanyaan dalam konteks dan kesempatan yang berbeda-beda. Kitab ini berisi kumpulan materi perkuliahan, refleksi dan komentar yang membahas masalah sekitar akhlak dan ilmu-ilmu Irfan yang dilengkapi dengan tafsiran atas al-Qur'an dan Hadis.[4]

Sementara karya-karya Rumi yang berupa nazam adalah:

  1. Diwan Syams Tabrizi: Kitab ini berisi ghazal, seperti yang dikatakan orang-orang Iran. Diwan ini digubah dengan mengikuti bahar-bahar yang bervariasi dengan jumlah baitnya mencapai 43.000 bait. Rumi menggubah Diwan ini untuk mengungkapkan ketergantungannya kepada gurunya Syamsuddin Tabrizi. Karenanya terjalinlah persatuan antara murid dan gurunya, sampai-sampai Rumi menggubah diwan dan pada akhirnya terucap nama Syams oleh lisannya sehingga Diwan ini terkenal dengan nama Diwan Syams Tabrizi;
  2. Ruba'iyat: yang dinisbahkan kepada Rumi. Dalam kitab ini terdapat 1.659 bait yang wazan-nya berbentuk rubai (terdiri dari empat baris). Sementara keseluruhan baitnya mencapai 3.318 bait, dan;
  3. Matsnawi: nazam berbahasa Persia yang dalam bahasa Arab searti dengan kata biner. Dalam setiap bait terselit rima yang menyendiri dan rima bait-bait lainnya. Namun dua penggalan dalam satu baitnya tetaplah sama.


Referensi

  1. ^ Annemarie Schimmel, Matahari Diwan Syams Tabrizi, Yogyakarta: Relasi Inti Media, 2018, 1.
  2. ^ Syekh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muh. Hasyim Assagaf (Jakarta: Lentera, 2001), h. 132
  3. ^ Andrew Harvey, Samudra Rubaiyat: Menyelami Pesan Magis dan Rindu, Yogyakarta: Relasi Inti Media, 2018, 1.
  4. ^ Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Yogyakarta, Relasi Inti Media, 2016. h. 17

Pranala luar