Pengorangtuaan, pengibubapakan, atau parentifikasi (bahasa Inggris: Parentification) ialah proses pembalikan peranan ketika seorang anak wajib bertindak sebagai orang tua bagi orang tua atau saudara kandungnya sendiri. Dalam kasus-kasus yang ekstrem, anak digunakan untuk mengisi kehampaan kehidupan emosional orang tua yang mengasingkan diri.[1]

Dua jenis pengorangtuaan yang berbeda telah dikenal pasti secara teknis: pengorangtuaan instrumental dan pengorangtuaan emosional. Pengorangtuaan instrumental melibatkan anak menyelesaikan tugas fisik untuk keluarga, seperti merawat kerabat yang sakit, membayar tagihan, atau memberikan bantuan kepada adik-adik yang biasanya akan diberikan oleh orang tua. Pengorangtuaan emosional terjadi ketika seorang anak atau remaja harus mengambil peranan sebagai orang kepercayaan atau pengantara antara orang tua atau anggota keluarga.[2]

Prasejarah

Pada tahun 1948, Melitta Schmideberg menyatakan bagaimana deprivasi emosional dapat menyebabkan para orang tua memperlakukan anak-anak mereka sebagai tokoh orang tua pengganti secara tidak sadar.[3] "Pemasutrian" (Spousification) dan "anak orang tua" (Minuchin) menawarkan konsep-konsep alternatif yang menjelajahi fenomena yang sama, sementara tema kesinambungan antargenerasi dalam pelanggaran batasan pribadi seperti itu dikaji lebih lanjut.[4] Eric Berne menyinggung tentang bahaya orang tua dan anak-anak yang memiliki hubungan setangkup (simetris), dan bukannya tidak setangkup (asimetris), seperti ketika pasangan yang tidak hadir digantikan oleh anak sulung,[5] dan Virginia Satir menulis tentang "perbedaan fungsi-peranan...ketika anak laki-laki berperan sebagai kepala keluarga, biasanya peran ayah".[6]

Teori hubungan objek menyoroti bagaimana diri palsu anak itu muncul ketika dipaksa menjaga objek orang tua secara berlebihan sebelum waktunya;[7] dan John Bowlby melihat apa yang disebutnya "pengasuhan kompulsif" di antara mereka yang terikat dengan perasaan cemas, sebagai akibat dari orang tua yang membalikkan hubungan normal dan menekan anak untuk menjaga ikatan kasih sayang bagi mereka.[8]

Semua aspek seperti pola asuh yang terganggu dan terbalik tersebut telah tergambar di bawah payung fenomena pengorangtuaan yang lebih luas – dengan hasilnya (pengkritik menyarankan) bahwa kadang-kadang "ironisnya konsep pengorangtuaan telah...terlalu membebani anak seperti yang sering digambarkannya".[9]

Pilihan anak

Atas alasan praktis, anak-anak yang lebih tua umumnya dipilih untuk peran "orang tua" keluarga. Anak-anak sulung sering kali dimasukkan ke dalam peran yang tidak wajar.[10] Walau bagaimanapun, pertimbangan jantina berarti bahwa terkadang anak laki-laki atau perempuan tertua dipilih, meskipun mereka bukan anak tertua secara keseluruhan, untuk alasan seperti pilihan untuk mencocokkan jenis kelamin orang tua yang hilang.

Jadi, jika terdapat anak yang cacat dalam keluarga yang harus dijaga, "saudara kandung yang lebih tua, terutama perempuan, berada pada risiko terbesar untuk "pengorangtuaan".[11] Ketika sosok ayah hilang, anak laki-laki tertua mungkin yang dipaksa memikul tanggung jawab ayahnya, tanpa pernah mendapatkan kebebasan yang biasanya menyertai peran dewasa tersebut.[12]

Sebagai alternatif, seorang duda dapat memasukkan anak perempuan ke dalam peran sosial dan emosional istrinya yang sudah meninggal – "pemasutrian" (spousification) atau seorang ibu dapat mewajibkan anak perempuannya untuk memainkan peran penyayang, dengan mengkhianati harapan normal anak akan cinta dan perhatian.[13]

Rujukan

  1. ^ R. A. Gardner et al., The International Handbook of Parental Alienation Syndrome (2006) p. 200
  2. ^ Gregory J. Jurkovic, 'Destructive Parentification in Families' in Luciano L'Abate ed., Family Psychopathology (New York 1998) pp. 237–255
  3. ^ Jurkovic, p. 240
  4. ^ Jurkovic, in L'Abate ed., p. 240
  5. ^ Eric Berne, Sex in Human Loving (Penguin 1970) p. 249–53
  6. ^ Virginia Satir, Peoplemaking (1983) p. 167
  7. ^ Adam Phillips, On Kissing, Tickling and Being Bored (1994) p. 31
  8. ^ John Bowlby, The Making and Breaking of Affectional Bonds (London 1979) p. 137–38
  9. ^ Karpel, quoted by Jurkovic, in L'Abate ed., p. 238
  10. ^ Satir, p. 167
  11. ^ Bryna Siegal, What about Me (2002) p. 131
  12. ^ Harold Bloom, Tennessee Williams's The Glass Menagerie (2007) p. 142
  13. ^ Diana Brandt, Wild Mother Dancing (1993) p. 54

Bacaan lanjut

  • Hooper, L. M. (2011). Parentification. In R. J. R. Levesque (Ed.), Encyclopedia of Adolescence, (Vol. 4, pp. 2023–2031). New York, NY: Springer.
  • Hooper, L. M., DeCoster, J., White, N., & Voltz, M. L. (2011). Characterizing the magnitude of the relation between parentification and psychopathology: A meta-analysis. Journal of Clinical Psychology, 67, 1028-1043. DOI:10.1002/jclp.20807
  • Gregory J. Jurkovic, Lost Childhoods (1997)

Pranala luar