Uranium terdeplesi

Revisi sejak 28 Oktober 2008 12.14 oleh Kembangraps (bicara | kontrib) (←Membatalkan revisi 1780116 oleh 125.164.207.147 (Bicara))

Berdasarkan definisi yang diberikan United States Nuclear Regulatory Commission (NRC), yang dinamakan Depleted Uranium (DU) itu sebenarnya Uranium sisa hasil pengayaan yang digunakan pada senjata nuklir.

Penjelasannya seperti ini, pada Uranium yang ditemukan di alam komposisinya terdiri dari 99,28 % U-238, 0,72% U-235 dan 0,0057 % U-234 dengan aktivitas jenis 25,4 Bq/mg (1 Bq : 1 peluruhan atom radioaktif/detik). Industri nuklir dalam bentuk bahan bakar reaktor dan persenjataan membutuhkan kadar U-235 yang lebih banyak (antara 2 - 94 % massa), sehingga berlangsung proses 'pengayaan' (enrichment) terhadap Uranium alam. Dalam proses pengayaan ini, U-235 disaring dan dipekatkan secara terus menerus. Uranium sisa saringan ini yang kemudian dikenal sebagai DU, dengan komposisi 99,8 % U-238, 0,2 % U-235 dan 0,001 % U-234. Aktivitas jenis bagi DU cukup rendah, hanya 14,8 Bq/mg (58 % saja dari aktivitas Uranium alam).

Secara kimiawi Uranium merupakan logam berat berwarna keperakan yang sangat padat. Sebuah kubus Uranium bersisi 10 cm memiliki massa mendekati 20 kg dan secara umum 70 % lebih padat dibanding timbal (timah hitam). Pada suhu 600 - 700 derajat C dalam tekanan yang sangat tinggi logam DU akan menyala dengan sendirinya, membentuk kabut aerosol DU yang bersifat cair dan sangat panas.

Sifat-sifat kimiawi dan fisis semacam ini yang menyebabkan kalangan militer menyukai DU untuk digunakan dalam sistem persenjataan konvensional yang bersifat taktis. Tidak sebagai bahan peledak nuklir, DU digunakan sebagai senjata penembus berenergi kinetis dan biasa digunakan dalam bentuk [[senjata antitank]] (atau anti kendaraan lapis baja lainnya). Jadi senjata ini benar-benar konvensional, sama sekali tak melibatkan reaksi berantai didalamnya (baik reaksi fissi maupun reaksi fusi). Senjata ini sebagian besar menggunakan prinsip yang dikenal dengan efek Munro.

Prinsipnya begini, bayangkanlah ada sebuah tabung. Didalamnya ada rongga yang berbentuk kerucut dengan dasar kerucut tepat beririsan dengan dasar tabung. Dinding kerucut ini terbuat dari lapisan DU, sementara ruang antara kerucut dan tabung diisi dengan bahan peledak konvensional (anggaplah TNT).

Di dasar kerucut terdapat sebentuk 'pipa' kecil (lebih kecil dari tabung) yang sumbunya tepat berada pada sumbu tabung dan kerucut, mengarah keluar. Pipa ini tertutup, diujungnya terdapat detonator dan sekering sumbu waktu. Karena tertutup, maka rongga tadi dibikin hampa udara. Jika TNT yang mengelilingi rongga kerucut tadi diledakkan, tekanan dan panas yang dihasilkannya akan membuat DU yang menyusun ujung dan bagian tengah dinding kerucut mencair dalam derajat yang berbeda. Di ujung kerucut DU mencair sempurna dan oleh tekanan ledakan ia akan bergerak mengalir keluar (menyusuri pipa) dengan kecepatan 10 km/detik (ini diistilahkan dengan jet).

Sementara DU yang menyusun bagian tengah dinding kerucut hanya mengalami pencairan sebagian sehingga membentuk gumpalan-gumpalan kecil logam (pasir logam) yang larut dalam cairan DU (dinamakan slug), dan melesat dengan kecepatan 1000 m/detik melalui pipa. Jet dan slug inilah yang dengan mudah mampu menembus dinding lapis baja (setebal apapun) akibat kecepatan dan sifat cairnya. Penembusan ini menyebabkan bagian dalam kendaraan lapis baja itu terpanaskan dengan hebat, dan membuat tanki bahan bakar solar-nya meledak sehingga kendaraan lapis baja ini akan terbakar dan personal yang ada didalamnya terpanggang. Jet dan slug inilah yang merupakan bagian dari efek Munro, dan belum ada material baja yang mampu menangkalnya (meski material baja tersebut sanggup menahan gelombang tekanan produk ledakan senjata nuklir sekalipun).

Senjata-senjata yang mengandung DU itu seluruhnya merupakan senjata anti tank dan anti kendaraan lapis baja, seperti rudal TOW (jarak jangkau 2 km), rudal Hellfire (yang dipasang di helikopter serang AH-64 Apache ), rudal LAW (milik Inggris, mirip dengan TOW), rudal Matra (milik Perancis, mirip dengan TOW) atau peluru bazooka model RPG-7 (buatan Uni Soviet , sangat populer di kalangan gerilyawan).

Penggunaan DU memang menjadi kontroversi berkait dengan bahan radioaktif Uranium yang digunakannya. DU sendiri telah digunakan secara luas dalam kasus Perang Teluk I (1991) dan medan pertempuran Balkan (terutama pada saat krisis Kosovo 1999). Beberapa personel memang terekspos partikel DU ini, dan di kawasan teluk diduga terdapat 300 kg DU yang telah digunakan. Namun penyelidikan IAEA menunjukkan angka kematian yang sangat kecil (sehingga tidak signifikan secara statistik) pada ekspose DU ini.

Secara kimiawi Uranium merupakan logam penekan kerja ginjal. Sementara secara fisis, sebagai unsur radioaktif Uranium akan terkonsentrasi dalam paru-paru, ginjal dan sistem peredaran darah serta beberapa jaringan lunak lainnya untuk sementara waktu. Dalam beberapa negara, konsentrasi Uranium di dalam tubuh dibatasi pada angka 3 mikrogram pergram jaringan tubuh. IAEA sendiri memberikan batas maksimal dosis serapan tahunan 1 mSv bagi penduduk yang berada di daerah peperangan dengan penggunaan senjata DU. Ini dilakukan untuk menghindari efek buruk Uranium pada tubuh manusia, diantaranya gangguan ginjal (secara kimiawi) ataupun kanker (akibat aktivitas radioaktifnya).