Sapta Darma

salah satu kepercayaan di dunia
Revisi sejak 9 Januari 2021 00.20 oleh Fina id (bicara | kontrib)

Ajaran

Ajaran Sapta Darma sekilas memiliki makna yang sederhana, tetapi sebenarnya sangat luas karena meliputi segala aspek kehidupan di dunia manusia, roh, jin, dan setan. Inti sari dari ajaran ini bersumber pada sujud, Wewarah Tujuh, dan sesanti.

Konsepsi

Kerohanian Sapta Darma bertujuan untuk kebahagiaan warganya, baik di dunia maupun di Alam Langgeng. Intisari dari ajaran ini adalah membentuk pribadi manusia yang asli berdasarkan keluhuran budi dan menjadikan warganya memiliki sikap satria utama (bahasa Jawa: manghayu-hayu bagya buwana).

Ketuhanan

Tuhan dalam ajaran Sapta Darma disebut Allah Hyang Maha Kuasa, yaitu Zat yang mutlak, bebas dari segala hubungan sebab akibat dan sumber dari alam semesta beserta isinya. Allah Hyang Maha Kuasa memiliki lima sifat luhur yang disebut Pancasila Allah, yaitu Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan Maha Langgeng.

Kemanusiaan

Dalam ajaran Sapta Darma, manusia dianggap sebagai gabungan dari roh dan materi. Roh manusia berupa sinar cahaya Allah sehingga manusia dapat berhubungan dengan-Nya, sedangkan materi berupa tubuh manusia. Gabungan roh dan materi ini dihasilkan melalui perantara orang tua, ayah dan ibu. Manusia juga dianggap sebagai makhluk tertinggi di atas hewan dan tumbuhan sehingga menurut aliran ini, di dalam tubuh manusia terdapat radar yang apabila dilatih dengan baik akan dapat memberikan kewaspadaan dalam menjalani hidup.

Sujud

Sujud adalah ritual ibadah warga Sapta Darma. Ritual ini dilakukan minimal sehari sekali, selebihnya dianggap sebagai keutamaan, baik secara individu maupun secara bersama-sama di sanggar.

Wewarah Tujuh

Wewarah Tujuh yang berarti 'tujuh petuah' merupakan pedoman hidup yang harus dijalankan oleh setiap warga Sapta Darma. Isi Wewarah Tujuh adalah sebagai berikut.

Kewajiban Warga Kerokhanian Sapta Darma

Setiap Warga harus melaksanakan wajib

  • 1. Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng.
  • 2. Dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-undangan negaranya.
  • 3. Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan bangsanya.
  • 4. Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.
  • 5. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.
  • 6. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta halusnya budi pekerti, selalu merupakan petunjuk jalan mengandung jasa serta memuaskan.
  • 7. Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan).

Sesanti

Sesanti atau semboyan warga Sapta Darma dalam bahasa Jawa berbunyi "Ing ngendi bae, marang sapa bae, warga Sapta Darma kudu suminar pindha baskara." (bahasa Indonesia: "Di mana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus senantiasa bersinar laksana surya."). Sesanti ini bermakna bahwa setiap warga Sapta Darma berkewajiban untuk selalu siap membantu siapa saja yang memerlukan bantuan.

Sanggar

Sanggar adalah tempat ibadah bersama warga Sapta Darma yang dipimpin oleh seorang tuntunan dengan tanggung jawab membina kerohanian para warga di sanggar tersebut. Ada dua jenis sanggar, yaitu Sanggar Candi Sapta Rengga dan Sanggar Candi Busana. Sanggar Candi Sapta Rengga merupakan pusat kegiatan kerohanian Sapta Darma di Yogyakarta, sedangkan Sanggar Candi Busana merupakan sanggar yang tersebar di daerah. Adapun sanggar tempat kelahiran kerohanian ini di Pare, Kediri, disebut sebagai Sanggar Agung Candi Busana.

Kontroversi

Pada tanggal 11 Oktober 2008, Front Pembela Islam merusak rumah milik seorang penganut Sapta Darma yang dijadikan sanggar di Dusun Pereng Kembang, Desa Balecatur, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, karena dianggap sebagai aliran sesat.[1]

Pada tanggal 7 Desember 2014, seorang warga penganut Sapta Darma yang meninggal dunia di Desa Siandong, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, tidak diizinkan untuk dimakamkan di pemakaman umum desa setempat sehingga dimakamkan di pekarangan rumahnya.[2][3]

Referensi

  1. ^ Sapta Darma Bantah sebagai Aliran Sesat
  2. ^ Pemakaman di TPU Ditolak, Jasad Daodah Dimakamkan di Halaman Rumah
  3. ^ Ditolak Warga, Jenazah Aliran Kepercayaan Telantar 12 Jam