Suku Bali Aga

etnis pribumi pulau Bali
Revisi sejak 16 Januari 2021 04.39 oleh Imade adisucipta (bicara | kontrib) (→‎Asal Usul: Penambahan konten)

Suku Bali Aga adalah salah satu subsuku bangsa Bali yang menganggap mereka sebagai penduduk bali yang asli. Bali Aga disebut dengan Bali pegunungan yang mana sejumlah suku Bali Aga terdapat di Desa Trunyan. Istilah Bali Aga dianggap memberi arti orang gunung yang kurang cerdas karena mereka berada didaerah pegunungan yang masih kawasan pedalaman dan belum terjamah oleh teknologi.[1]

Bali Aga
Baliaga
Bali Mula
Seorang pria Bali Aga
Daerah dengan populasi signifikan
Kintamani, Bali, Indonesia
Bahasa
Bahasa Bali
Agama
Hinduisme Rakyat, Hindu Bali, Animisme
Kelompok etnik terkait
Suku Bali, Suku Jawa, Suku Madura

Asal Usul

Penduduk asli Bali, dikatakan telah datang ke Pulau Bali, sebelum gelombang migrasi Hindu-Jawa, dari desa Bedulu. Menurut legenda, hiduplah raja terakhir Pejeng (kerajaan Bali tua), yaitu Sri Aji Astasura Ratna Bumi Banten / Sri Tapolung / Sri Gajah Waktra. Suatu hari Sri Tapolung bertamasya ke Batur diiringi oleh Ki Pasung Grigis, sampai di penelokan Baginda dicoba oleh Ki Pasung Grigis dia berkata : "Paduka raja, jika benar paduka sakti dan dapat melepaskan jiwa paduka dari raga pergi ke sorga, coba tunjukan kepada hamba". Permohonan Ki Pasung Grigis dikabulkan, lalu baginda bersemadi. Beberapa saat kemudian berhasilah yoga beliau. Maka kepala baginda terlepas dan terbang menuju Sorga lepas dari raganya (badannya). Selama tiga hari kepala baginda belum terlihat kembali, Ki Pasung Grigis sangat khawatir dengan kejadian yang mengerikan tersebut. Dengan rasa panik dan khawatir dia tidak sengaja melihat seekor babi hutan sedang lewat, lalu di penggalnya kepala babi itu untuk menggantikan kepala baginda raja. Tidak lama berselang terbangunlah raja dari yoga nya dan amat sangat terkejut melihat badan beliau berkepala babi. Saat itu raja murka dan mengutuk orang orang Bali Aga dengan ucapan "moga-moga wong bali dijamah wong len, diperintah oleh suku bangsa lain". Demikian kutukan raja lalu kepalamya lenyap hanyalah jiwanya yang kebali ke dalam raganya. Sejak kejadian itu raja membuat undang-undang bagi siapapun yang menghadap kepada baginda raja, harus tunduk memandang bumi. Siapapun yang lancang dan berani memandang wajah baginda akan di tembak mati. Baginda selalu membawa busur dan anak panah yang amat sangat berbisa. Sejak saat itulah kota Betanyar dinamai Bedahulu (bedamuka) yang artinya beda kepala.

Budaya

Masyarakat Bali Aga hidup terisolasi di daerah pegunungan. Wisatawan yang ingin mengunjungi desa-desa tertentu juga harus berhati-hati dengan faktor geografis yang ada. Ketika berkunjung pun, harus menghargai adat istiadat setempat serta mengamati ritual-ritual seperti proses pengawetan kehidupan yang mereka miliki.

Di Tenganan, kegiatan pariwisata lebih mudah, karena penduduknya lebih ramah. selain itu ada festival tiga hari yang disebut Udaba Sambah diadakan selama bulan Juni atau Juli.

Bahasa

Penduduk Bali Aga menggunakan dialek Bahasa Bali mereka sendiri. Bahasanya pun berbeda antara satu desa dengan desa lainnya, misalnya yang digunakan penduduk desa Tenganan berbeda dengan desa Trunyan.

Referensi

  1. ^ James Danandjaja (1989). Kebudayaan petani desa Trunyan di Bali: lukisan analitis yang menghubungkan praktek pengasuhan anak orang Trunyan dengan latar belakang etnografisnya. Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 1. ISBN 97-945-6034-0.