Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia

gerakan Islam bercabang dari Sunni


Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) adalah organisasi Islam Sunni di Indonesia yang bertujuan dakwah.[1] Organisasi ini dianggap sebagai salah satu organisasi dakwah paling terkemuka di Indonesia modern.[2] Ia juga tercatat sebagai penerima utama (bersama dengan LIPIA) pendanaan untuk kegiatan Islam di Indonesia dari Arab Saudi.[1]

Sejarah

DDII didirikan pada tahun 1967 oleh Mohammad Natsir, seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia,[3] mantan pemimpin Partai Masyumi dan pemimpin kebangkitan Islam di Indonesia dan interaksi dengan Timur Tengah.[1] Setelah partai Masyumi dibubarkan, Natsir dan mantan anggota partai lainnya bertemu untuk membuat DDII.[2] Menurut Hasan Noorhaidi "sejak awal berdirinya" DDII adalah "wakil Indonesia" dari Liga Muslim Dunia yang didanai oleh Saudi. Kelompok ini mencari kedekatan dengan Saudi sebagai perlindungan terhadap marjinalisasi politik Islam oleh pemerintah Suharto yang pro-pembangunan dan pro-modernisasi.[4]

Menurut DDII, organisasi ini adalah institusi utama di Indonesia yang mendistribusikan beasiswa dari Liga Muslim Dunia yang didanai oleh Saudi untuk belajar di Timur Tengah.[3] DDII juga bekerja untuk mendorong penerjemahan karya para ulama salafi ke dalam bahasa Indonesia.[3] Kader DDII antara lain Ahmad Faiz Asifuddin, Aunur Rafiq Ghufran dan Chamsaha Sofwan (sekarang dikenal sebagai Abu Nida).[3] Menurut situs webnya, mereka telah membangun dan mengelola lebih dari 750 masjid, memiliki program pelatihan tingkat universitas untuk pendakwah (dai), guru, dan pekerja pembangunan pedesaan (dikenal sebagai Institut Dakwah Mohammad Natsir di Tambun, Bekasi), lulusannya adalah ditempatkan terutama di daerah terpencil dan terisolasi.[5]

DDII berfokus pada menarik kelas menengah ke bawah dan kaum miskin kota yang mempromosikan hukum syariah dan ketaatan ritual Islam sebagai solusi untuk penyakit masyarakat, dan menurut salah satu kritikus yang menyerang "korupsi pemerintah, mistisisme Jawa, liberalisme Muslim dan dominasi ekonomi orang Cina" sebagai gejala konspirasi yang lebih besar untuk mengristenkan Indonesia.[6] Pada tahun 2014, DDII dicirikan dengan "pandangan kuat anti-Syiah, anti-Kristen, dan anti-Ahmadiyah"[1] dan posisi "kaku secara skriptural" dalam akidah Islam.[6]

Pada 26 Februari 1967, atas undangan pengurus masjid Al-Munawarah, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, para alim ulama dan zu'ama berkumpul untuk bermusyawarah, membahas, meneliti, dan menilai beberapa masalah, terutama yang rapat hubungannya dengan usaha pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan aqidah di dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Musyawarah menyimpulkan dua hal sebagai berikut:

  1. Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi, serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
  2. Memandang perlu (urgent) lebih ditingkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.

Untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama dan zu'ama mengkonstatir terdapatnya berbagai persoalan, antara lain:

  1. Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan sistem perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi, lebih-lebih lagi sangat dirasakan perlunya dalam usaha menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan (antara lain paham anti Tuhan yang masih merayap di bawah tanah), Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan sebagainya terhadap masyarakat Islam.
  2. Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.

Dalam menampung masalah-masalah tersebut, yang mengandung cakupan yang cukup luas dan sifat yang cukup kompleks, maka musyawarah alim ulama itu memandang perlu membentuk suatu wadah yang kemudian dijelmakan dalam sebuah Yayasan yang diberi nama Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia disingkat Dewan Dakwah. Pengurus Pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota negara, dan dimungkinkan memiliki Perwakilan di tiap-tiap ibu kota Daerah Tingkat I serta Pembantu Perwakilan di tiap-tiap ibu kota Daerah Tingkat II seluruh Indonesia.

Dewan Dakwah yang dikukuhkan keberadaannya melalui Akta Notaris Syahrim Abdul Manan No. 4, tertanggal 9 Mei 1967, melandaskan kebijaksanaannya kepada empat hal:

  1. Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berdasarkan taqwa dan keridhaan Allah.
  2. Dalam mencapai maksud dan tujuannya, Dewan Dakwah mengadakan kerja sama yang erat dengan badan-badan dakwah yang telah ada di seluruh Indonesia.
  3. Dalam hal yang bersifat kontroversial (saling bertentangan) dan dalam usaha melicinkan jalan dakwah, Dewan Da'wah bersikap menghindari dan atau mengurangi pertikaian paham antara pendukung dakwah, istimewa dalam melaksanakan tugas dakwah.
  4. Di mana perlu dan dalam keadaan mengizinkan, Dewan Dakwah dapat tampil mengisi kekosongan, antara lain menciptakan suatu usaha berbentuk atau bersifat dakwah, usaha mana sebelumnya belum pernah diadakan, seperti mengadakan pilot projek dalam bidang dakwah.

Musyawarah alim ulama juga merumuskan program kerja sebagai penjabaran dari landasan kebijaksanaan di atas. Program kerja tiga pasal itu ialah sebagai berikut:

  1. Mengadakan pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan pelatihan bagi muballighin dan calon-calon muballighin.
  2. Mengadakan research (penelitian) atau membantu mengadakan penelitian, yang hasilnya dapat segera dimanfaatkan bagi perlengkapan usaha para muballighin pada umumnya.
  3. Menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur, dan atau siaran lain yang terutama ditujukan untuk memperlengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan mutu dan hasil dakwah. Usaha ini diharapkan dapat mengisi kekosongan-kekosongan di bidang lektur, yang khusus diperlukan dalam masyarakat.

Pengurus

Pertama kali kepengurusan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sebagai berikut:

Ketua Umum DDII untuk periode tahun 2020 - 2025 adalah Dr. Adian Husaini, M.Si.[8]

Rujukan

  1. ^ a b c d von der Mehden, Fred R. (1 December 2014). "Saudi Religious Influence in Indonesia". Middle East Institute. Diakses tanggal 24 July 2017. 
  2. ^ a b "Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia". BrillOnline Reference Works. Diakses tanggal 24 July 2017. 
  3. ^ a b c d "SALAFISM AND INFLUENCE OF THE MIDDLE EAST IN INDONESIA: Religious Affiliation, Activism, and Development". ISMES. 2017-02-27. Diakses tanggal 2017-07-24. 
  4. ^ Hasan, Noorhaidi (2006). Laskar Jihad. Ithaca NY: SEAP Publications. hlm. 39–40. ISBN 9780877277408. Diakses tanggal 24 July 2017. 
  5. ^ "PROFIL DEWAN DA'WAH English Profile". DDII. Diakses tanggal 24 July 2017. 
  6. ^ a b Friend, Theodore (July 2009). Indonesian Destinies. Harvard University Press. hlm. 383. ISBN 9780674037359. 
  7. ^ https://dewandakwahlampungselatan.wordpress.com/about/sejarah-dewan-dawah-islamiyah-indonesia/
  8. ^ https://kabar.dewandakwah.com/struktur/

Bacaan Lanjut

Pranala luar