Kerajaan Inderapura

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 17 Januari 2021 10.09 oleh Rahmatdenas (bicara | kontrib) (Suntingan Wanzac (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Rahmatdenas)

Kesultanan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi, kerajaan ini pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung walau pada praktiknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.

Ujung Pagaruyung

Kesultanan Inderapura
1347–1792
Bendera Kerajaan Inderapura
Bendera
Wilayah kerajaan Inderapura
Wilayah kerajaan Inderapura
Ibu kotaInderapura
Bahasa yang umum digunakanMinang, Melayu, Sanskerta
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sultan/Raja 
Sejarah 
• Awal kekuasaan
1347
• Keruntuhan
1792
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Pagaruyung
VOC
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatra mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada dan emas.

Pengaruh kekuasaan Kerajaan Inderapura sampai ke Banten di Pulau Jawa. Berdasarkan Sajarah Banten, Kesultanan Banten telah melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Inderapura yang ditandai dengan pemberian keris dari Sultan Munawar Syah kepada Sultan Hasanuddin.[1][2][3][4] Menurut Hamka, Sultan Munawar Syah menikahkan putrinya dengan Hasanuddin dan menghadiahkan Silebar (daerah penghasil lada di Bengkulu) kepada Kesultanan Banten.[5][6][7][8]

Kebangkitan

Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.[9]

Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatra dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.[9]

Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun, ini diperkirakan bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut pada pertengahan abad ke-16, didorong usaha penanaman lada di batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada masa ini, Inderapura telah menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh.

Saat Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman, Inderapura menghentikan ekspansinya dan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura,[10] dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh), bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Walau kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan para ulama di Aceh.

Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 158. Ssalah seorang yang masih berkaitan dengan Raja Dewi, yakni Sultan Buyong, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II[11] sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[9]

Perekonomian

Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur di bawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditas beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar, Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.[9]

Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda dan Inggris.

Kemunduran

 
Puing-puing bekas Istana Kesultanan Indrapura

Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya sambil berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatra. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.

Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti.

Kendali Aceh melemah keetika dipimpin pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC).[9] Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem matrilineal. Akibatnya, Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada serta hak pengerjaan tambang emas.[12] Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto.[9][13]

Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kemudian melahirkan Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian.[14] Berdasarkan catatan Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk EIC.[15]

Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696). Pada masa pemerintahannya bibit ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali muncul. Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6 tahun dan pemerintahannya berada di bawah perwalian neneknya.[16] Puncak perlawanan rakyat Inderapura menyebabkan hancurnya pos VOC di Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu. Pada 6 Juni 1701, VOC membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura.

Inderapura akhirnya benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di sana (1824).[17]

Pemerintahan

Secara etimologi, Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta, dan dapat bermakna Kota Raja. Inderapura pada awalnya adalah kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di pantai barat Pulau Sumatra. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja[18] kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.[19]

Wilayah kekuasaan

 
Salah satu makam raja Inderapura

Pada akhir abad ke-17, pusat wilayah Inderapura mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda.

Untuk kawasan utara, disebut dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.[9]

Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.

Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.[9]

Walau pada tahun 1691 kawasan Anak Sungai di bawah Raja Adil, melepaskan diri dari Inderapura dan menjadi kerajaan sendiri, yang pada awalnya didukung oleh Inggris. Namun tidak lama berselang ia mangkat dan digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Gulemat (1691-1716). Sultan Gulemat tidak berhasil menjadikan kawasan itu stabil dan kemudian juga kehilangan dukungan dari para menteri yang ada pada kawasan tersebut.[20]

Daftar Raja Inderapura

Berikut adalah daftar Raja Inderapura:

Tahun Nama atau gelar Catatan dan peristiwa penting
1550 Sultan Munawar Syah
Raja Mamulia
1580 Raja Dewi Nama lainnya adalah Putri Rekna Candra Dewi
1616 Raja Itam
1624 Raja Besar
1625 Raja Puti Nama lainnya Putri Rekna Alun
1633 Sultan Muzzaffar Syah
Raja Malfarsyah
1660 Sultan Muhammad Syah Raja Adil menuntut hak yang sama.
1691 Sultan Mansur Syah Sultan Gulemat putra Raja Adil berkedudukan di Manjuto melepaskan diri dari Inderapura.
1696 Raja Pesisir
1760 Raja Pesisir II
1790 Raja Pesisir III

Inderapura dalam fiksi

Hulubalang Raja, novel karangan Nur Sutan Iskandar yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1934, antara lain menceritakan pemberontakan rakyat Inderapura terhadap Sultan Muhammadsyah yang terjadi tahun 1662. Menurut cerita ini, pemberontakan tersebut terpicu oleh ulah istri Sultan Muhammadsyah yang membunuh saudara Raja Adil.[21]

Rujukan

  1. ^ Sudarman (2019). Jaringan Perniagaan dan Islamisasi di Kerajaan Inderapura. hlm. 41.
  2. ^ Mulyadi, S. W. R. (1991). Naskah dan kita. Fakultas Sastra Universias Indonesia. 
  3. ^ Hernadi, Edi. Sejarah Nasional Indonesia: Edisi Revisi 2013. Uwais Inspirasi Indonesia. ISBN 978-623-227-121-0. 
  4. ^ Ōta, Atsushi (2006). Changes of Regime And Social Dynamics in West Java: Society, State And the Outer World of Banten, 1750-1830 (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-15091-1. 
  5. ^ Hamka (2020-04-24). Sejarah Umat Islam: Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara. Gema Insani. ISBN 978-602-250-714-7. 
  6. ^ Djaja, Tamar (1965). Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air (dalam bahasa Melayu). Bulan Bintang. 
  7. ^ Rasjid, Tamrur (1955). Pahlawan dan Ulama Islam Indonedia (dalam bahasa Melayu). Kementerian Agama. 
  8. ^ Saleh, Zainoeddin; Dusky, Anwar (1952). Sedjarah Indonesia, disusun oleh Zainoeddin Saleh (dalam bahasa Melayu). Pustaka Dewata. 
  9. ^ a b c d e f g h Kathirithamby-Wells, J. (1976). "The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century". Indonesia. 21: 65–84. 
  10. ^ Iskandar, T., (1966), Bustanu's-Salatin, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
  11. ^ Lombard, D., (2006), Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, ISBN 979-9100-49-6.
  12. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  13. ^ Daghregister, February 17, 1664, p. 48.
  14. ^ Helfrich, O. L., (1923), De Adel van Bengkoelen en Djambi (1892-1901), Adatrechtbundels, XXll:Gemengd, 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff, pp. 316-319.
  15. ^ Winter, (1874), De familie Daing Mabela., volgens een Maleisch handscbrilt, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol. 3, no. 2, pp. 115-121.
  16. ^ Coolhaas, W.P. (1964). "Generale Missiven der V.O.C.". Journal of Southeast Asian History. 2 (7). doi:10.1017/S0217781100003318. 
  17. ^ Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. 
  18. ^ Translation of the Undang Undang of Moco Moco, by Richard Farmer, Governor of Benkulen (1717-18), in Malayan Miscellanies, 11/13 (1822), pp. 8-9.
  19. ^ Netscher, E., (1850), Verzameling van over1everingen van het rijk van Manangkabau uit het oorspronkelijk Maleisch vertaald, Indisch Archief, II/2.
  20. ^ Kathirithamby-Wells J. et al, (1985), Syair Mukomuko: Some Historical Aspects of a Nineteenth Century Sumatran Court Chronicle, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Monograph No. 13, Kuala Lumpur.
  21. ^ Maman S. Mahayana dkk. Ringkasan dan ulasan novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo, 2007, hal. 50-53

Bacaan lebih lanjut

  • Kathirithamby-Wells, J. (1976). "The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century" (PDF). Indonesia. 21. 
  • A.A. Navis, 1984, Alam Takambang Jadi Guru, Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers
  • Puti Balkis Alisjahbana, 1996, Natal ranah nan data. Jakarta: Dian Rakyat
  • Rusli Amran, 1981, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
  • Rusli Amran, 1985, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
  • Stibe, 1939, Encyclopedie Van Nederlansch Indie. S. Graven Hage: Arsip Nasional
  • Herwandi, 2003, Rakena: Mandeh Rubiah penerus kebesaran bundo kanduang dalam penggerogotan tradisi, Padang: Museum Adityawarman
  • A. Samad Idris, 1990, Payung Terkembang, Kuala Lumpur: Pustaka Budiman

Pranala luar