Museum DPR RI
Museum Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia atau Museum DPR RI adalah museum khusus yang menampilkan koleksi serta informasi mengenai sejarah lembaga parlemen di Indonesia sejak masa Hindia Belanda (dengan nama Volksraad atau Dewan Rakyat) hingga berdiri dengan nama DPR RI. Museum DPR RI terletak di dalam Kompleks MPR/DPR/DPD tepatnya di Lantai 2 Gedung Nusantara. Museum DPR RI dikelola oleh Sekretariat Jenderal DPR RI, tepatnya dibawah Pusat Data dan Informasi cq Bidang Arsip dan Museum.
Didirikan | 16 Agustus 1991 |
---|---|
Lokasi | Kompleks MPR/DPR/DPD Jalan Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia |
Jenis | Museum Khusus |
Koleksi | Koleksi yang berkaitan dengan sejarah parlemen di Indonesia |
Ukuran koleksi | 284 |
Wisatawan | 10.208 (2020) |
Direktur | Endang Suryastuti, S.H., M.Si. |
Pemilik | Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia |
Akses transportasi umum | KA Commuter Jabodetabek: Stasiun Palmerah Transjakarta: 1F 1B |
Situs web | https://www.dpr.go.id/serba-serbi/museum |
Sejarah
Museum DPR RI berdiri pada 16 Agustus 1991, tepat pada Sidang Umum MPR RI tahun 1991. Pendiriannya didasarkan pada niat Wakil DPR RI Periode 1987-1992, Djaelani Naro[1], untuk mengumpulkan koleksi-koleksi yang berhubungan dengan aktivitas lembaga parlemen di Indonesia, sejak masih bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Langkah awal dari niat mendirikan museum kemudian diwujudkan dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pendirian Museum DPR RI pada 13 November 1990, yang beranggotakan sepuluh orang anggota berdasarkan Keputusan Pimpinan MPR Nomor 1 Tahun 1990.
Dari Panitia Kerja tersebut kemudian berdiri Yayasan Museum DPR RI yang dipimpin langsung oleh Djaelani Naro. Segera, Yayasan Museum DPR RI melakukan kajian perencanaan, dan kegiatan kuratorial. Dalam kegiatan tersebut, Yayasan Museum DPR RI dibantu oleh berbagai pihak, antara lain: civitas akademika Universitas Indonesia, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Ditjen Kebudayaan Depdikbud RI, Yayasan Seni Rupa Indonesia, Ikatan Konsultan Indonesia, dan Himpunan Interior Designer Indonesia. Tidak sampai setahun, Museum DPR RI kemudian diresmikan oleh Ketua DPR RI Periode 1987-1992, Kharis Suhud.
Lokasi
Museum DPR RI berdiri di sebuah ruangan seluas 720 M² yang terletak di dalam Kompleks MPR/DPR/DPD, tepatnya di Lantai 2 Gedung Nusantara. Sebelum menempati ruangan tersebut, pada awal pendirian, Museum DPR RI berlokasi di Lantai 2 Gedung Nusantara IV atau dikenal dengan Gedung Pustakaloka. Namun, di tahun 1999, ruangan untuk Museum DPR RI dipindah ke Lantai 2 Gedung Nusantara, beriringan dengan kegiatan pengembangan atau revitalisasi museum[2].
- ^ Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal (1992). Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 1987-1992. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. hlm. 1169.
- ^ DPR RI, Majalah Parlementaria (Edisi No. 40 Tahun ke-XXXIII, 2002). Berkunjung ke Museum DPR RI. Jakarta: Bagian Pemberitaan & Penerbitan DPR RI. hlm. 65.
Koleksi
Terdapat 284 koleksi yang sudah teregistrasi dan menjadi koleksi milik Museum DPR RI. Koleksi di Museum DPR RI terbagi dalam beberapa jenis, antara lain: perangkat sidang, memorabilia, furnitur, karya arsitektur, dokumen, foto, peta, lukisan, pakaian, buku, media penyaji data, media penyimpan, perabotan mesin, alat dokumentasi, dan wadah. Beberapa koleksi vital yang dimiliki, antara lain:
Lukisan "Volksraad" (1977)
Lukisan “Volksraad” dilukis pada tahun 1977 oleh maestro lukis Indonesia yang juga pernah menjadi anggota DPR Hasil Pemilu I, S.Sudjojono. Lukisan “Volksraad” merupakan pesanan dari Ketua DPR RI tahun 1977-1978, Adam Malik dan diberikan kepada DPR RI.[1] Lukisan “Volksraad” bergaya realisme dan ekspresionisme, dilukis menggunakan cat minyak diatas media kanvas.[2] Lukisan “Volksraad” bercerita tentang suasana perdebatan wakil-wakil Indonesia dengan wakil-wakil Eropa pada suatu sidang Volksraad di tahun 1923.[3]
Siteplan CONEFO
Siteplan CONEFO merupakan gambar rancangan lokasi dua dimensi yang dibuat oleh arsitek dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Slamet Wirasondjaja, MLA, beserta para asistennya, antara lain: Roby Soelarto, Hindro T. Soemardjan, Wahyudi, Zaini, dan Slamet, yang semuanya merupakan mahasiswanya. Siteplan ini dibuat untuk menjabarkan pola penataan ruang luar secara menyeluruh dan secara garis besar rancangan pembangunan Political Venues yang dimenangkan oleh Ir. Soejoedi Wirjoatmodjo, Dipl.Ing, pada 22 Februari 1965. Setelah memenangkan sayembara, Ir. Soejoedi meminta tolong kepada rekannya, Ir. Slamet Wirasondjaja, MLA,. untuk membuat arsitektur lanskap guna dipresentasikan langsung kepada Presiden Soekarno, antara 17 dan 22 Mei 1965.
Ir. Slamet Wirasondjaja, MLA. mengerjakan siteplan CONEFO kurang lebih enam hari sejak tanggal 11 Mei 1965 dan selesai sebelum tanggal 17 Mei 1965. Pada proses pengerjaannya, ia mengerjakan pekerjaan tanpa penjelasan yang detail dari Ir. Soejoedi dan peralatan yang kurang memadai. Namun, dengan keahlian serta pemanfaatan alat-alat yang tidak memadai, Ir. Slamet Wirasondjaja, MLA. berhasil menyelesaikan pekerjaan tersebut. Siteplan dibuat seukuran hardboard (+ 120 cm x 220 cm) dengan warna menggunakan cat plakat. Siteplan dibuat dengan skala 1:500.
Siteplan berupa arsitektur lanskap tersebut akhirnya dipresentasikan kepada Presiden Soekarno pada 18 Mei 1965 pagi hari. Presiden Soekarno kemudian terkesan dengan karya dari Ir. Slamet dan tidak mengira bahwa Indonesia mempunyai seorang arsitek lanskap. Siteplan tersebut kemudian disetujui dengan diberi tulisan ‘acc 19/5 ‘65’.[4] Kompleks CONEFO sekarang menjadi Kompleks MPR/DPR/DPD.
Dokumen Prosedur dan Pemilihan Pimpinan DPR Gotong Royong Tahun 1965-1966
Dokumen ini berisi tentang proses pemilihan pimpinan DPR Gotong Royong pada Masa Sidang 1965/1966. Pada waktu itu, terjadi perombakan besar-besaran di tubuh DPR pasca Gerakan 30 September, yaitu, pemberhentian 62 anggota DPR GR, termasuk Wakil Ketua DPR GR dari golongan Komunis, M.H. Lukman, terhitung sejak 15 November 1965. Perombakan tersebut berpengaruh pula pada susunan pimpinan DPR GR. Terhitung sejak 15 November 1965-17 Mei 1965, terjadi empat kali pergantian pimpinan[5].
Dokumen ini mempunyai nilai sejarah yang penting bagi DPR RI karena untuk pertama kali sejak 20 September 1960, pimpinan DPR GR dipilih secara mandiri, bukan hasil pengangkatan oleh Presiden. Hal ini karena sejak berdirinya DPR GR terhitung sejak dilantiknya anggota DPR GR tanggal 25 Juni 1960 oleh Presiden RI, DPR GR dianggap sebagai lembaga yang berada di bawah kekuasaan Presiden karena pimpinan DPR GR masuk dalam kabinet dan bertindak pula sebagai menteri.
Setelah peristiwa Gerakan 30 September, terjadi banyak tuntutan yang datang dari para demonstran agar DPR GR punya kekuasaan untuk mengritisi kekuasaan absolut Presiden. Seperti yang tertera di bagian dokumen ini, yaitu, Nota Politik dan Surat Pernyataan dari Presidium Koalisi Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menuntut agar Pimpinan DPR GR dipilih secara mandiri oleh anggota-anggota DPR GR. Akhirnya, pada 17 Mei 1966, terpilih lima orang yang menjadi pimpinan DPR GR, antara lain: Achmad Sjaichu (Ketua), Mh. Isnaeni (Wakil Ketua), Ben Mang Reng Say (Wakil Ketua), Mursalin Daeng Mamangung (Wakil Ketua), dan Sjarif Thajeb (Wakil Ketua). Kelima orang tersebut dipilih secara mandiri, meskipun pengesahan pimpinan DPR GR masih disahkan oleh Presiden lewat Keppres No. 112 Tahun 1966. Semua dokumen proses pemilihan, penetapan, dan pengesahan pimpinan DPR GR terdapat di dokumen ini sebanyak 86 halaman.[6]
Perangkat Furnitur Sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) Yogyakarta
Koleksi ini merupakan koleksi tertua yang dimiliki Museum DPR RI. Perangkat furnitur terdiri dari: meja pimpinan (1 buah), mimbar (2 buah), jam dinding (dua buah), kursi (8 buah), dan meja peserta (2 buah). Semua perangkat furnitur berbahan dasar kayu dengan tambahan rotan untuk kursi dan kaca serta besi untuk jam dinding. Di setiap meja, baik meja pimpinan dan peserta sidang, tersedia wadah untuk meletakkan asbak. Semua perangkat furnitur terdapat tulisan ‘DPRD DIY’ dan ‘Milik Daerah Istimewa Jogjakarta’. Hal itu karena perangkat furnitur ini berasal dari Yogyakarta sebagai salah satu tempat yang pernah ditempati DPR (dulu bernama KNIP) untuk bersidang dan berkantor.
Dulunya, perangkat furnitur tersebut digunakan untuk kegiatan persidangan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), saat berkantor di Yogyakarta, tepatnya di Loge Mataram/Loji Teosofi, akhir Maret 1947. Sebelumnya, BP KNIP berpindah-pindah kantor atau nomaden, mulai dari: Jakarta, Solo, Purworejo, Malang, dan terakhir Yogyakarta.[7]
Pasca Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Perjanjian KMB 27 Desember 1949, gedung ini masih dipakai BP KNIP yang menjadi lembaga harian KNIP sebagai lembaga parlemen Republik Indonesia. Pasca pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), gedung ini diambilalih menjadi gedung DPRD Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk perangkat furniturnya. Dan sekarang, perangkat furnitur tersebut tersimpan di Museum DPR RI.
- ^ Sudjojono, S. (12 Juni 2017). Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 112. ISBN 9786024243074.
- ^ Amir Sidharta, S. Sudjojono (2006). S. Sudjojono, Visible Soul. Jakarta: Museum S. Sudjojono. hlm. –. ISBN 9789792563702.
- ^ Mustika, Mustika (1993). Tokoh-tokoh Pelukis Indonesia. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. hlm. 245.
- ^ Tim Panitia, Penerbitan Buku Gedung MPR/DPR RI (1995). Gedung MPR/DPR RI: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. hlm. 48–49.
- ^ Sekretariat, DPR-GR (1983, Cetak Ulang). Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. hlm. 318–319.
- ^ Sekretariat, DPR-GR (1983, Cetak Ulang). Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. hlm. 241 & 249.
- ^ Sekretariat, DPR-GR (1983, Cetak Ulang). Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. hlm. 87.