Manajemen stres
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Manajemen stres adalah kemampuan penggunaan sumber daya (manusia) secara efektif untuk mengatasi gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang muncul karena tanggapan (respon). Tujuan dari manajemen stres itu sendiri adalah untuk memperbaiki kualitas hidup individu itu agar menjadi lebih baik.
Strategi
Goliszek (2005) menyatakan bahwa usaha untuk memecahkan kebiasaan stres sehingga kualitas hidup menjadi lebih biak dengan:
- mempelajari apa itu stress
- mengenali gejala stres yang terjadi dalam diri
- mengubah pola perilaku
- memanfaatkan serangkaian teknik dan relaksasi dari manajemen stres yang cepat dan sederhana
Tidak mudah mendefinisikan stress. Semula istilah stress dipinjam secara bebas dari fisika. Manusia dipandang sama dengan benda-benda fisik seperti logam yang menolak kekuatan-kekuatan luar yang berkekuatan sedang, tetapi kehilangan daya kenyal pada beberapa titik tekanan yang lebih besar. Tidak seperti logam, manusia dapat berpikir dan bernalar. Mereka menjalani kehidupan sosial yang banyak sekali, sehingga definisi stress lebih kompleks di bidang psikologi daripada bidang fisika ( Santrock, 1995, oleh Damanik & Chusairi, hal.301).
Seperti yang telah dijelaskan oleh kutipan diatas, stress sulit sekal diberikan definisi. Rice (1992) mengatakan bahwa stress merupakan sesuatu yang sifatnya ilusi, seperti halnya cinta, dimana semua orang mengetahui dan dapat merasakannya, tetapi memiliki definisi yang berbeda-beda pada setiap orang. Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan stress sebagai segala sesuatu yang dipandang oleh seseorang sebagai sesuatu yang manantang, mengancam, atau menyakitkan (Lazarus & Folkman, dalam Wortman, 1999). Holmes dan Rahe mendefnisikan stress sebagai suatu keadaan dimana individu harus berubah dan menyesuaikan diri terhadap suatu peristiwa yang terjadi (Holmes & Rahe dalam Aronson, 2004). Papalia (2004) mendefinisikan stress sebagai respon terhadap tuntutan fisik ataupun psikologis.
Dari definisi mengenai stress yang beraneka ragam, pengertian stress itu sendiri dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, pertama, stress dari faktor lingkungan. Dalam pengertian ini, stress merupakan akibat dari sesuatu yang eksternal dari diri orang itu sendiri. Kelompok kedua adalah stress dilihat dari respon subjektif seseorang. Dalam pengertian ini, stress merupakan sesuatu yang internal dalam diri manusia. Seseorang dapt membuat stress tersebut menjadi hal yang baik maupun buruk. Yang terakhir, pengrtian stress berdasarkan fisiologis yang terjadi (Rice, 1992). Dari tiga kelompok pengertian tersebut, maka jika digabungkan akan menghasilkan pengertian bahwa stress merupakan sesuatu yang dipicu oeh sesuatu keadaan eksternal, kemudian diolah secara internal oleh orang yang bersangkutan sebagai persepsinya dari keadaan eksternal tersebut, dan proses tersebut menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis orang yang bersangkutan.
Karena stress melibatkan persepsi, maka stress itu sendiri dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu stress positif (eustress), dan stress negative (distress). Sesuai dengan asal katanya, stress negative dapat menimbulkan dampak-dampak yang negatif pada seseorang, seperti sakit penyakit, daya tahan tubuh menurun, kesulitan konsentrasi, ataupun masalah-masalah lainnya. Stress positif merupakan stress yang tidak berdampak buruk pada orang yang mengalaminya. Eustress dapat mendorong seseorang untuk meningkatkan kemampuan beradaptasinya. Pada saat mengalami eustress, performa seseorang dapat menjadi lebih optimum. (Rice, 1992). Jika stress berkelanjutan, maka eustress ini dapat berubah menjadi distress, yang tentunya merugikan bagi orang yang bersangkutan (Girdano, 2005).
Penyebab stress dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu bioekologis, psikososial, dan kepribadian. Bioekologis adalah stress yang muncul karena keadaan biologis seseorang yang dipengaruhi oleh tingkah laku-tingkah laku orang tersebut. Psikososial adalah stress yang muncul karena pengaruh keadaan lingkungan, dan kapribadian adalah stress yang muncul akibat kepribadian orang tersebut.
B. 1 Stressor Bioekologis
Stressor bioekologis terdiri dari bioritme, kebiasaan makan dan minum, obat-obatan, polusi udara, dan perubahan pada cuaca (Girdano, 2005). Bioritme adalah ritme-ritme tubuh manusia. Salah satu ritme tubuh manusia tersebut adalah ritme circadian, yaitu ritme tubuh manusia dimana tekanan darah, temperature dan beberapa substansi dalam tubuh manusia dapat meningkat dan menurun secara teratur seiring berjalannya waktu (Wortman, 1999). Salah satu contoh ritme ini adalah ketika berpergian ke luar negeri yang melalui zona-zona waktu. Orang yang bersangkutan akan kesulitan dalam menyesuaikan waktu tidurnya. Perubahan pada ritme-ritme biologis manusia tersebut dapat menjadi stressor. Hal ini terbukti pada para pekerja yang yang menjaga shift malam (phase advance), cenderung banyak memberikan keluhan terhadap kesehatan dirinya.
Kebiasaan makan dan minum juga dapat menjadi stressor. Makan makanan yang tidak sehat dapat memicu penyakit dan membuat orang mudah stress. Salah satu substansi yang dapat memicu stress adalah sympathomimetic agents, yaitu substansi yang dapat meniru reaksi saraf simpatetis (saraf yang bekerja jika terjadi stress). Contoh dari substansi ini adalah kafein yang sering kali kita temukan dalam kopi, the, maupun coklat. Dalam keadaan stress, tubuh mengkonsumsi vitamin B-kompleks dan vitamin C lebih banyak. Karena itu, salah satu substansi yang dibutuhkan adalah vitamin B-kompleks dan vitamin C. Gula juga menjadi sebuah substansi yang perlu diwaspadai. Kekurangan gula maupun kelebihan gula dapat mengakibatkan dampak yang negative pada tubuh. Terakhir, garam juga bermanfaat untuk mengikat cairan dalam tubuh. Jika berlebihan akan membuat tubuh tegang (Girdano, 2005).
Obat-obatan juga berpengaruh terhadap stress. Orang yang mengalami stress seringkali lari ke alcohol, rokok, ataupun narkoba. Walaupun seakan stress tersebut menghilang, tetapi obat-obatan dapat membuat seseorang dalam keadaan tidak sadar. Orang tersebut akan merasa bebas dari kecemasan tetapi tidak dapat mempersepsikan bahaya dan tidak dapat memikirkan hubungan sebab akibat (Girdano, 2005).
Polusi udara dapat memicu stress. Polusi udara dapat menstimulasi system saraf simpatetis, menimbulkan perasaan tidak senang, dan mengganggu aktifitas (Girdano, 2005). Penelitian menunjukan orang-orang yang bekerja dalam keadaan berisik tak terkendali menunjukan performa yang lebih buruk dibanding mereka yang berada pada keadaan tidak berisik (Glass & Singer, dalam Aronson, 2004). Penelitian lain juga menunjukan bahwa anak-anak di New York yang tinggal di daerah bising lebih buruk dalam menghadapi tes membaca (Cohen, Galss, & Singer, dalam Aronson 2004).
Terakhir, iklim dan keadaan lingkungan pun dapat memicu stress. Perubahan cuaca memaksa proses tubuih manusia berubah. Perubahan ini terkadang membuat seseorang stress karena sulit menyesuaikan diri (Girdano, 2005). Bencana alam juga dapat menjadi stressor yang kuat. Setelah terjadinya suatu bencana, biasanya ada orang-orang yang terganggu secara fisik maupun psikologis. Bencana yang besar dapat menyebabkan seseorang kehilangan harta, keluarga, dan lain-lain yang membuat hidupnya berubah total. Kejadian-kejadian seperti itu dapat menyebabkan depresi, ataupun upaya bunuh diri (Rice, 1992).
B.2. Stressor psikososial
Stressor psikososial terdiri dari stress adaptasi, frustrasi, overload, dan deprivasi. Menurut Holmes dan Rahe, semakin besar perubahan yang kita alami, maka semakin besar stress yang kita alami. Holmes dan Rahe membuat sebuah penelitian dimana hasilnya dibuat menjadi sebuah alat ukur stress yang bernama social readjustment rating scale (Aronson, 2004). Dari hasil penelitian tersebut, hal yang paling menyebabkan stress adalah kematian pasangan, kemudian dilanjutkan dengan perceraian, dan seterusnya hingga terakhir pelanggaran hukum ringan. Karena dari awal telah dijelaskan bahwa stress melibatkan persepsi subjektif, maka setiap stressor tersebut juga sebenarnya dapat menjadi parah dan berbahaya menimbulkan sakit penyakit atau menjadi tidak parah itu semua tergantung dari persepsi orang yang mengalaminya. Salah satu hal yang dapat membuat seseorang lebih kuat dalam menghadapi stress adalah perceived control, yaitu keyakinan bahwa seseorang dapat mempengaruhi lingkungan dalam menentukan pengalaman positif ataupun negative yang dialami orang tersebut (Aronson, 2004). Dengan keyakinan bahwa setiap orang memiliki kebebasan penuh dalam menentukan apa yang dirasakannya, maka pengaruh buruk dari stress tersebut dapat berkurang.
Stressor psikososial yang kedua adalah Frustrasi. Frustrasi dialami seseorang ketika kesempatannya mencapai tujuan terhambat(Aronson, 2004). Frustrasi dapat terjadi karena padatnya stimulus yang harus diterima (overcrowding), karena diskriminasi, kondisi social ekonomi, dan birokrasi yang berlarut-larut (Girdano, 2005).
Terlalu banyaknya hal yang harus dikerjakan juga dapat menjadi sumber stress psikososial. Sumber stress ini disebut dengan overload. Overload tersebut dapat terjadi pada pekerjaan (occupation overload), bidang pendidikan (academic overload), pekerjaan rumah sehari-hari (domestic overload), dan kehidupan kota besar (Urban overload).
Kepribadian juga dapat menjadi stressor. Contohnya kepribadian tipe A. Kepribadian tipe A adalah kepribadian dimana orang yang bersangkutan selalu merasa dikejar-kejar waktu. Kepribadian seperti ini dapat menimbulkan stress karena setiap kejadian dalam hidupnya dapat dianggap sebagai sesuatu yang menghambatr dan ketika keinginan terhambat, maka terjadilah frustrasi. Kepribadian ini juga kurang sehat karena perasaan selalu dikejar waktu tersebut menyebabkan seringnya memakan makanan cepat saji. Kepribadian tipe ini terbukti lebih rentan terkena penyakit jantung koroner (Aronson, 2004).
Tipe kepribadian lain yang juga mudah mengalami stress adalah depression prone personality. Orang-orang dengan tipe kepribadian ini mudah depresi jika bertemu dengan stressor. Gangguan yang biasa dialami oleh orang-orang seperti ini adalah jumlah tidur yang menjadi sangat banyak dan aktivitas sehari-hari yang terganggu saat depresinya muncul (Rice, 1992).
Selain kepribadian, konsep diri juga dapat memicu stress. Orang yang memiliki konsep diri yang buruk, dimana orang yang bersangkutan seringkali berbicara pada dirinya sendiri mengenai hal-hal buruk tentang dirinya sendiri, mudah mengalami stress (Girdano,2005).
Kepribadian cemas reaktif juga dapat menimbulkan stress bagi orang yang bersangkutan. Orang yang memiliki kecemasan cukup parah akan cenderung menunjukan kecemasan terusa menerus walaupun stressor sudah berlalu. Orang dengan kepribadian seperti ini juga seringkali memandang stressor sebagai ancaman yang lebih besar daripada ancaman yang sebenarnya (Girdano, 2005).
Terakhir, kebutuhan seseorang akan kontrol juga dapat mempengaruhi tingkat stress seseorang. Orang yang kehilangan kontrol dapat mengalami stress yang berat. Semakin seseorang yakin dapat mengontrol situasi, semakin orang tersebut terhindar dari stress. Self-efficacy yang tinggi dapat mengurangi masalah pada kebutuhan akan kontrol ini. Self efficacy itu sendiri merupakan keyakinan seseorang bahwa segala kemampuannya dapat mempengaruhi hasil dari segala sesuatu yang ingin dicapainya (Aronson, 2004).
Dalam menghadapi stress, setiap orang melakukan coping, yaitu proses mengatur tuntutan internal maupun eksternal yang begitu besar. Ada dua jenis pendekatan dalam melakukan coping, yaitu problem directed, dan emotional directed. Problem directed merupakan cara menyelesaikan stress dengan cara menghadapi stress tersebut secara langsung, sedangkan emotional directed dilakukan dengan cara mengubah aspek-aspek emosional dalam diri agar dapat mengurangi tekanan yang dialaminya.
Teknik coping problem directed memiliki tiga jenis. Pertama confrontational, dilakukan dengan cara yang keras, yaitu menolak perubahan secara langsung dan menolak untuk mengubah cara berpikirnya, melainkan berusaha untuk mengubah cara berpikir orang lain. Kedua, seeking social support, dilakukan dengan meminta orang lain untuk memberikan semangat atau dukungan. Ketiga, planful problem solving, dilakukan dengan cara cara mencari cara-cara yang efektif dan mempertimbangkannya berulang kali sebelum akhirnya memutuskan suatu tingkah laku (Wortman, 1999).
Teknik coping emotional directed memiliki lima jenis. Pertama, self-control, dilakukan dengan cara mengontrol diri agar emosi tidak menguasai pikiran dan tingkah laku. Kedua, distancing, dilakukan dengan cara melakukan aktifitas lain untuk menghindari hal yang menyebabkan stress tersebut. Ketiga, reappraisal, dilakukan dengan cara berusaha melihat kejadian yang menyebabkan stress dari perspektif yang berbeda. Keempat, accept responsibility, dilakukan dengan cara melakukan introspeksi, berusaha menyadari kesalahan apa yang telah diperbuat yang kemudian digunakan sebagai suatu pelajaran agar lain kali tidak melakukan kesalahan yang sama. Kelima, escape/avoidance, dilakukan dengan cara tidak mau menerima kenyataan dan berusaha selalu lari dari situasi yang menyebabkan stress tersebut. Teknik ini adalah teknik yang buruk dan dapat menyebabkan seseorang kecanduan obat-obatan (Wortman, 1999).
Ada berbagai cara dalam menghadapi stress yang muncul agar tidak berbahaya bagi kesehatan. Salah satu cara menghadapi stress tersebut dengan cara relaksasi. Saat berelaksasi, tubuh berada dalam keadaan tidak tegang (low of arousal), yang berarti lebih tidak reaktif terhadap stress yang muncul. Salah satu cara relaksasi yang biasa dilakukan adalah dengan menurunkan ketegangan otot. Karena stress mempengaruhi ketegangan otot, maka dengan melemaskan otot-otot, persepsi bahwa seseorang sedang mengalami stress akan menurun. Salah satu cara lain adalah dengan mengatur napas. Relaksasi dapat dicapai dengan cara mengatur napas dengan pola yang konstan (Wortman, 1999).
Cara lain dalam megatasi stress adalah dengan berolahraga. Olahraga dapat membantu mempersiapkan tubuh dalam menghadapi reaksi fisiologis dari stress. Dengan rajin berolahraga, maka jantung tidak lagi kaget ketika harus berdetak lebih cepat karena stress. Olahraga terbukti dapat menurunkan kecemasan, depresi, dan tekanan (Wortman, 1999).
Cara berikutnya adalah dengan melihat sumber daya yang ada untuk menghadapi stress yang terjadi. Contohnya social support. Dukungan dari lingkungan dapat menurunkan stress dengan dua cara, yaitu mencegah terrjadinya stess tersebut, maupun dengan meringankan dampak yang terjadi dari stress tersebut. Dukungan sosial biasanya kurang efektif jika tidak digabungkan dengan cara penanganan lainnya (Rice, 1992).
Cognitive-Behavioral Techniques juga dapat digunakan sebagai cara menghadapi stress. Cara ini memiliki tiga tahap. Pertama, adalah dengan mengetahui bahwa stress tersebut sangat dipengaruhi oleh persepsi seseorang, apa saja resiko dar stress, apa saja penyebab stress, dll. Berikutnya, orang yang bersangkutan harus mulai berlatih mencatat setiap gejala-gejala stress yang dialami. Terakhir, berlatih menghadapi stress tersebut baik dengan membuat skala prioritas waktu, belajar untuk asertif, latihan berelaksasi, dll.
Cara berikutnya adalah dengan meninjau kembali keyakinan dan nilai-nilai yang dianut. Mungkin stress terjadi karena tuntutan yang dibuat terlalu tinggi, maka dengan menurunkan kualitas tuntutan tersebut seseorang dapat menurunkan stressnya (Girdano, 2005).
Salah satu pendekatan dalam menghadapi stress adalah facial feedback hyphothesis. Teori ini mengatakan bahwa ekspresi muka bukan hanya menggambarkan apa yang sedang dirasakan, tetapi juga dapat menentukan apa yang kita rasakan. Dalam kata lain, dengan memanipulasi ekspresi wajah, maka seseorang akan dapat merasakan perasaan yang sesuai dengan ekspresi tersebut (Wortman, 1999). Dalam menghadapi stress, seseorang dapat mencoba mempertahankan senyum di wajahnya agar dirinya dapat merasakan kegembiraan.
Terakhir, stress dapat ditanggulangi dengan mencari objek untuk dijadikan sasaran stress tersebut. Cara ini biasa disebut dengan catharsis, yaitu dengan mengeluarkan semua perasaan negative pada suatu objek. Cara ini dapat menimbulkan resiko. Jika stress dilampiaskan dengan bentuk yang agresif (merusak barang atau melukai orang lain), maka orang yang bersangkutan akan cenderung menjadi orang yang lebih agresif walaupun perasaan lega itu dapat tercapai (Aronson, 2004). Karena itu, jika ingin menurunkan stress dengan melampiaskannya, seseorang sebaiknya mencari cara agar perilaku yang dimunculkan bukan perilaku agresif.