Jangan membunuh
Jangan membunuh (LXX: οὐ φονεύσεις; bahasa Ibrani: לֹא תִּרְצָח lo tirṣaḥ; bahasa Inggris: You shall not murder, Thou shalt not kill (KJV)) adalah suatu keharusan moral yang merupakan salah satu perintah dari Sepuluh Perintah Allah dalam Taurat,[1] secara khusus Kitab Keluaran 20:13 dan Kitab Ulangan 5:17.
Bagian dari sebuah serial tentang |
Sepuluh Perintah Allah |
---|
Artikel terkait |
Keharusan untuk tidak membunuh ini adalah dalam konteks pembunuhan di luar hukum yang mengakibatkan "utang darah".[2] Alkitab Ibrani memuat banyak peraturan yang melarang pembunuhan di luar hukum, tetapi juga memuat keharusan imperatif pembunuhan secara sah dalam konteks perang, hukuman mati, pembunuhan demi kehormatan, dan pembelaan diri.
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Retzakh
Kata kerja bahasa Ibrani רצח (r-ṣ-ḥ, juga dialihaksarakan retzakh, ratzákh, ratsakh, retzach, retsakh dan sebagainya) adalah kata yang dalam teks aslinya diterjemahkan sebagai akar kata "bunuh", tetapi mempunyai makna luas, umumnya menggambarkan tindakan destruktif, termasuk "mematahkan, membanting hancur" sebagaimana pula "membantai, membunuh".
Menurut Kitab Bilangan, membunuh orang di luar konteks perang dengan senjata, atau perkelahian tanpa senjata, dianggap sebagai retzakh,[3] tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, tersangka tidak boleh meninggalkan kota, supaya tidak dianggap bersalah atas pembunuhan disengaja.[4] Alkitab tidak pernah menggunakan kata retzakh dalam kaitan dengan perang.[5][6]
Kata kerja lain yang berarti "membunuh, membantai, menghancurkan, merusak" adalah h-r-g, digunakan pada peristiwa Kain membunuh Habel dalam Kejadian 4:8. Sewaktu Kain diusir ke dalam pembuangan, mengeluhkan bahwa "setiap orang yang bertemu aku akan membunuhku" pada Kejadian 4:14, ia kembali menggunakan kata kerja ini (h-r-g). Eliezer Segal mengamati bahwa Septuaginta mengunakan istilah harag, dan bahwa Agustinus dari Hippo mengenalinya kalau istilah ini tidak mencakup perang dan hukuman mati. Kebanyakan terjemahan selanjutnya mengikuti Vulgata hasil terjemahan Hieronimus, kendati Hieronimus memiliki akses ke para cendekiawan Yahudi. "Bahkan para penerjemah Yahudi tidak semuanya sepakat dalam mempertahankan perbedaan yang konsisten antara beragam akar kata Ibrani."[7] Pilihan kata occidere (bahasa Inggris: kill, menyebabkan sesuatu/seseorang terbunuh) yang digunakan Hieronimus merefleksikan makna yang lebih luas.
Dalam suatu analisis yang lebih modern, Wilma Ann Bailey juga mendapati adanya suatu penggunaan yang lebih luas dari kata retzakh.[8]
Perjanjian Baru
Perjanjian Baru juga memandang pembunuhan sebagai suatu kejahatan moral yang berat,[9] dan dianggap mempertahankan pandangan Perjanjian Lama mengenai "utang darah" dalam arti tertentu.[10] Yesus sendiri dipandang mengulangi dan memperluas perintah "Jangan membunuh".[11] Dalam Perjanjian Baru, Yesus menjelaskan bahwa pembunuhan, sebagaimana dosa-dosa lainnya berasal dari dalam hati.
Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.
— Matius 15:19
Perjanjian Baru mengakui peranan yang tepat dan adil dari pemerintah sipil dalam memelihara keadilan[12] dan menghukum pelaku kejahatan, bahkan sampai "menyandang pedang".[13] Salah seorang penjahat yang disalibkan mengontraskan kematiannya sebagai akibat dari hukuman dengan kematian Yesus sebagai orang yang tidak bersalah.[14]
Pandangan Katolik
Menurut Gereja Katolik, perintah kelima ini menuntut penghormatan atas kehidupan manusia dan secara lebih tepat dapat diterjemahkan menjadi "jangan melakukan pembunuhan terencana di luar hukum (murder)". Membunuh (kill), dalam keadaan tertentu, dapat dibenarkan dalam Katolisisme. Yesus memperluasnya dengan melarang kemarahan yang tidak dapat dibenarkan, kebencian dan dendam, serta mewajibkan umat Kristen untuk mengasihi musuh-musuh mereka.[15][16] Dasar dari semua ajaran Katolik seputar perintah ini adalah etika kesakralan hidup, yang menurut Peter Kreeft secara filosofis bertentangan dengan etika kualitas hidup, yaitu suatu filosofi yang ia cirikan diperkenalkan oleh sebuah buku berjudul Die Freigabe der Vernichtung des Lebensunwerten Lebens (Izin untuk Mengakhiri Kehidupan yang Tidak Layak Hidup) (lih. Kehidupan yang tidak layak hidup) dan ia tegaskan sebagai yang "pertama yang memenangkan penerimaan masyarakat ... oleh para dokter Jerman sebelum Perang Dunia II—dasar dan awal mula praktik medis Nazi."[17] Penafsiran ini didukung oleh jurnal-jurnal medis modern yang membahas dilema akibat filosofi-filosofi yang saling bertentangan ini bagi para dokter yang harus membuat keputusan antara hidup atau mati.[18] Beberapa praktisi bioetika memandang penggunaan "analogi Nazi" tersebut tidak pantas jika diterapkan pada keputusan-keputusan terkait kualitas hidup; Arthur Caplan menyebut retorika ini "kekeliruan yang memuakkan".[19] Gereja terlibat secara aktif dalam perdebatan publik mengenai aborsi, hukuman mati, dan eutanasia, serta mendorong umat beriman untuk mendukung undang-undang dan politikus yang dideskripsikannya sebagai pro-kehidupan.[20]
Aborsi
Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan: "Kehidupan manusia adalah kudus karena sejak awal melibatkan tindakan penciptaan oleh Allah dan selamanya tetap dalam hubungan khusus dengan Penciptanya. ... tidak ada seorang pun dapat mengklaim hak bagi dirinya sendiri dalam keadaan mana pun untuk secara langsung mengakhiri kehidupan manusia yang tidak bersalah."[15][21] Membunuh secara sengaja dan langsung manusia yang tidak bersalah dipandang sebagai suatu dosa berat.[21] Bahkan bobot dosanya dianggap lebih berat lagi jika melakukan pembunuhan anggota keluarga seperti "pembunuhan bayi, pembunuhan saudara, pembunuhan orang tua, pembunuhan pasangan hidup dan aborsi langsung yang dikehendaki."[15][21]
KGK menyatakan bahwa embrio yang terbentuk "sejak pembuahan harus diperlakukan sebagai pribadi". Dalam bahasa Latin, kata asli untuk "sebagai" adalah "tamquam", yang artinya "sebagaimana" atau "sama seperti".[22] "Meskipun Gereja tidak mendefinisikan secara resmi kapan kehidupan manusia benar-benar dimulai, [Gereja] telah menempuh arah untuk mempertahankan bahwa kehidupan manusia ada dari saat pembuahan atau fertilisasi"; menghormati kehidupan di semua tahapan, bahkan potensi kehidupan, umumnya merupakan konteks dokumen-dokumen Gereja.[23]
Aborsi telah secara khusus dan terus menerus dikutuk oleh Gereja sejak abad pertama.[21][24] Keterlibatan langsung atau secara aktif dalam aborsi menyebabkan hukuman ekskomunikasi yang berlaku dengan sendirinya saat pelanggaran dilakukan (bahasa Latin: latae sententiae, "hukuman [telah, yakni: otomatis] dikenakan").[15] KGK menekankan bahwa hukuman ini tidak dimaksudkan untuk membatasi belas kasihan, tetapi untuk menegaskan bobot kejahatan dan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi yang telah dilakukan terhadap anak tersebut, sebagaimana terhadap orang tuanya dan masyarakat.[15][21] "Keterlibatan aktif" dalam aborsi tidak hanya sebatas pada sang ibu yang dengan kehendak bebasnya menghendaki, tetapi juga dokter, perawat dan siapa saja yang secara langsung membantu dalam melakukan tindakan tersebut. Gereja memiliki berbagai pelayanan rekonsiliasi, misalnya Priests for Life, bagi mereka yang sungguh-sungguh bertobat dari dosa mereka atas keterlibatan aktif dalam aborsi.[25]
Ajaran resmi Gereja mengizinkan perawatan dan prosedur medis yang dimaksudkan untuk melindungi atau memulihkan kesehatan sang ibu apabila ia akan berada dalam bahaya maut tanpa dilakukannya hal-hal tersebut,[26] sekalipun prosedur tersebut menimbulkan suatu risiko kematian pada janin (lih. aborsi tidak langsung).[27] Contoh-contohnya seperti pengangkatan tuba fallopi dalam kasus kehamilan ektopik, pengangkatan rahim yang terkena kanker pada saat kehamilan, dan apendektomi.[27]
Penggunaan embrio untuk penelitian atau pembuahan
United States Catechism for Adults memuat satu bagian khusus untuk membahas program 'bayi tabung', penelitian sel punca, dan kloning dalam kaitannya dengan perintah ini; karena hal-hal ini sering kali menyebabkan pengakhiran hidup embrio manusia maka dipandang sebagai suatu bentuk pembunuhan dengan kadar dosa yang berat.[28] Penelitian sel punca embrionik disebut sebagai "suatu cara amoral untuk suatu hasil yang baik" dan "tidak dapat diterima secara moral."[28] Para uskup Amerika Serikat mengutip Instruksi tentang Penghormatan pada Kehidupan Manusia dalam Asal Mulanya dan tentang Martabat Prokreasi yang dikeluarkan Kongregasi Ajaran Iman: "Tidak ada tujuan yang mulia sekalipun, seperti keuntungan masa mendatang untuk ilmu pengetahuan, untuk manusia lainnya, atau untuk masyarakat, yang dapat dengan cara apapun membenarkan dilakukannya eksperimen pada janin atau embrio manusia hidup, entah ia mampu bertahan hidup atau tidak, baik di dalam atau di luar tubuh ibunya." Para uskup tersebut menyampaikan bahwa penelitian sel punca dewasa, menggunakan sel-sel yang diperoleh dengan penjelasan dan persetujuan sepenuhnya, adalah suatu bidang penelitian yang dapat diterima secara moral.[28]
Bunuh diri, eutanasia
Perintah ini melarang bunuh diri dan pembunuhan karena belas kasihan (atau eutanasia) atas mereka yang sekarat, sekalipun untuk menghilangkan penderitaan. Menurut Gereja, perawatan yang biasanya diberikan terhadap mereka yang menghadapi bahaya kematian secara moral tidak dapat dihentikan. "Perawatan yang biasanya diberikan" mengacu pada makanan, air, dan penghilang rasa sakit, tetapi tidak termasuk "perawatan luar biasa" yang mengacu pada penggunaan pipa makanan atau respirator yang dipandang bersifat opsional atau sukarela. Mengizinkan orang yang menderita penyakit terminal (sakit parah yang tidak dapat disembuhkan) untuk meninggal dunia dengan menggunakan obat penghilang rasa sakit yang mungkin mempersingkat hidup mereka, atau menolak perawatan luar biasa seperti kemoterapi ataupun radiasi, dapat diterima secara moral dan tidak melanggar perintah ini, sesuai dengan prinsip akibat ganda.[29]
Hukuman mati
Selama dua ratus tahun pertama, orang-orang Kristen "menolak untuk membunuh di dalam militer, dalam mempertahankan diri, atau di dalam sistem peradilan.[30] Ketika Gereja pertama kali diakui sebagai suatu lembaga publik pada tahun 313, sikapnya terhadap hukuman mati menjadi suatu bentuk toleransi meski bukan penerimaan secara langsung.[30] Hukuman mati mendapat dukungan dari para teolog Katolik awal, kendati demikian beberapa dari mereka seperti Ambrosius mendorong para klerus agar tidak memaklumkan atau melaksanakan hukuman mati. Agustinus menjawab keberatan-keberatan yang berakar pada perintah pertama dalam buku Kota Allah karyanya.[31] Thomas Aquinas dan Duns Scotus berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati oleh otoritas sipil didukung Kitab Suci.[31] Sebagai prasyarat untuk rekonsiliasi dengan Gereja, Paus Innosensius III mengharuskan Peter Waldo dan kaum Waldens agar menerima bahwa "kekuasaan sekuler dapat, tanpa berdosa berat, melakukan penghakiman darah, asalkan menghukum dengan keadilan, bukan karena kebencian, dengan kehati-hatian, bukan ketergesa-gesaan".[31] Paul J. Surlis menyatakan bahwa ajaran-ajaran resmi Gereja tidak secara mutlak mengutuk ataupun mendukung hukuman mati, toleransi terhadap pelaksanaannya mengalami fluktuasi sepanjang zaman.[30] Inkuisisi merupakan contoh yang paling sering dikenang terkait dukungan Gereja atas hukuman mati, walaupun sejumlah sejarawan menganggapnya lebih lunak daripada pengadilan-pengadilan sekuler pada zaman tersebut.[32][33]
KGK menyatakan bahwa hukuman mati diizinkan dalam kasus-kasus ekstrem. Hal ini dimungkinkan jika "tanggung jawab dan identitas pihak yang bersalah telah dipastikan sepenuhnya" dan jika hukuman mati adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan kehidupan manusia lainnya dari pihak yang bersalah. Namun demikian jika ada cara-cara lain untuk membela orang-orang dari "penyerang yang tidak dapat dibenarkan", cara-cara tersebut lebih diutamakan karena dipandang lebih menghormati martabat manusia dan menjaga kebaikan bersama.[21] Karena masyarakat modern telah memiliki cara-cara efektif untuk mencegah kejahatan tanpa perlu eksekusi, KGK menyatakan bahwa, "kasus-kasus yang mutlak memerlukan eksekusi pelaku kejahatan 'adalah sangat langka, atau bahkan tidak ada.'"[21] Paus Yohanes Paulus II membahas dan menegaskan hal ini dalam Evangelium Vitae yang dipublikasikan pada tahun 1995.[30]
Kesehatan pribadi, jenazah, penguburan
Menurut ajaran Gereja, penghormatan atas kehidupan manusia mensyaratkan penghormatan tubuh sendiri, menghindari perilaku yang tidak sehat, penyalahgunaan terhadap makanan, alkohol, obat-obatan, obat-obatan terlarang, tato dan tindik tubuh.[29] Gereja juga memperingatkan untuk tidak mengikuti kecenderungan perilaku yang "sibuk secara berlebihan dengan kesehatan dan kepuasan tubuh yang 'memberhalakan' kesempurnaan fisik, kebugaran, dan kesuksesan di bidang olahraga."[15]
Tindakan-tindakan penculikan, terorisme, dan penyiksaan dilarang keras, termasuk juga sterilisasi, amputasi dan mutilasi yang dilakukan bukan karena alasan medis terapeutik yang kuat.[15][21] Menurut KGK, masyarakat memiliki kewajiban moral agar berusaha menyediakan kondisi-kondisi hidup yang sehat bagi semua orang.[29]
Keyakinan Gereja akan kebangkitan badan menyebabkan adanya suatu larangan terhadap kremasi yang kemudian saat Konsili Vatikan II tahun 1960-an diubah secara pastoral dengan persyaratan kondisi-kondisi tertentu, misalnya tidak menyangkal keyakinan akan kebangkitan badan, tetapi kondisi-kondisi tersebut sering kali diabaikan bahkan oleh para klerus.[34] Menurut KGK, pemakaman orang yang telah meninggal dunia merupakan suatu karya belas kasih jasmaniah yang mengharuskan perlakuan terhadap tubuh dengan rasa hormat dan kasih sehingga praktik-praktik seperti melarung abu jenazah yang dikremasi dan pemakaman di makam tak bertanda dilarang dalam Gereja Katolik. Donasi organ tubuh setelah kematian dan transplantasi organ dengan persyaratan tertentu, juga otopsi jenazah demi alasan hukum dan penyelidikan ilmiah diizinkan.[35]
Perang dan pertahanan diri
Dalam Khotbah di Bukit, Yesus Kristus mengingatkan adanya perintah "Jangan membunuh"[36] dan kemudian menambahnya dengan larangan-larangan terhadap kemarahan, kebencian, serta dendam.[37] Lebih lanjut lagi Kristus meminta murid-murid-Nya supaya mengasihi musuh-musuh mereka.[38] KGK menegaskan bahwa "adalah sah seseorang menuntut penghormatan atas haknya sendiri untuk hidup."[38] Peter Kreeft mengatakan bahwa "pertahanan diri adalah sah untuk alasan yang sama dengan tidak sahnya bunuh diri: karena kehidupan seseorang merupakan anugerah dari Allah, suatu harta yang wajib kita lestarikan dan pertahankan."[39] KGK mengajarkan bahwa "seseorang yang mempertahankan hidupnya tidak bersalah atas pembunuhan kendatipun ia terpaksa mengatasi penyerangnya dengan suatu pukulan mematikan."[38] Pembelaan atau pertahanan yang sah dapat saja bukan sekadar hak tetapi kewajiban berat bagi seseorang yang bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Pertahanan untuk kebaikan bersama mensyaratkan bahwa penyerang yang tidak dapat dibenarkan dijadikan tidak mampu menyebabkan bahaya. Untuk alasan ini, mereka yang memiliki kewenangan sah juga memiliki hak untuk menggunakan senjata demi menghalau para penyerang masyarakat sipil yang dipercayakan ke dalam tanggung jawab mereka.[38]
Gereja meminta semua orang untuk berdoa dan berupaya mencegah perang yang tidak adil atau tidak dibenarkan, tetapi perang yang dapat dibenarkan dimungkinkan dengan kondisi-kondisi tertentu:
- Alasan untuk berperang adalah pembelaan diri (defensif).
- "Kerugian yang diakibatkan oleh penyerang ... harus diketahui dengan pasti, bersifat berat dan langgeng."
- Merupakan pilihan terakhir yang diambil setelah semua cara lain untuk mengakhiri "kerugian berat" tersebut terbukti tidak efektif.
- Tujuan utamanya adalah perdamaian dan ada kesempatan besar untuk meraih kesuksesan.
- Tidak mengakibatkan kejahatan yang lebih buruk daripada kejahatan yang akan disingkirkan. Hal ini termasuk larangan penggunaan senjata untuk memusnahkan seluruh kota dan daerah beserta para penduduknya.
- Diperlukan penghormatan dan perlakuan manusiawi bagi para penduduk sipil, tentara yang terluka, dan tawanan perang. Para tentara yang akan berperang wajib mengabaikan perintah untuk melakukan genosida dan semua tindakan yang melanggar prinsip-prinsip universal.[21][40]
Penyesatan
KGK mengklasifikasikan penyesatan atau skandal di dalam perintah ini, dan mendefinisikannya sebagai "sikap atau perilaku yang menyebabkan orang lain melakukan kejahatan".[41] Dalam Injil Matius, Yesus menyatakan, "Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut."[42] Gereja memandangnya sebagai suatu kejahatan serius yang menyebabkan iman, harapan, dan kasih dalam diri orang lain menjadi lemah, terutama jika hal ini dilakukan terhadap anak-anak atau kaum muda dan pelakunya adalah pribadi dari pihak otoritas seperti orang tua, guru, atau imam.[21][41]
Lihat pula
Referensi
- ^ Keluaran 20:1–21, Ulangan 5:1–23, Ten Commandments, New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1174-1175
- ^ (Inggris) Bloodguilt, Jewish Virtual Library, Genesis 4:10, Genesis 9:6, Genesis 42:22, Exodus 22:2-2, Leviticus 17:4, Leviticus 20, Numbers 20, Deuteronomy 19, Deuteronomy 32:43, Joshua 2:19, Judges 9:24, 1 Samuel 25, 2 Samuel 1, 2 Samuel 21, 1 Kings 2, 1 Kings 21:19, 2 Kings 24:4, Psalm 9:12, Psalm 51:14, Psalm 106:38, Proverbs 6:17, Isaiah 1:15, Isaiah 26:21, Jeremiah 22:17, Lamentations 4:13, Ezekiel 9:9, Ezekiel 36:18, Hosea 4:2, Joel 3:19, Habakkuk 2:8, Matthew 23:30-35, Matthew 27:4, Luke 11:50-51, Romans 3:15, Revelation 6:10, Revelation 18:24
- ^ Bilangan 35:16-21
- ^ Bilangan 35:22-26
- ^ Yosua 10:19
- ^ Yosua 10:28-32
- ^ (Inggris) Segal, Eliezer. "Thou Shalt Not Murder", Jewish Free Press, October 19, 2000, p. 8
- ^ (Inggris) Bailey, Wilma Ann. "You Shall Not Kill" Or "You Shall Not Murder"?, Liturgical Press, 2005 ISBN 9780814652145
- ^ Matius 5:21, Matius 15:19, Matius 19:19, Matius 22:7, Markus 10:19, Lukas 18:20, Roma 13:9, 1 Timotius 1:9, Yakobus 2:11, Wahyu 21:8
- ^ Matius 23:30-35, Matius 27:4, Lukas 11:50-51, Roma 3:15, Wahyu 6:10, Wahyu 18:24
- ^ Matius 5:21, Matius 19:19, Markus 10:19, Lukas 18:20
- ^ Roma 13:1-7, 1 Petrus 4:15, (Inggris) John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book 4, Chapter 20.
- ^ (Inggris) Romans 13:4 and commentary, The NIV Study Bible, Zondervan, 1995 p. 2240
- ^ Lukas 23:41
- ^ a b c d e f g Schreck, pp. 310–312
- ^ Matius 5:21–22
- ^ Kreeft, pp. 226–227
- ^ Bayertz, p. 233
- ^ Annas and Grodin, p. 262
- ^ (Inggris) Faithful Citizenship, A Catholic Call to Political Responsibility, United States Conference of Catholic Bishops, 2003, diakses tanggal 28 November 2008
- ^ a b c d e f g h i j (Inggris) Paragraph number 2258–2330 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 27 December 2008
- ^ (Inggris) CCC, 2274, Vatican.va
- ^ Rausch, p.150
- ^ Kreeft, p. 232
- ^ Kreeft, p. 233
- ^ Posner, p. 278
- ^ a b Kelly, pp. 112–113
- ^ a b c USCCB, pp. 392–393
- ^ a b c Kreeft, p. 236
- ^ a b c d (Inggris) Suris, Paul. "Church Teaching and the Death Penalty". The Vincentian Center for Church and Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-29. Diakses tanggal 2009-05-05.
- ^ a b c Dulles, Avery (April 2001). "Catholicism and Capital Punishment". First Things: A Monthly Journal of Religion and Public Life. 121. catholiceducation.org. hlm. 30–35. Diakses tanggal 2016-02-26.
- ^ Vidmar, p. 150
- ^ Peters, p. 112
- ^ (Inggris) Owen, Richard (11 January 2008), Burial is best–but you can scatter your ashes if you must, rules Vatican, London: TimesOnline, diakses tanggal 28 February 2009
- ^ (Inggris) Paragraph number 2299–2301 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 28 February 2009
- ^ Matius 5:21
- ^ Matius 5:22–39
- ^ a b c d (Inggris) Paragraph number 2263–2267 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 12 April 2009
- ^ Kreeft, p. 229
- ^ Kreeft, p. 238
- ^ a b Kreeft, p. 237
- ^ Matius 18:6
Sumber kutipan
- (Inggris) Annas, George; Grodin, Michael (1995). The Nazi doctors and the Nuremberg Code. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-510106-5.
- (Inggris) Bayertz, Kurt (1996). Sanctity of Life and Human Dignity. Springer. ISBN 978-0-7923-3739-3.
- (Inggris) Kreeft, Peter (2001). Catholic Christianity. Ignatius Press. ISBN 0-89870-798-6.
- (Inggris) Peters, Edward (1989). Inquisition. University of California Press. ISBN 978-0-520-06630-4.
- (Inggris) Posner, Richard (1994). Sex and Reason. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-80280-3.
- (Inggris) Rausch, Thomas P. (2003). Catherine E. Clifford, ed. Catholicism in the Third Millennium (edisi ke-2nd). Collegeville: Liturgical Prress. ISBN 9780814658994.
- (Inggris) USCCB (United States Conference of Catholic Bishops) (2008). United States Catechism for Adults. USCCB Publishing. ISBN 978-1-57455-450-2.
- (Inggris) Vidmar, John (2005). The Catholic Church Through the Ages. Paulist Press. ISBN 0-8091-4234-1.
Pustaka tambahan
- (Inggris) The Jewish Study Bible, Tanakh Translation. 2004. Berlin, Adele; Brettler, Marc Zvi; Fishbane, Michael, eds. Jewish Publication Society, New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-529751-2
- (Inggris) Matthew Henry’s Concise Commentary on the Whole Bible, http://www.biblestudytools.com/Commentaries/MatthewHenryConcise/ (accessed 2 September 2009)
- (Inggris) The Holy Bible, English Standard Version. 2007. Crossway Bibles, Wheaton, IL. ISBN 1-58134-379-5
- (Inggris) New Jerusalem Bible. 1985. http://www.catholic.org/bible/ (accessed 28 August 2009)
- (Inggris) The NIV Study Bible. 1995. Barker, Kenneth, Burdick, Donald; Stek, John; Wessel, Walter; Youngblood, Ronald, eds. Zondervan. Grand Rapids, MI, USA ISBN 0-310-92709-9
- (Inggris) U.S. Catholic Church. Catechism of the Catholic Church. 2003. Doubleday Religion. ISBN 0-385-50819-0 http://www.vatican.va/archive/ccc_css/archive/catechism/p3s2c2a4.htm (accessed 1 September 2009)