Cap tikus

jenis minuman beralkohol
Revisi sejak 11 Februari 2021 13.39 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 0 sources and tagging 7 as dead.) #IABot (v2.0.8)

Cap Tikus adalah minuman beralkohol tradisional Minahasa dari hasil fermentasi dan distilasi Air Nira dari Pohon Aren (pinnata). Minuman ini sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Minahasa, dan umumnya di konsumsi oleh para Bangsawan atau oleh masyarakat umum dalam acara adat.

Sejarah

 
Litografi pedagang keliling tuak nira dan prajurit pribumi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) karya Auguste van Pers (1854).

Dalam upacara naik rumah baru, para Penari Maengket menyanyi lagu Marambak untuk menghormati Dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng. Tuan rumah harus menyodorkan minuman Cap Tikus kepada Tonaas pemimpin upacara adat naik rumah baru sambil penari menyanyi “tuasan e sopi e maka wale”, artinya tuangkan Cap Tikus wahai tuan rumah.

Minuman keras ini bahkan terkenal hingga ke Kepulauan Ternate. Keterangan mengenai Cap Tikus di Ternate ditulis oleh juru tulis pengeliling dunia Colombus dari Spanyol bernama Antonio Pigafetta. Setelah kapal mereka melalui dua buah Pulau Sangir dan Talaud lalu 15 Desember 1521 mereka tiba di pelabuhan Ternate dan dijamu Raja Ternate dengan minuman arak yang terbuat dari air tuak yang dimasak.

Kendati buku “Perjalanan keliling dunia Antonio Pigafetta” terbitan tahun 1972 halaman 127-128 tidak menjelaskan dari mana Raja Ternate mendapatkan minuman Cap Tikus, namun Perlu ditelisik masyarakat Ternate tidak punya budaya “Batifar” hingga kemungkinan besar minuman Cap Tikus sama halnya dengan beras yang didatangkan ke Ternate dari Minahasa.[1]

Kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani sejauh ini masih menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.

Minuman keras tradisionil Minahasa ini pada mulanya bernama Sopi. Namun, sebutan Sopi berubah menjadi Cap Tikus ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi Perang Jawa, sebelum tahun 1829, menemukan Sopi dalam botol-botol biru dengan gambar ekor tikus. Sopi dijual oleh para pedagang Cina di Benteng Amsterdam, Manado.

Yang pasti, minuman Cap Tikus sudah sejak dulu sangat akrab dan populer di kalangan petani Minahasa. Umumnya, petani Minahasa, sebelum pergi ke kebun atau memulai pekerjaannya, minum satu seloki Cap Tikus untuk penghangat tubuh dan pendorong semangat untuk bekerja.[2]

Produksi

Produksi Tradisional

Memproduksi Cap Tikus butuh berhari-hari. Kerja sejak pagi hingga sore, bahkan malam. Butuh waktu dan tenaga. Sebab kebanyakan pohon aren (pohon seho) tingginya lebih dari 10 meter. Menaiki pohon aren di Minahasa Selatan (Minsel) juga dilakukan tradisional. Hanya dengan sebuah bambu berlubang jari yang disandarkan di batang pohon.

  1. Dengan lilang (parang) sangat tajam, mayang pohon seho diketuk untuk merangsang air niranya. Proses pengetukan sebanyak tiga sampai empat hari agar nira banyak dan bagus. Nira yang digunakan dalam pembuatan Cap Tikus harus asam. Nira yang manis sering didiamkan sehari agar  asam, kemudian disuling.
  2. Proses penyulingan dilakukan di tungku yang disebut porno. Dibakar menggunakan kayu api. Wadah untuk penyulingan nira aren adalah drum besar. Dibutuhkan sekitar satu sampai dua jam untuk proses penyulingan. Enam galon nira atau sering disebut saguer, hanya menghasilkan satu galon Cap Tikus.
  3. Pada saat penyulingan, dua botol Cap Tikus hasil penyulingan pertama memiliki kadar di atas 45 persen. Itu disebut cakram. Yang paling enak dan paling keras kadarnya. Beberapa botol setelahnya, kadarnya tinggal 30 sampai 20 persen.

Semua proses pembuatan Cap Tikus ini dilakukan petani Cap Tikus di Minsel. Setiap hari, dari pagi hingga malam. Butuh perjuangan ekstra apalagi dengan banyaknya resiko kecelakaan kerja karena semua serba tradisional.Bahan dasar pembuatannya berasal dari air sadapan yang menetes dari Pohon Enau, yang oleh masyarakat Minahasa dikenal sebagai Pohon Akel atau Seho. Secara umum pohon ini disebut Pohon Aren.[1][pranala nonaktif permanen]

Berkas:Cap Tikus 1978 dengan Pita Cukai.jpg
Sebotol Cap Tikus merek "Cap Tikus 1978" yang di produksi secara moderen

Produksi Modern

Kini Cap Tikus telah di produksi dengan metode modern, aman dikonsumsi dan legal, memenuhi standart BPOM dan Bea Cukai

Di dalam pabrik, tong besar tempat menampung Cap Tikus dari penyuplai. Tiap tong yang kapasitas mencapai ratusan liter. Kemudian pipa menyalurkan Bahan mentah Cap Tikus ke tempat desimilasi dan penyaringan. Selanjutnya pipa mengarah ke alat pengisian. Di situ, botol khas Cap Tikus berukuran 320 ml menunggu untuk diisi. Selanjutnya pindah ke alat penutupan segel botol dan pemberian label.

  1. Di dalam pabrik, tong besar tempat menampung Cap Tikus dari penyuplai. Tiap tong yang kapasitas mencapai ratusan liter “Ketika Cap Tikus mentah dari pengumpul datang, ditampung dalam wadah. Selanjutnya masuk ke tong untuk proses destilasi. Selanjutnya kita lakukan destilasi sebanyak tiga kali. Dalam proses destilasi dibuang timbal dan merkurinya. Setelah dibuang dua bahan kimia itu, Cap Tikus menjadi aman untuk dikonsumsi orang dewasa,”
  2. Kemudian pipa menyalurkan Bahan mentah Cap Tikus ke tempat destilasi dan penyaringan. Selanjutnya dilakukan destilasi sebanyak tiga kali. Dalam proses destilasi dibuang timbel dan merkurinya. Setelah dibuang dua bahan kimia itu, Cap Tikus menjadi aman untuk dikonsumsi orang dewasa. Setelah proses filterisasi dan destilasi , perubahan paling kasatmata terlihat adalah kebeningan Cap Tikus. Dari bahan mentah cap tikus yang keruh, setelah proses destilasi akan menjadi lebih bening dan baunya tidak terlalu menyengat. Namun rasa dan kadarnya tetap terasa.
  3. Masuk ke mesin penampungan, Cap Tikus yang telah siap langsung dimasukkan ke dalam botol dan disegel serta diberi label. Semua proses sampai pada penutupan botol dan pemakaian label menggunakan alat. Hanya pemasangan cukai yang dilakukan secara manual.[2][pranala nonaktif permanen]

Saat Ini

Cap Tikus akhirnya bisa lebih bernilai. Dikemas lebih menarik dengan sebuah botol kecokelatan berukuran sedang. Tutup botolnya dipakaikan kertas cukai. Sementara sebagian botolnya dikemas dengan memakai kertas bertuliskan Cap Tikus 1978. Kini minuman ini bisa dijadikan ole-ole bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Dengan legalnya Cap Tikus, para petani sudah bisa bernafas lega, Ada lebih dari 200 ribu orang mencari nafkah. [3][pranala nonaktif permanen]

Namun saat ini para petani CapTikus bisa bernafas lega. Bupati Minsel saat ini sedang gencar melakukan upaya melegalkan minuman khas CapTikus. Salah satunya dengan menggandeng pengusaha yang siap mengemas cap tikus menjadi minuman khas dari minsel. Menjadi harapan baru untuk petani cap tikus di minsel jika minuman cap tikus menjadi legal dan bisa dipasarkan keluar negeri.[4]

Dengan kerjasama dengan APINDO, BPOM Manado, dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan yang mau mengangkat captikus menjadi minuman khas yang legal. Untuk lebih memperhatikan kesejahteraan para petani cap tikus yang sudah turun temurun bertani dan membudidayakan minuman khas ini dan juga mengangkat nilai jual cap tikus menjadi lebih besar dan berharga. [5][pranala nonaktif permanen]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ https://beritamanado.com/sejarah-cap-tikus-minuman-ciptaan-para-dewa-1/
  2. ^ Tangkilisan, Yuda. (2012). Kesenian Kuno Minahasa: Dari Perspektif Sejarah Publik. Public History Review. 19. 104. 10.5130/phrj.v19i0.3098.

Pranala luar