Infalibilitas Paus

Revisi sejak 11 Februari 2021 15.47 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Add 3 books for Wikipedia:Pemastian (20210209)) #IABot (v2.0.8) (GreenC bot)

Dalam teologi Katolik, infalibilitas kepausan adalah dogma yang menyatakan bahwa, dengan kuasa Roh Kudus, Sri Paus dilindungi dari (bahkan) kemungkinan membuat kesalahan ketika ia secara resmi menyatakan atau mengumumkan kepada Gereja mengenai sebuah ajaran dasar tentang iman atau moralitas seperti yang terkandung di dalam wahyu Tuhan, atau setidaknya memiliki hubungan yang sangat dalam dengan wahyu Tuhan. Untuk semua ajaran infalibilitas, Roh Kudus juga berkerja lewat tubuh Gereja untuk memastikan bahwa ajaran-ajaran tersebut diterima oleh semua umat Katolik.

Doktrin ini didefinisikan secara dogmatis dalam Konsili Vatikan Pertama tahun 1870. Menurut teologi Katolik, ada beberapa konsep yang penting untuk dipelajari agar bisa mengerti tentang infalibilitas dan wahyu Tuhan: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium (Majelis) Suci. Ajaran-ajaran infalibilitas kepausan adalah bagian dari Magisterium Suci, yang juga terdiri atas dewan-dewan ekumenikal (kumpulan para uskup) serta majelis-majelis biasa dan dunia. Dalam teologi Katolik, infalibilitas kepausan adalah salah satu terusan dari infalibilitas Gereja. Infalibilitas kepausan harus berdasarkan pada, atau minimal tidak mengkontradiksi, Tradisi Suci maupun Kitab Suci. Infalibilitas kepausan tidak berarti bahwa Sri Paus adalah suci sempurna, yakni dirinya khusus dibebaskan dari beban dosa.

Dalam praktiknya, para paus sangat jarang menggunakan kekuasaan infalibilitas ini, tetapi hanya mendasarkan diri pada suatu pemikiran bahwa Gereja menerima badan kepausan sebagai pihak penguasa yang memutuskan hal-hal yang diterima sebagai iman resmi Gereja. Semenjak deklarasi resmi mengenai infalibilitas kepausan dalam Konsili Vatikan Pertama pada tahun 1870, kekuasaan ini hanya pernah digunakan sekali ex cathedra: pada tahun 1950 ketika Paus Pius XII menyatakan bahwa Diangkatnya Maria ke Surga menjadi bagian iman umat Katolik Roma.

Syarat-syarat Infalibilitas Kepausan

Pernyataan-pernyataan oleh seorang Paus yang menggunakan kuasa infalibilitas kepausan dirujuk sebagai ketentuan-ketentuan resmi paus atau ajaran-ajaran ex cathedra. Hal ini seharusnya tidak dirancukan dengan ajaran-ajaran yang tidak bisa salah karena dikeluarkan secara resmi oleh sebuah dewan ekumenikal, atau dirancukan dengan ajaran-ajaran yang tidak bisa salah berdasarkan atas kenyataan bahwa ajaran-ajaran itu diajarkan oleh magisterium biasa dan dunia.

Menurut ajaran Konsili Vatikan Pertama dan tradisi Katolik, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengeluarkan ajaran ex cathedra adalah sebagai berikut:

  1. "Uskup Roma"
  2. "Menyatakan ex cathedra" (yakni saat dalam pengutusan dari jabatannya sebagai gembala dan guru semua umat Kristiani, dan berdasarkan pada kekuasaan apostolis tertingginya.)
  3. "Ia menentukan"
  4. "bahwa sebuah doktrin mengenai iman atau moralitas"
  5. "harus dipatuhi oleh seluruh Gereja" (Pastor Aeternus bab 4)

Agar sebuah ajaran oleh seorang Paus atau dewan ekumenikal diterima sebagai ajaran yang tidak bisa salah, ajaran tersebut harus menyebutkan secara jelas bahwa Gereja menganggapnya sebagai keputusan akhir dan mengikat. Tidak ada aturan khusus yang mengatur hal-hal tersebut, tetapi hal tersebut biasanya diindikasikan oleh salah satu atau kedua hal berikut ini: (1) sebuah rumus lisan yang mengindikasikan bahwa ajaran ini adalah suatu keputusan (seperti kata-kata "Kami mengumumkan, memutuskan dan menetapkan bahwa ..."), atau (2) sebuah peringatan pendamping yang menyatakan bahwa siapa saja yang secara sengaja menolaknya akan dianggap keluar dari Gereja Katolik. Contohnya, pada tahun 1950, dengan Munificentissimus Deus, ketentuan infalibilitas Paus Pius XII mengenai Diangkatnya Maria ke Surga, terdapat kata-kata sebagai berikut: "Oleh karenanya apabila ada orang, semoga Tuhan tidak membiarkannya ada, yang berani secara sengaja untuk menolak atau mengundang keragu-raguan akan hal yang telah kita putuskan, biarlah ia tahu bahwa ia telah terlempar keluar secara sepenuhnya dari Tuhan dan iman Katolik."

Sebuah ajaran yang mengandung infalibilitas oleh seorang Paus atau dewan ekumenikal dapat mengkontradiksi ajaran-ajaran Gereja sebelumnya, sepanjang ajaran-ajaran tersebut tidak diajarkan sendiri dengan tanpa kesalahan. Dalam kasus ini, ajaran-ajaran yang "bisa dianggap salah" tersebut segera dihilangkan. Tentunya sebuah ajaran yang tidak bisa salah tidak bisa mengkontradiksi ajaran infalibilitas sebelumnya, termasuk ajaran-ajaran infalibilitas tentang Kitab Suci dan Tradisi Suci. Juga, karena sensus fidelium, sebuah ajaran yang tidak bisa salah selanjutnya tidak bisa dikontradiksi oleh Gereja Katolik, bahkan bila ajaran tersebut sebenarnya "bisa dianggap salah".

Adalah opini dari mayoritas teolog Katolik bahwa kanonisasi seorang paus masuk ke dalam batasan ajaran infalibilitas. Oleh karenanya, bisa dianggap oleh mayoritas teolog ini, bahwa orang-orang yang dikanonisasi tersebut pasti berada di surga bersama Tuhan. Namun, pendapat infalibilitas kanonisasi ini belum pernah diajarkan secara pasti oleh Magisterium. Para teolog lainnya, bahkan mereka yang berasal dari era awal Gereja, merujuk pendapat mayoritas ini sebagai "pendapat yang suci, namun tetap saja hanyalah sebuah pendapat".

Sebelum puncak zaman pertengahan, orang-orang suci tidak ditetapkan oleh Uskup Roma, melainkan oleh para uskup dari keuskupan-keuskupan setempat, menerima maupun menolak permintaan orang-orang terhadap penetapan kesucisn seorang Kristiani yang wafat "dalam aura kesucian". Dalam ajaran Katolik, uskup-uskup lokal tidak memiliki rahmat infalibilitas (namun mereka memperolehnya ketika berkumpul bersama membentuk Dewan Ekumenikal), sehingga hal ini menyebabkan kanonisasi yang dilakukan dalam masa awal Gereja tidak memiliki kepastian infalibilitas.

Ex cathedra

Dalam teologi Katolik, frasa Latin ex cathedra, secara harafiah berarti "dari kursi; dari tahta; berasal dari tahta", merujuk pada sebuah ajaran Paus yang dianggap dilahirkan dengan niat untuk menggunakan kekuasaan infalibilitas.

"Kursi" yang dimaksud bukanlah sebuah kursi secara fisik, tetapi sebuah rujukan metafora pada kedudukan Sri Paus, atau pemerintahannya selaku Uskup Roma, sebagai guru resmi dari doktrin Katolik: kursi merupakan simbol seorang guru di dunia kuno, dan para uskup hingga hari ini memiliki sebuah cathedra, sebuah kedudukan atau takhta, sebagai sebuah simbol kekuasaan pengajaran dan pemerintahan mereka. Sri Paus dianggap menduduki Tahta Santo Petrus, semenjak umat Katolik percaya bahwa di antara para rasul, Santo Petrus memiliki sebuah peran khusus sebagai penjaga persatuan. Sehingga Sri Paus sebagai penerus Santo Petrus memegang peranan sebagai juru bicara seluruh Gereja di antara para uskup, para penerus gembala Gereja dalam bentuk kumpulan para rasul.

Dasar-dasar Infalibilitas dalam Kitab Suci

Doktrin Gereja ini dapat ditelusuri dalam sejarah pada Kitab Suci. Dalam kalimat-kalimat Kitab Suci, doktrin ini mendukung infalibilitas kepausan, di antaranya:

  • Yohanes 1:42, Markus 3:16 ("Dan pada Simon Ia memberi nama Petrus, Kaifas, atau Batu Karang)
  • Matius 16:18 cf. Matius 7:24-28
  • Yohanes 21:15-17
  • Lukas 10:16
  • Lukas 22:31-32
  • Kisah Para Rasul 15:28
  • Matius 10:2
  • Matius 16:19
  • Ludwig Ott menunjukkan banyak indikasi dalam Kitab Suci bahwa Santo Petrus diberikan peran yang lebih utama dibandingkan rasul-rasul lainnya: Markus 5:37, Matius 17:1, Matius 26:37, Lukas 5:3, Matius 17:27, Lukas 22:32, Lukas 24:34, and 1 Korintus 15:5.

Kedudukan Lebih Tinggi Uskup Roma

Agama-agama yang berdasarkan doktrin mengembangkan teologi mereka dari masa ke masa, dan Agama Katolik tidak terkecuali daripadanya. Teologinya tidak tumbuh seketika itu juga dan tidak terbentuk penuh dalam jiwa Gereja awal.

Doktrin bahwa uskup-uskup Roma memiliki kedudukan yang lebih tinggi, seperti juga ajaran-ajaran Gereja lainnya dan institusi-institusi lainnya, melewati suatu proses pertumbuhan tersendiri. Karenanya, pembentukan posisi lebih tinggi (Uskup Roma) yang tercatat di dalam Injil secara bertahap dikenali secara lebih jelas dan implikasinya berkembang. Indikasi yang jelas mengenai kesadaran akan kedudukan uskup-uskup Roma yang lebih tinggi dan pengakuan kedudukan tersebut oleh gereja-gereja lain muncul pada akhir abad pertama.

Santo Klementus dari Roma, sekitar tahun 99, menyatakan dalam sebuah surat kepada umat di Korintus: "Sungguh kalian akan memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada kami, bila menjadi taat pada apa yang telah kami tulis melalui Roh Kudus, kalian akan membuang tindakan-tindakan kalian yang tidak sesuai hukum atas dasar dorongan yang telah kita nyatakan dalam surat kerasulan ini mengenai perdamaian dan persatuan."

Santi Klementus dari Alexandria menulis mengenai kedudukan Santo Petrus yang lebih tinggi di sekitar tahun 200: "... Petrus yang terberkati, yang terpilih, yang terbaik, yang pertama di antara para rasul, yang hanya memberikan penghormatan pada Yesus Kristus Sang Penyelamat..."

Keberadaan hierarki Gereja ditekankan oleh Santo Stefanus I, sekitar tahun 251, dalam sebuah surat kepada Uskup Antiokhia: "Oleh karena itu, tidakkah pembela Injil yang terkenal (Novasian) tahu bahwa harusnya hanya ada satu uskup di dalam Gereka Katolik (dari Kota Roma)? Hal ini tidak tersembunyi daripadanya ..."

Santi Julius I, pada tahun 341, menulis kepada orang-orang Antiokhia: "Atau apakah kalian tidak tahu bahwa sudah tradisi untuk menulis kepada kami terlebih dahulu, dan bahwa disinilah apa yang adil diputuskan?"

Jelaslah kemudian bahwa sebuah pengertian di antara para rasul dicatat ke dalam apa yang kemudian menjadi Kitab Suci, dan secara cepat menjadi tradisi hidup Gereja. Dari sana, teologi yang terlihat lebih jelas bisa lahir.

Santo Siricius menulis kepada Himerius pada tahun 385: "Menjawab pertanyaanmu, kami tidak menolak balasan resmi sebab kami, tempat dimana semangat agama Kristen berkuasa di atas seluruh Gereja, dengan mempertimbangkan kedudukan kami, kami tidak bisa menutup-nutupi atau tinggal diam. Kami memikul beban semua orang yang terbebani; bahkan Rasul Petrus yang terberkati juga turut memikul beban ini dalam diri kami, yang kami percaya Ia melindungi kami dalam segala urusan Gereja dan Ia menjaga para penerusnya."

Banyak Bapak-bapak Gereja mengatakan bahwa Dewan-Dewan Ekumenikal (kumpulan para uskup) dan Uskup Roma sebagai pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang dapat dipercaya untuk mengajarkan isi dari Kitab Suci dan Tradisi Gereja.

Sejarah Teologi

Abad Pertengahan

Dalam abad pertengahan dan abad pencerahan doktrin infalibilitas kepausan dikembangkan pertama kali. Teolog pertama yang secara sistematis membahas infalibilitas dari dewan-dewan ekumenikal adalah Theodore Abu Qurra pada abad ke-9.

Beberapa teolog abad pertengahan mendiskusikan infalibilitas kepausan ketika memutuskan masalah-masalah iman dan moralitas, termasuk di antaranya Santo Thomas Aquinas dan John Peter Olivi. Pada tahun 1330, Guido Terreni, seorang uskup dari ordo Karmel, menjelaskan penggunaan rahmat infalibilitas oleh Sri Paus dalam kata-kata yang sangat mirip dengan apa yang digunakan dalam Konsili Vatikan Pertama.

Definisi yang menjadi Dogma pada tahun 1870

Di akhir bab ke-empat konstitusi dogmatis tentang Gereja yang disebut Pastor Aeternus, yang diumumkan secara resmi oleh Paus Pius IX, Konsili Vatikan Pertama tahun 1870 mendeklarasikan hal berikut (dengan penolakan dari Uskup Aloisio Riccio dan Uskup Edward Fitzgerald):

"Kita mengajarkan dan mendefinisikan bahwa suatu hal adalah sebuah dogma yang dinyatakan oleh Tuhan ketika Uskup Roma mengatakannya ex cathedra, yakni ketika memutuskan dari kedudukannya sebagai imam dan guru semua umat Kristiani, berdasarkan kekuasaan apostolis tertingginya, ia menetapkan sebuah doktrin mengenai iman atau moralitas untuk diikuti oleh seluruh Gereja, dengan bantuan Tuhan yang dijanjikan kepadanya melalui Santo Petrus yang terberkati, yang dimilikinya dari bagian infalibilitas dimana dengannya Tuhan Sang Penebus Dosa berkehendak agar Gerejanya diberkati dengan kekuasaan untuk menetapkan doktrin mengenai iman dan moralitas, dan oleh karenanya ketetapan-ketetapan dari Uskup Roma yang berasal dari dirinya sendiri dan bukan berasal dari persetujuan Gereja adalah tidak bisa diubah.

Oleh karenanya kemudian, apabila ada seseorang, semoga Tuhan melarang adanya, memiliki keberanian yang salah untuk menolak keputusan yang telah kami ambil, biarkanlah dia menjadi yang terbuang."

(Konsili Vatikan, bagian IV, Const. de Ecclesiâ Christi, Bab IV)

Menurut teologi Katolik, hal ini adalah ketetapan dogmatis yang tidak bisa salah yang diambil oleh Dewan Ekumenikal. Infalibilitas kepausan lantas secara formnal ditetapkan pada tahun 1870, walaupun tradisi dari pemikiran ini telah ada jauh sebelumnya seperti yang tertulis di atas.

Konstitusi dogmatis Lumen Gentium dari Konsili Vatikan Kedua yang ekumenikal, yang juga merupakan sebuah dokumen mengenai Gereja itu sendiri, secara jelas menegaskan lagi ketetapan mengenai infalibilitas kepausan, untuk menghindari kesangsian apapun mengenainya, yang terpapar dalam kata-kata berikut:

"Konsili Suci ini, mengikuti secara dekat langkah-langkah Konsili Vatikan Pertama, terutama tentang Konsili tersebut mengajarkan dan menetapkan bahwa Yesus Kristus, Sang Gembala Abadi, mendirikan Gereja Suci-Nya, telah mengutus para rasul seperti juga diri-Nya sendiri telah diutus oleh Allah Bapa; dan Ia menghendaki agar para penerus rasul-rasul-Nya itu, yang disebut Uskup, tetap menjadi para gembala dalam Gereja-Nya bahkan hingga pada saat dunia ini telah menjadi sempurna. Dan agar keuskupan itu sendiri satu dan tidak terpecah-belah, Ia menempatkan Santo Petrus yang terberkati di atas rasul-rasul yang lain, dan menganugerahi di dalam dirinya sumber dan dasar yang kekal dan jelas bagi kesatuan iman dan persaudaraan. Dan semua ajaran ini mengenai lembaga, kekekalan, arti dan alasan bagi kedudukan tinggi yang suci dari Keuskupan Roma dan bagi magisteriumnya yang tidak bisa salah, Konsili Suci ini menyatakan lagi untuk secara kuat dipercaya oleh semua umat."

Oleh karena ketetapan tahun 1870 tidak dipandang oleh umat Katolik sebagai sebuah produk Gereja, namun sebagai wahyu dogmatis mengenai kebenaran akan Magisterium Kepausan, ajaran-ajaran Paus yang dikeluarkan sebelum tahun 1870 dapat dianggap memiliki unsur infalibilitas juga apabila ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan kriteria yang dijabarkan dalam ketetapan dogmatis. Ajaran Ineffabilis Deus adalah salah satu contoh dari hal ini.

Contoh-contoh Doktrin berdasarkan Infalibilitas Kepausan

Banyak umat non-Katolik, dan bahkan sebagian umat Katolik, yang memiliki kepercayaan yang salah bahwa doktrin infalibilitas kepausan berarti Sri Paus tidak bisa salah dalam segala sesuatu yang ia katakan. Padahal, penggunaan kekuasaan infalibilitas kepausan sangatlah jarang terjadi.

Para teolog Katolik setuju bahwa baik ketetapan Paus Pius IX pada tahun 1854 mengenai dogma Buah Tubuh Suci Maria, dan ketetapan Paus Pius XII pada tahun 1950 mengenai dogma Diangkatnya Maria ke Surga adalah contoh-contoh dari ketetapan berdasarkan infalibilitas kepausan, sebuah fakta yang telah diperkuat oleh magisterium Gereja. Namun, para teolog masih belum sepakat mengenai dokumen-dokumen lainnya.

Mengenai dokumen-dokumen sejarah kepausan, para teolog Katolik dan sejarawan Gereja Klaus Schatz mengadakan sebuah penelitian menyeluruh, diterbitkan tahun 1985, yang mengidentifikasi daftar dari dokumen-dokumen ex cathedra:

  • "Tome ke Flavian", Paus Leo I, tahun 449, mengenai dua sifat dasar dalam Kristus, diterima oleh Konsili Chalcedon;
  • Surat Paus Agatho, tahun 680, mengenai dua kehendak Kristus, diterima oleh Konsili Konstantinopel Ketiga;
  • Benedictus Deus, Paus Benediktus XII, tahun 1336, mengenai pandangan yang penuh kebahagian bagi para manusia yang suci sebelum tibanya pengadilan terakhir;
  • Cum occasione, Paus Innosentius X, tahun 1653, mengenai kutukan terhadap lima proposisi Cornelius Jansen sebagai keyakinan yang sesat;
  • Auctorem fidei, Paus Pius VI, tahun 1794, mengenai kutukan terhadap tujuh proposisi ala Cornelius Jansen dari Sinode Pistoia sebagai keyakinan yang sesat;
  • Ineffabilis Deus, Paus Pius IX, tahun 1854, mengenai ketetapan atas doktrin buah tubuh suci Maria; dan
  • Munificentissimus Deus, Paus Pius XII, tahun 1950, mengenai ketetapan atas Diangkatnya Maria ke Surga.

Bagi dokumen-dokumen Gereja dari era modern tidaklah ada spekulasi mengenai status ex cathedra-nya karena Kongregasi bagi Doktrin Iman di Vatikan dapat ditanyai secara langsung mengenai hal ini. Contohnya, setelah surat apostolis Paus Yohanes Paulus II berjudul Ordinatio Sacerdotalis (mengenai ketetapan bahwa pengangkatan imam hanya untuk pria saja) diterbitkan pada tahun 1994, beberapa pihak berspekulasi bahwa hal ini merupakan pelaksanaan dari kekuasaan infalibilitas kepausan. Sebagai jawaban atas kebingungan ini. Kongregasi bagi Doktrin Iman secara jelas menyatakan di sedikitnya tiga kesempatan bahwa Ordinatio Sacerdotalis bukanlah ajaran ex cathedra, dengan berargumen bahwa isi surat tersebut telah selalu diajarkan tanpa salah oleh magisterium biasa dan dunia.

Vatikan sendiri belum memberikan daftar yang lengkap dari pernyataan-pernyataan kepausan yang dianggap memiliki kekuatan infalibilitas. Sebuah komentar tahun 1998 di Ad Tuendam Fidem yang ditulis oleh Kardinal Ratzinger (yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI) dan Tarcisio Bertone, ketua dan sekretaris Kongregasi bagi Doktrin Iman, memaparkan beberapa contoh pernyataan dari para paus dan dewan-dewan ekumenikal, tetapi secara jelas menyatakan bahwa daftar ini bukanlah suatu daftar yang lengkap.

Jumlah pernyataan yang dianggap tidak bisa salah yang dikeluarkan oleh dewan-dewan ekumenikal adalah jauh lebih banyak daripada yang dikeluarkan oleh para paus.

Referensi

Pranala luar