Masjid Kiai Gede
Masjid Kiai Gede adalah sebuah masjid yang terletak di desa Kotawaringin Hulu, kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, provinsi Kalimantan Tengah. Masjid ini merupakan bagian dari sejarah perkembangan Islam di Kotawaringin yang dilakukan oleh seorang ulama dari Pulau Jawa bernama Kiai Gede. Pembangunan Masjid Kiai Gede dilakukan pada masa pemerintahan Raja Kerajaan Kotawaringin, Dipati Antakesuma. Masjid ini letaknya di bagian tenggara alun-alun kota. Luas halaman masjid adalah 900 meter pesegi dengan dikelilingi pagar kayu setinggi 1,25 meter. Masjid Kiai Gede berbentuk persegi dengan ukuran 15,5 x 15,5 meter dan seperti joglo. Bagian dalam masjid merupakan rumah panggung dengan ketinggian 1,5 meter di atas permukaan tanah. Lantai dan dinding masjid terbuat dari kayu ulin. Ruangan utama dimasuki dengan menggunakan tangga yang terbuat dari kayu di samping bangunan. Di dalam bangunan terdapat 36 buah tiang dengan tiga jenis bentuk yang berbeda.[1]
Masjid Kiai Gede | |
---|---|
Berkas:Mesjid-kiayi-gede.jpg | |
Lokasi | |
Lokasi | kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, provinsi Kalimantan Tengah |
Arsitektur | |
Tipe | Masjid |
Rampung | 1052 H |
Sejarah
Masjid ini dibangun pada tahun 1632 Miladiyah/Masehi atau tahun 1052 Hijriyah, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah (1650-1678 M), raja keempat dari Kesultanan Banjarmasin. Nama Kiai Gede untuk masjid ini diambil dari nama seorang ulama yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah Kotawaringin. Ulama tersebut adalah Kiai Gede, seorang ulama asal Jawa yang diutus oleh Kesultanan Demak untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan. Kedatangan Kiai Gede tersebut ternyata disambut baik oleh Sultan Mustainubillah. Oleh sang Sultan, Kiai Gede kemudian ditugaskan menyebarkan Islam di wilayah Kotawaringin, sekaligus membawa misi untuk merintis kesultanan baru di wilayah ini. Berkat jasa-jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam dan membangun wilayah Kotawaringin, Sultan Mustainubillah kemudian menganugerahi jabatan kepada Kiai Gede sebagai Adipati di Kotawaringin dengan pangkat Patih Hamengkubumi dan bergelar Adipati Gede Ing Kotawaringin. Namun, hadiah yang paling berharga dari sang Sultan bagi Kiai Gede adalah dibangunnya sebuah masjid yang kelak bukan sekadar sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebagai pusat kegiatan-kegiatan kemasyarakatan bagi Kiai Gede dan para pengikutnya. Bersama para pengikutnya, yang waktu itu hanya berjumlah 40 orang, Kiai Gede kemudian membangun Kotawaringin dari hutan belantara menjadi sebuah kawasan permukiman yang cukup maju. Kalaupun wilayah Kotawaringin sekarang ini menjadi salah satu kota yang terbilang maju di Kalimantan, hal itu tidak dapat dipisahkan dari jasa besar Kiai Gede dan para pengikutnya.
Saat ini, Masjid Kiai Gede yang sudah berumur ratusan tahun tersebut masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keseriusan masyarakat Kotawaringin Barat dalam merawat dan memfungsikan masjid yang dianggap menjadi tonggak sejarah perkembangan Islam di wilayah ini. Bagi masyarakat Kotawaringin Barat, Masjid Kiai Gede tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, tetapi juga sebagai pusat kegiatan-kegiatan sosial-kemasyarakatan, sebagaimana Kiai Gede dan para pengikutnya memfungsikan masjid ini pada masa lalu.
Keistimewaan
Artikel ini menggunakan kata-kata yang berlebihan dan hiperbolis tanpa memberikan informasi yang jelas. |
Keistimewaan Masjid Kiai Gede dapat dilihat dari bahan baku bangunannya yang semuanya terbuat dari kayu pilihan, yaitu kayu ulin yang terkenal dapat bertahan dalam jangka waktu lama. Masjid ini berukuran 16 x 16 meter atau 256 m². Selain itu, keistimewaan lainnya juga dapat dilihat dari gaya arsitekturnya yang unik, yaitu tidak seperti arsitektur masjid-masjid di Kalimantan pada umumnya, tetapi lebih menyerupai gaya arsitektur masjid-masjid di Jawa, khususnya Masjid Agung Demak. Kemiripan dengan Masjid Agung Demak dapat dilihat dari bentuk atapnya yang bersusun menyerupai pura, juga tiang-tiangnya yang tidak ditanam, melainkan hanya diletakkan di atas tumpuan menyerupai mangkuk yang terbuat dari kayu ulin. Konon, Kiai Gede sendiri yang mengusulkan agar tiang masjid dibangun seperti itu. Maksudnya jelas, agar masyarakat Islam di periode selanjutnya tidak kesulitan untuk mengganti tiang-tiang tersebut jika suatu saat terjadi kerusakan.[2]
Referensi
- ^ Sugiyanti, dkk. (1999). Masjid Kuno Indonesia (PDF). Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat. hlm. 94. ISBN 979-8250-16-8.
- ^ Profil Masjid Kiai Gede Kotawaringin Lama