Huta Siantar, Panyabungan, Mandailing Natal
Huta Siantar merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Panyabungan, kabupaten Mandailing Natal, provinsi Sumatra Utara, Indonesia.
Huta Siantar | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sumatra Utara |
Kabupaten | Mandailing Natal |
Kecamatan | Panyabungan |
Kode pos | 22914 |
Luas | ... km² |
Jumlah penduduk | ... jiwa |
Kepadatan | ... jiwa/km² |
Suku bangsa Mandailing atau kelompok etnis (ethnic group) Mandailing adalah salah satu dari sekain ratus suku bangsa penduduk asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang suku bangsa tersebut turun-temurun mendiami wilayah etnisnya sendiri yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara.
Menurut tradisinya orang Mandailing menamakan wilayah etnisnya itu Tano Rura Mandailing yang artinya ialah tanah lembah Mandailing. Tapi namanya yang populer sekarang ialah Mandailing, sama dengan nama suku bangsa yang mendiaminya.
Berdasarkan tradisi masa lalu, wilayah etnis Mandailing terdiri dari dua bagian, yang masing-masing dinamakan Mandailiang Godang (Mandailing Besar), berada di bagian utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu), berada di bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatra Barat.
Masyarakat Mandailing merupakan masyarakat agraris yang patrilineal. Sebagian besar warganya bertempat tinggal di daerah pedesaan dan hidup sebagai petani dengan mengolah sawah dan mengerjakan kebun karet, kopi, kulit manis, dsb.
Sampai pada masa pemerintahan kolonial Belanda penduduk di kawasan Mandailing Godang dipimpin oleh raja-raja dari marga (clan) Nasution, sedangkan penduduk di kawasan Mandailing Julu dipimpin oleh raja-raja dari marga Lubis. Pada masa itu di kedua kawasan tersebut terdapat banyak kerajaan tradisional yang kecil-kecil berupa komunitas yang dinamakan Huta atau Banua. Masing-masing mempunyai kesatuan teritorial dan pemerintahan yang otonom.
Eksistensi masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis diperlihatkan dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing mempunyai kesatuan kebudayaan dan juga bahasa sendiri yang membuatnya berbeda atau dapat dibedakan dari suku bangsa yang lain. Dan juga karena warga masyarakat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka (merasa) berbeda dari warga masyarakat yang lain.
Secara historis, eksistensi atau keberadaan suku bangsa Mandailing didukung oleh kenyataan disebut nama Mandailing dalam syair ke-13 kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Prapanca sekitar tahun 1365 (abad ke-14). Dalam hal ini, Said (tanpa tahun: 9) antara lain mengemukakan bahwa "teks sair ke-13 Negarakertagama tersebut dalam huruf Latin bahasa Kawi, dapat dikutip sebagian sebagai berikut:
"Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni ri Malayu/ ning Jambi mwang Palembang i Teba len Darmmacraya tumut/ Kandis, Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang Pane/ Kampe Haru athawa Mandahiling i Tumihang Perlak mwang i Barat//" [1]
Seperti terlihat pada teks tersebut ekspansi Majapahit ke Malaya (Sumatra) merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebo, Darmasraya, Haru, Mandahiling, jelasnya Mandailing. Meperhatikan bahwa nama Mandailing tidak ada duanya di Indonesia, maka yang dimaksud tidak lain dari Mandailing yang lokasinya di Tapanuli Selatan. Demikian dikemukan oleh Said.
Beberapa pendapat telah dikemukakan mengenai asal-usul nama Mandailing. Pendapat-pendapat ini berupa andaian-andaian yang bertolak atau didasarkan pada persamaan bunyi kata. "..ada yang menduga berasal dari kata: Mande Hilang (dalam bahasa Minang), yang berarti ibu yang hilang."
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari nama satu kerajaan, yaitu Mandala Holing. Kerajaan tersebut, kemungkinan sudah muncul sejak abad ke 12, yang wilayahnya terbentang dari Portibi di Padang Lawas sampai ke Pidoli dekat Panyabungan sekarang.
Dugaan itu dapat dikaitkan dengan perkataan atau istilah h(k)oling yang sejak dahulu mempunyai kedudukan yang penting dalam budaya masyarakat Mandailing. Ia terdapat dalam ungkapan "Muda tartiop sopatna, nipaspas naraco H(K)oling, niungkap buntil ni adat, nisuat dokdok ni hasalaan, ni dabu utang dohot baris..." Dalam kata lain, untuk mengadili seseorang harus ada empat syarat. Jika keempat syarat itu sudah ada, barulah dibersihkan neraca H(K)oling, yaitu lambang pertimbangan yang seadil-adilnya, kemudian dilihat ketentuan adat, diukur beratnya kesalahan dan barulah dijatuhkan hukuman.
Perkataan atau istilah h(k)oling terdapat pula dalam ungkapan "Surat tumbaga H(K)oling na so ra sasa" yang selalu disebut-sebut dalam kehidupan masyarakat Mandailing. Kalimat tersebut berarti "Surat tembaga H(K)oling yang tidak mau hapus". Yang dimaksudkan ialah aturan-aturan adat yang tidak mau hapus atau yang senantiasa lestari (kekal, tidak berubah).[2]
Nasution yang pertama kiranya adalah putera dari Raja Iskandar Muda dari Pagar Ruyung (pusat dari kerajaan Minangkabau kuno), yang pada gilirannya adalah cucu dari Sultan Iskandar, nama bagi Alexander de Grote (the Great) dalam cerita-cerita Indonesia.
Dalam perjalanan menjelajahi pulau Sumatera, Iskandar Muda sampai berhubungan dengan seorang gadis bunian, yang melahirkan seorang anak lelaki untuknya." Anak tersebutlah kemudiannya ditemukan Sutan Pulungan (di Huta Bargot, Mandailing) di tengah hutan sedang ia berburu.
Kisah tentang Si Baroar sangat meyakinkan bagi masyarakat Mandailing karena sekitar pertengahan abad yang lalu kisah tersebut telah dituliskan oleh Willem Iskander (1840-1876) dalam buku karangannya berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Buku tersebut yang ditulis dalam bahasa Mandailing dipakai untuk bacaan di sekolah-sekolah sampai pada masa awal kemerdekaan Indonesia.[3]
Namun, menurut sebagian cerita menyebutkan bahwa Nasution berasal dari Datu Nasangti Si Bagot Ni Pohan, dia sangat banyak menguasai White Magic dan Black Magic. Datu Nasangti menikah dengan wanita dari Marga Lubis dan mengadakan pesta dengan menyembelih 7 ekor kerbau. Pada saat pesta itulah Datu Nasangti membentuk Marga Nasangtion (Nasution) dengan memukul canang (=gong).[4]
Usai perang Paderi pada tahun 1840 dibentuklah Asisten Residensi Mandailing Angkola beribukota di Panyabungan sebagai bagian dari wilayah Residensi Air Bangis. Ketika Residensi Tapanuli dibentuk pada 1843 yang beribukota di Sibolga, maka Residensi Air Bangis pun dibubarkan. Air Bangis dan Rao menjadi Afdeeling dari Residensi Padang.
Kota Panyabungan menjadi Ibukota Asisten Residensi Mandailing Angkola selama 33 tahun, 1840-1873. Pada Tahun 1873 Ibukota pindah ke Padangsidempuan. Menjelang akhir abad XIX sampai awal abad XX Kotanopan dijadikan Ibukota Onder Afdeeling sedangkan Panyabungan Ibukota Onder District.
Sejarah Tamaddun, peradaban mencatat bahwa sungai adalah sarana peradaban yang tinggi. Sarana itu dimiliki oleh Kota Panyabungan yaitu beberapa sungai: Batang Gadis, Aek Pohon, Aek Mata dan Aek Rantopuran yang mengairi areal persawahan yang sangat luas di bagian barat Panyabungan. Keadaan alam inilah yang menempatkan Panyabaungan sebagai pemasok utama bahan pangan di wilayah Mandailing Natal bahkan sampai ke luar daerah itu.
Panyabungan menjadi pusat kebudayaan tradisional. Keturunan cikal bakal Marga Nasution Sibaroar, bukan hanya menjadi raja-raja di sekitar panyabungan. Mereka juga menjadi raja-raja di Maga dan Muara Botung di Mandailing Julu (Kotanopan sebelum pemekaran) dan di Muarasoma, Muara Parlampungan dan Aek Nangali di wilayah Batang Natal, Lumban Dolok dan Sihepeng di Kecamatan Siabu. Semua raja-raja itu adalah anggota rapat adat yang berpusat di Panyabungan Tonga.
Mandailing sudah dikenal di Nusantara berabad-abad sebelum kurun waktu Negarakertagama. Karena masuk akal bahwa hanya daerah-daerah lama yang penting dan sudah mapan yang mungkin dicatat oleh Mpu Prapanca.
Orang Mandailing mendiami beberapa Luhat wilayah di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, yaitu: Anggkola Jae, Anggkola Julu, Padang Bolak, Sipirok, Saipar Dolok Hole, Dolok Barumun, Sosa, Mandailing dan Natal.
Orang Mandailing juga mendiami kampung-kampung atau wilayah di luar Tapanuli Selatan dan Madina. Misalnya di Lumut, Tapanuli Tengah, Pasir Pangarayan di Riau, Kota Pinang di Labuhan Batu, Pasaman, beberapa tempat di sumbar seperti di Batusangkar, Pagaruyung dan Sawahlunto.
Setelah Proklamasi kemerdekaan, wilayah Tapanuli Selatan dikepalai oleh Binanga Siregar sebagai Kepala Luhak Besar. Kemudian pada perkembangan berikutnya sesudah agresi Belanda II dibentuklah tiga Kabupaten, ialah: Padang Lawas, Angkola sipirok dan Batang Gadis. Kabupaten Batang Gadis meliputi wilayah Mandailing dan Natal yang dikepalai oleh Bupati Raja Jungjungan Lubis yang kemudian diganti oleh Fachruddin Nasution dengan Ibukotanya Kotanopan. Karena Kotanopan tidak layak sebagai Ibukota Kabupaten Batanggadis maka ibukota Dipindahkan ke Panyabungan. Ketika kabupaten Mandailing Natal dibentuk pada tahun 1998, kota Panyabungan kembali ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Mandailing Natal. [5]
A. Letak Geografis Kelurahan Kota Siantar Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal.
Daerah ini pada masa dahulu memiliki beberapa kampung yang dihuni oleh manusia, dua kampung di sebelah timur, yaitu: Padang Mardia dan kampung Borotan, dua kampung di sebelah barat, yaitu: Lumban Sibaguri dan kampung Bargot, di tengah-tengahnya adalah Bagas Godang atau istana raja Borotan. Daerah ini dikuasai oleh raja-raja marga Borotan, dalam tambo keturunannya mencatat bahwa raja pertama dalam daerah ini adalah Raja Balintang.[6]
Alkisah, waktu putus waris raja di Lumban Sibaguri, dijemput oranglah Sang Yang Dipertuan menjadi raja di Lumban Sibaguri, maka diantarlah ia ke sana dengan segala adat kebesaran, sebab itulah Lumban Sibaguri ditukar namanya dengan Hutasiantar, sebab rajanya yang diantar ke sana.[7] Tersebutlah dari pihak keturunan marga Borotan dengan Raja Mananti atau Mananti Raja sebab, merekalah yang menyambut Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Anak dari Mangaraja Enda atau cucu dari Sutan di Aru (Si Baroar). Sebab itu juga seluruh harta kekayaan Bagas Godang (istana) serta tanah wilayah menjadi tanggung jawabnya.
Pihak dari keluarga marga Borotan menjadi marga Nasution maka di Hutasiantar terdapat dua marga Nasution, yaitu; Nasution Borotan sebagai marga asli di Hutasiantar dan Nasution Si Baroar menjadi pengganti raja. Dalam menghuni Hutasiantar dibuatlah satu kebijakan bahwa, Nasution Borotan tinggal di Julu Ni Bagas Godang (sebelah timur istana raja) dan Nasution Si Baroar tinggal di Jae Ni Bagas Godang. Sampai sekarang perbedaan itu masih dapat ditemukan. Dan terdapat juga marga-marga yang kecil, seperti Pulungan, Hasibuan, Mardia, Rangkuti dan Batubara.
Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, raja ulama yang kharismatik primus inter pares raja-raja Mandailing (wafat 1866), keluarga dekat Willem Iskander. Tokoh ini banyak disebut-sebut oleh Multatuli di dalam karya monumentalnya Max Havelaar.
Pada masa pemerintahan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan daerah Hutasiantar terdiri dari: sebelah timur berbatasan dengan Gunung Merapi (Kecamatan Lembah Sorik Merapi sekarang), sebelah barat berbatasan dengan Panyabungan Tonga, sebelah selatan sungai Aek Parlampungan dan sebelah utara berbatasan dengan sungai Aek Pohon.[8]
Setelah Indonesia merdeka dan sumatera telah terbagi ke dalam beberapa wilayah propinsi. Maka yang semula adalah daerah Tapian Na Uli bagian selatan di pulau Sumatera dibentuklah menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan. Hutasiantar adalah salah satu desa di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan berobahnya sistem pemerintahan maka wilayah Hutasiantarpun menjadi diperkecil, yaitu: sebelah timur berbatasan dengan Desa Siobon, sebelah barat berbatasan dengan Desa Kayujati dan Panyabungan Jae, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sigalapang Julu dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Darussalam (Pagaran Sigatal).
Pada tahun 2006 setelah beberapa tahun terbentuk Kabupaten Mandailing Natal maka Desa Hutasiantar dibentuk menjadi Kelurahan Kotasiantar dan yang pertama sekali menjadi Lurah adalah Pauzir Nasution, tapi karena ia terlibat dengan konflik pemboikotan warga berpaham Muhammadiyah maka ia diberhentikan menjadi Lurah dan pada tahun 2009 dan digantikan oleh Erwin Nasution.
B. Kondisi Penduduk Kelurahan Kota Siantar Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal
Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Satu di antaranya adalah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing Angkola 1848-1857, Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang 90 kilometer.[9]
Dalam perjalanan sejarah kerajaan di Mandailing, pihak kerajaan Hutasiantar memiliki sifat terbuka dengan pihak luar dalam hal membangun masyarakat banyak. Sutan Kumala Sang yang Dipertuan Inilah yang paling berjasa membangun Hutasiantar dengan berbagai kebijakannya antara lain:
Memberikan tanah untuk tempat tinggal dan bercocok tanam kepada marga-marga lain yang meminta.
Membuat Gadu-gadu ni saba (pematang sawah) dengan ukuran besar sehingga orang dan pedati dapat melewatinya.
Mengatur susunan rumah sehingga tertata rapi sampai sekarang (seperti komplek perumahan di abad modern).
Membuat saluran air di tiap gang dan sampai sekarang masih dapat ditemukan.
Membuat saluran air dari hulu sungai ke Mesjid (Mesjid Raya Darussalam sekarang).
Menetapkan standar pesta pernikahan, hanya dengan menyembelih seekor kerbau agar dibolehkan memakai Ampu dan Bulang (pakaian adat Mandailing Godang), yang sering disebut dengan istilah mangadati.
Sang Yang Dipertuan sangat dicintai oleh rakyat Hutasiantar sehingga rakyatnya sangat mengagumi dan patuh atas perintah dari pihak kerajaan.[10]
Pada saat pemerintahan Desa, susunan rumah-rumah terebut masih tersusun rapi dipimpin oleh seorang Kepala Desa, yang terdiri dalam lima (5) lingkungan dengan dipimpin masing-masing Ketua Banjar (lingkungan) yaitu:
1. Banjar Kayu Ara
2. Banjar Silangit
3. Banjar Borotan
4. Banjar Bolak
5. Banjar Pagur[11]
Namun, setelah diresmikan menjadi Kelurahan Kotasiantar maka pemerintahanpun berobah yang semula dipimpin oleh Kepala Desa dengan cara yang demokratis, dipilih langsung oleh masyarakat Hutasiantar berobah menjadi pimpinan yang dipilih dan ditunjuk oleh Pemerintah Daerah. Namun, sistem jabatan dalam daerah Kelurahanpun diperluas tapi, berbeda dengan daerah kelurahan lain. Pada awalnya terdiri dari lima banjar atau lingkungan menjadi masing-masing lingkungan dibagi dua dan hasilnya menjadi sepuluh lingkungan.
Penduduk Kelurahan Kotasiantar saat ini adalah sebanyak 1.348 kk dengan masing-masing rata-rata per banjar atau lingkungan sebanyak 150 kk dan yang paling sedikit adalah lingkungan Banjar Bolak, kurang dari 150 kk. Kepadatan jumlah penduduk adalah sekitar 6.740 jiwa, hal ini hanya dapat dilihat dari angka-angka pendataan sebelum Pemilu Legislatif 2009 yang lalu.[12]
a. Pendidikan
Tokoh penting dalam Dinasty Nasution Setelah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Raja Hutasiantar adalah Sati Nasution gelar Sutan Iskandar ialah Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang.
Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Alexander Philippus Godon di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.
Nama Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama yang dicantumkan di dalam teks Acte van Bekenheid. Nama Willem Iskander diberikan kepadanya ketika dia masuk Kristen di Arnhem pada tahun 1858, setahun sebelum ia belajar di Oefenschool di Amsterdam. Seterusnya, nama Willem Iskander dipakainya di dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam, surat nikah dll.
Setelah Willem Iskander memperoleh ijazah guru bantu dari Oefenschool pimpinan D. Hekker Jr. di Amsterdam, ia bertolak dari Bandar Amsterdam dengan kapal Petronella Catarina pada tanggal 2 Juli 1861. Setibanya di Batavia pada bulan Desember 1861, Willem Iskander menghadap Gubernur Jenderal, Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele.
Willem Iskander mengutarakan maksudnya mendirikan sekolah guru di Mandailing, dan memohon bantuan Gubernur Jenderal agar cita-citanya itu terlaksana. Gubernur Jenderal Gubernur Pantai Barat Sumatera ketika itu, Van den Bosche, agar membantu Willem Iskander. Acara pertama Willem Iskander ketika tiba di Padang, adalah menghadap Van den Bosche untuk menyerahkan surat Gubernur Jenderal, sekaligus melaporkan dialognya dengan Gubernur Jenderal di Batavia.
Dalam perjalanan kembali ke Mandailing melalui pelabuhan Natal, Willem Iskander berlayar bersama Asisten Residen Mandailing Angkola ketika itu, Jellinghaus, yang sedang berada di Padang. Mereka singgah dua hari di rumah kerabat Willem Iskander, Tuanku Natal. Setelah Willem Iskander tiba kembali di Mandailing pada awal 1862, ia melakukan persiapan pendirian sekolah guru di Mandailing. Tempat yang ia pilih adalah Tanobato, 526 meter di atas permukaan laut, desa yang ketika itu berhawa sejuk rata-rata 22 °C, berada di pinggir jalan ekonomi ke pelabuhan Natal. Bangunan sekolah pun didirikan bersama masyarakat setempat. Bangunan empat ruangan, ialah tiga ruang kelas, satu tempat tinggal Willem Iskander. Bahan bangunan itu terbuat dari kayu, bambu dan atap daun rumbia. Ada dua bangunan lagi di sebelah gedung sekolah ini, ialah Gudang Kopi (Pakhuis) dan Pasanggarahan.
Nama (sesuai EYD) lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato dengan posisi mereka di dalam masyarakat Panyabungan:
1. Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.
2. Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.
3. Si Dagar, guru di Panyabungan.
Ada sebagian murid-murid Willem Iskander yang berasal dari Keturunan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar mengikuti jejaknya sebagai pengarang, penerjemah dan penyadur. Nama-nama mereka (sesuai EYD) dan judul karya mereka adalah, sbb.:
1. Raja Laut, Barita Sipaingot – Batavia, 1873.
2. Mangaraja Gunung Pandapotan, On Ma Sada Parsipodaan Toe Parbinotoan Taporan Parsapoeloean – Batavia, 1885.
3. Mangaraja Gunung Pandapotan, Parsipodaan Taringot Toe Parbinotoan Tano On– Batavia, 1884.[13]
Melihat hal peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh Willem Iskander di Tanobato maka Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan mendirikan sekolah dengan fasilitas yang sangat sederhana dekat kampung Padang Mardia, sistem belajar waktu itu memakai agong (arang kayu) maka sekolah itupun disebut orang dengan sekolah Agong. Berhubung Hutasiantar adalah Kepala Kuria (pusat pemerintahan) maka orang-orang yang berprestasi di bidang pendidikan didatangkan ke Hutasiantar, seperti:
1. Raja Laut, murid Willem Iskander.
2. Raja Gunung, lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato juga.
Pihak Bagas Godang (kerajaan) Hutasiantar belajar dan sekolah di Hutasiantar, Pidoli Lombang, Panyabungan dan Tanobato bagi mereka yang mempunyai dana yang cukup.[14]
Dalam sektor pendidikan dapat ditemukan dari data yang ada pada Kelurahan, tercatat:
1. Sekolah Dasar (SD), 2 unit gedung: SD N XI dan SD Inpres.
2. Satu sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Darussalam.
3. Dua sekolah Taman Pendidikan Al-Qur’an
4. Satu Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA)[15]
Ada beberapa buku karangan Willem Iskander yang dibaca di sekolah-sekolah rakyat Mandailing, yaitu:
1. Si Hendrik Na Denggan Roa
Buku ini merupakan terjemahan dari De Brave Hendrik, buku bacaan anak-anak yang paling popular di Belanda pada masa itu. Terjemahan ini diterbitkan di Padang pada tahun 1865. Isi buku tentang etika untuk anak-anak dalam pergaulan sehari-hari.
2. Barita Na Marragam
Bacaan anak-anak tentang budi pekerti, merupakan saduran dari karya J.R.P.F. Gongrijp, diterbitkan di Batavia pada tahun 1868 dalam bahasa Mandailing aksara Latin.
3. Buku Basaon
Buku bacaan anak-anak terjemahan dalam bahasa Mandailing dari karya W.C. Thurn. Batavia, 1871 cetak ulang 1884.
4. Si Boeloes Boeloes Si Roemboek-Roemboek: Boekoe Basaon
Naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk sudah sampai di Batavia pada tahun 1870. Pemerintah pusat mengeluarkan beslit (besluit), surat keputusan, nomor 27 bertarikh 23 Februari 1871 tentang penerbitan buku ini yang menetapkan tiras buku ini 3.015 dan sebanyak 50 eksemplar di antaranya harus disimpan di lembaga-lembaga dan perpustakaan. Pada tahun 1872 kumpulan prosa dan puisi ini diterbitkan di Batavia oleh ‘s Landsdrukkerij (Percetakan Negara) pada tahun 1872.
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pernah dilarang beredar pada tahun 1933. Buku ini memberikan pencerahan dalam berpikir, maka muncullah para pemuda intelektual Mandailing seperti, Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, dan Abul Kosim. Adam Malik, Abdul Haris Nasution[16]
b. Agama
Zaman sebelum masuknya Islam ke Mandailing, orang Mandailing menyebut zaman itu Na Itom Na Robi, artinya, zaman purba yang hitam atau gelap, yakni Jahiliah. Sebelum Islam, masyarakat Mandailing adalah masyarakat Si Pele Begu, yakni masyarakat yang memuja roh leluhur mereka.
Sampai sekitar awal abad ke-20, sisa-sisa dari agama kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing. meskipun agama Islam telah merata menjadi anutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut Pasusur Begu atau Marsibaso yang sangat dikutuk oleh ulama.
Amalan Si Pele Begu melibatkan upacara meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi misalnya bencana alam seperti musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang pernah menyaksikan upacara itu sulit membantah lantaran turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu dilakukan.
Namun iman orang-orang Mandailing sebagai pemeluk agama Islam menganggap perbuatan itu dosa yang mesti dihindari, mendorong masyarakat Mandailing membuang sama sekali sisa-sisa warisan Si Pele Begu. Alim ulama masyarakat Mandailing telah menyaring amalan dan perbuatan dari zaman Na Itom Na Robi dan mengekalkan amalan dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Islam
Dakwah Islamiyah berlangsung di kalangan kaum kerabat. Orang Mandailing sangat menghargai orang-orang yang arif dan berilmu. Mereka selalu menambahi istilah sapaan di depan nama orang-orang seperti itu, misalnya kata Guru, Tuan Syekh, bahkan para Tuan Syekh tidak lagi disebut namanya, melainkan kampung di mana beliau berdiam, seperti Tuan Syekh Purba, Tuan Syekh Aek Libung, Tuan Syekh Muaramais, dll. Jika ada dua Tuan Syekh di kampung atau daerah itu, maka orang pun memberi nama berdasarkan usia, misalnya Tuan Na Tobang, Tuan Na Poso. Jika, para orang panutan itu berjalan di depan suatu lepau, maka orang-orang yang sedang berbual-bual di lepau itu pastilah diam semua, atau memelankan suara mereka sampai Tuan itu berlalu.
Para haji pun sangat dihormati, bukan karena penampilannya yang khas dengan sorban yang dipakai apik, tetapi karena ia adalah orang yang dipandang sukses, memiliki pengalaman yang mengesankan, sudah pergi ke Tanah Suci, suatu pengalaman yang menjadi idaman semua orang. Tak ada iri orang kepada para haji. Sebaliknya yang timbul adalah kesantunan terhadap para haji yang menjadi panutan masyarakatnya.
Golongan Paderi yang fanatik berusaha keras tapi gagal untuk memaksakan Islam kepada orang-orang suku Batak dengan menggunakan pedang, menyebabkan negeri itu terbengkalai dan banyak orang mati terbunuh, tetapi tindakan kekerasan ini tidak berhasil memengkan agama Islam. Namun, ketika pemerintah Kolonial Belanda memadamkan peperangan Paderi dan menguasai daerah Batak sebelah selatan, maka Islam mulai berkembang dengan cara damai, terutama berkat usaha da’wah dari pegawai pamong praja yang terdiri dari arang-orang Islam Melayu, tetapi juga melalui pengaruh para pedagang yang diikuti oleh para haji dan guru-guru lainnya.
Adalah suatu kenyataan yang menarik bahwa suku batak yang selama berabad-abad dengan gigih mempertahankan diri untuk tidak terpengaruh oleh islam kendati mereka telah dikelilingi dari segala arah oleh penduduk Islam tang fanatik, Aceh di sebelah utara dan Melayu di sebelah timur dan selatan, akhirnya dalam beberapa tahun belakangan begitu antusias menyambut islam melalui usaha-usaha damai.[17]
Pada masa pemerintahan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Raja Hutasiantar, para ulama didatangkan dari daerah luar dan raja memberikan tanah untuk tinggal dan bercocok tanam, antara lain:
1. Haji Muhammad Sa’id Nasution, mengajar dibidang Al-Qur’an
2. Syekh Abdul Fatah, mengajar Tariqhat sekaligus menjadi Tabib
3. Haji Muhammad Syarif Rangkuti, mengajar dalam bidang Hadis
4. Haji Muhammad Ya’kub (kampung Bargot), mengajar dibidang akhlaq dan Tasauf.
5. Syekh Abdul Qadir Al-Mandili jika ia datang dari Makkah dan anaknya Tuan Ja’far, mengajar dibidang fiqh atau hukum Islam mazhab Syafi’i.[18]
Pada tahun 1912 berdirilah Pesanteren Musthafawiyah di Tanobato oleh seorang haji bernama Musthafa Husein Nasution (paman dari Jenderal A. H. Nasution, alm), yang kemudian pindah ke desa Purba Baru sebab banjir. Pesanteren inilah yang menjadi sekolah pavorit dalam bidang agama Islam pada masa itu sampai saat ini. Pesanteren ini mengajarkan sistem Salafiyah dan memakai mazhab Syafi’i dan pada perjalanan sejarahnya murid-murid dari pesanteren ini mendirikan pesanteren juga di daerah-daerah sekitar Mandailing. Pesanteren Musthafawiyah ini jugalah yang banyak berperan aktif dalam pengembangan Islam di Hutasiantar atau Kotasiantar sekarang.
Dalam setiap Banjar atau lingkungan memiliki kelompok wirid pengajian dengan mendatangkan seorang guru atau Al-Ustadz yang mengajar di Musthafawiyah atau lulusan Musthafawiyah Purba Baru. Masyarakat Kotasiantarpun sering membanding-bandingkan pendapat dengan pendapat para ulama terdahulu yang pernah hidup di zaman dahulu.
Dari empat ulama di atas, yang dengan keras menentang kebatilan, khurafat, takhayul dan bid’ah adalah Haji Muhammad Syarif Rangkuti (yang mengajar Hadis) sehingga pengajian yang ia adakan tidak terlalu diminati oleh masyarakat. Setelah beliau meninggal, anak-anak dan murid-muridnyalah yang di kemudian hari bergabung dengan organisasi Muhammadiyah. Karena lebih dahulu muncul bentuk pemahamannya daripada organisasinya membuat masyarakat menilai itu adalah salah satu bentuk paham dalam Islam di luar mazhab.[19]
c. Sosial Ekonomi
Menurut cerita orang-orang tua dahulu, kampung tertua di daerah Mandailing adalah Huta Bargot dan Ranto Natas, kedua daerah itu adalah di atas bukit. Orang yang hidup pada zaman dahulu hanya dapat bertahan hidup di atas bukit dengan penghidupan bercocok tanam, seperti, pisang, jagung, ubi, dll. Persawahan baru muncul ketika orang-orang cina dengan membuat parit-parit kecil untuk mengairi lahan mereka.[20] Populasi Cina semakin bertambah adalah pada tahun 1416 ketika Laksamana Haji Sam Po Bo medirikan Pelabuhan Sing Kwang (=Tanah Baru= Singkuang sekarang), maka orang-orang cinapun banyak mendarat di Muara Batang Gadis.[21] Dengan mengetahui hal itu masyarakat yang di bukit-bukitpun turun ke dataran untuk bersawah. Orang-orang marga Rangkuti turunlah dari Ranto Natas ke kampung Pagur dan dari Pagur ke kampung Bargot atau Kota Siantar sekarang. Tempat tinggal mereka menumpuk dalam satu lingkungan yang disebut Banjar Pagur.[22]
Menjadi petani dengan menggarapa sawah adalah mata pencarian masyarakat Kotasiantar dari zaman dahulu sampai sekarang. Pada masa sebelum merdeka dan beberapa tahun setelah merdeka, gabah yang dihasilkan dari tiapa panen tidak dijual kepada orang lain. Gabah itulah yang diolah menjadi makanan selama setahun.
Di samping itu, masyarakat secara turun temurun juga telah mencari duit dengan menderes pohon karet (mangguris hapea). Di zaman susah dahulu juga dapat dimanfaatkan menjadi minyak lampu. Namun, ketika minyak tanah sudah mudah didapat maka hasil pohon karetpun dijual kepada orang lain (toke). Kedua usaha inilah yang menjadi mata pencarian pokok masyarakat di Kota Siantar, sealin itu masih ada dalam bentuk lain seperti, tukang becak mesin, tukang pedati, pedagang dan lain-lain.
d. Adat
Alexander Philippus Godon (1816-1899), Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857) yang berdarah Prancis itu, adalah penganut semboyan Revolusi Prancis itu. Godon telah berhasil meraih kerja sama Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar dalam melakukan perubahan sosial yang luar biasa di Mandailing Angkola.. Mereka merancang dan melakukan pembangunan ekonomi antara lain membuka jalan Panyabungan ke pelabuhan Natal. Ia juga melakukan gerakan anti perbudakan, 1856, sezaman dengan gerakan Harriet Beecher Stowe yang terkenal dengan karyanya Uncle Tom’s Cabin. Bahkan Godon juga mendesain pakaian kalangan raja-raja agar penampilan mereka lebih kharismatik, termasuk pakaian kaum perempuan dan masyarakat umum. Jumlah maskawin pun ditetapkan oleh Godon agar tidak memberatkan pihak laki-laki.[23]
Agama Islam menyempurnakan beberapa tradisi Mandailing, misalnya tentang kawin semarga dengan merujuk ayat-ayat 23 Surat An-Nisaa’ itu. Sehingga dasar-dasar hubungan kekerabatan menjadi lebih luas, mendalam dan bermakna. Hal ini merupakan terobosan ajaran Islam yang lembut terhadap perubahan tradisi kawin anak namboru – boru tulang. Ini merupakan sumbangan Islam yang sangat menonjol dalam pembinaan keluarga orang Mandailing. Dalam hal ini jelas Islam mendikte adat.[24]
Sistem masyarakat Mandailing Dalihan Na Tolu yang egaliter, terdiri dari komponen masyarakat yang terdiri dari kahanggi (kerabat semarga), mora (kerabat pemberi isteri) dan anak boru (kerabat pengambil isteri). Semua orang Mandailing memiliki posisi itu sesuai dengan peranannya dalam suatu peristiwa adat yang berbeda. Hubungan kekerabatan yang kuat itu sesuai dengan hubungan kekerabatan yang diajarkan oleh Islam baik melalui pohon keluarga yang dikenal dengan tarombo. Demikian juga hubungan perkawinan telah dipengaruhi oleh ajaran Islam antara lain seperti disebutkan di dalam Surat An-Nisaa’ ayat 23.
Sebagai masyarakat yang egaliter, orang Mandailing sangat terbuka pada kehadiran para guru yang berasal dari luar desanya. Masyarakat memberikan berbagai fasilitas kepadanya, sehingga guru itu hidup nyaman, damai, dengan masyarakat setempat. Orang-orang cerdik cendekia seperti ini segera mendapat tempat terhormat di dalam masyarakat. Para guru pendatang itu pun segera menjadi anggota yang diikat sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu yang berawal dari manopot kahanggi. Sehingga para guru itu pun menjadi anggota keluarga besar Dalihan Na Tolu. Ia tampil sebagai seorang yang dibanggakan oleh kerabat barunya di kampung itu. Guru yang berasal dari luar kampung itu, tidak mesti orang Mandailing. Apa pun sukunya, tak ada halangan sedikit pun untuk segera menjadi anggota keluarga besar Dalihan Na Tolu.
Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian Na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam upacara perkawinan, penabalan dan kematian. Sabe-Sabe Selendang Istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.[25]
Setiap Huta mempunyai sebidang tanah perkuburan. Kebiasaannya letaknya di luar Huta, tapi masih mudah didatangi. Selain daripada tanah perkuburan, di sekitar Huta biasanya terdapat pula tanah perkuburan makam-makam leluhur yang mula-mula membuka Huta tertentu. Pada masa lampau, walaupun tidak dengan cara-cara yang khusus dan istimewa, tempat makam leluhur dihormati oleh penduduk Huta. Meskipun tidak merupakan suatu tradisi yang mengikut, tetapi kalau Raja atau anggota keluarga Raja meninggal dunia, mereka dikebumikan di pemakaman leluhur.
Di tanah-tanah perkuburan kuno yang dipanggil lobu atau huta lobu banyak terdapat patung batu. Dalam bahasa Mandailing, patung ini disebut batu tagor, yang menurut kepercayaan, dapat memberi tanda (isyarat) dengan suara gemuruh apabila akan terjadi sesuatu hal kepada keluarga raja. Selain batu tagor terdapat patung yang dinamakan batu pangulu balang yang biasanya terdapat di sudut desa, yang menurut kepercayaan, menjaga desa dan akan memberi pertanda apabila ada sesuatu yang akan menganggu penduduk. Patung-patung batu tagor dan batu panghulu balang, yang diakui oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan nenek moyang mereka kelihatannya sama sekali berbeda dari patung-patung peninggalan zaman Hindu dan Buddha.
Tempat yang bernama Padang Mardia (Kota Siantar sekarang), terletak lebih kurang 2 km dari pasar Panyabungan, dahulunya terdapat banyak patung-patung batu dan kuburan kuno. Patung batu yang dahulunya banyak terdapat di tempat tersebut lama-kelamaan menjadi punah kerana dirusakkan oleh penduduk sekitarnya yang anti "berhala". Kini yang masih tersisa hanya beberapa kuburan kuno dan pecahan-pecahan patung batu