Mon () atau monshō (紋章, lambang), atau mondokoro (紋所), dan kamon (家紋) adalah simbol heraldik Jepang. Mon dapat merujuk pada setiap simbol, sementara kamon dan mondokoro merujuk pada simbol keluarga. Mon kira-kira memiliki fungsi yang sama dengan lencana (badge), lambang puncak (crest), dan lambang perisai (coat of arms) di Eropa.

Lambang klan Tokugawa (Keshogunan Tokugawa), tiga daun hollyhock (mitsuba aoi) di dalam lingkaran.

Sejarah

Asal usul lambang keluarga di Jepang berawal pada abad ke-11. Pejabat tinggi istana mulai mengenakan pakaian dinas dari kain yang berhiaskan lambang-lambang tertentu dan khusus dibuat untuk mereka. Klan Fujiwara yang berkuasa memerintahkan dimulainya praktik penggunaan sebuah simbol keluarga untuk setiap nama keluarga. Desain lambang pejabat tinggi istana kemudian dibakukan sebagai emblem keluarga mereka. Emblem tersebut kemudian dipasang pada kereta milik mereka. Emblem-emblem keluarga kemudian dijadikan lambang keluarga yang digambar pada kain untuk kimono formal. Pada sehelai kimono formal, sebuah lambang keluarga terdapat pada bagian tengah punggung dan sebuah lambang keluarga pada bagian belakang lengan, kiri dan kanan. Pada kimono sangat formal, lambang keluarga ditambah pada bagian dada kiri dan dada kanan. Lambang keluarga yang dipakai oleh pejabat istana umumnya elegan dan berseni. Desain-desain lambang keluarga pejabat istana, misalnya: gambar bunga wisteria, peony, bunga iris, dan burung jenjang.[1]

Setelah berakhirnya zaman Heian dan kekuasaan pemerintah berada di tangan samurai. Pada abad ke-12, klan-klan samurai memasang emblem-emblem mereka pada bendera, senjata, perangkat makan, lampion, batu nisan, dan noren tanda pengenal kemah dan markas besar mereka semasa perang. Sadar budaya mereka tidak setinggi budaya pejabat istana, klan-klan samurai ikut meniru pemakaian lambang-lambang keluarga seperti yang dilakukan para pejabat tinggi istana. Sebuah lambang keluarga samurai juga dipakai oleh keluarga/klan yang dipimpinnya. Namun, pengikut dari keluarga samurai tersebut diharuskan untuk mengubah/memberi variasi pada desain lambang mereka agar tidak sama persis dengan lambang keluarga majikan.

 
Lukisan Pertempuran Sekigahara tahun 1600. Medan pertempuran dipenuhi bendera bergambarkan lambang keluarga sebagai pengenal klan-klan peserta pertempuran.

Pada abad ke-15 semasa zaman Muromachi, pemakaian lambang keluarga (lambang klan) di kalangan para samurai makin meluas. Bersamaan dengan perang yang makin sering terjadi, dan makin seringnya pertempuran massal yang melibatkan banyak klan, lambang keluarga terbukti sangat berguna untuk mengenali klan yang menjadi sekutu atau klan lawan. Penggunaan lambang keluarga pun berubah menjadi sarana identifikasi lawan atau kawan. Sebagai akibatnya, klan-klan samurai mendesain emblem-emblem (lambang keluarga) mereka agar menjadi sesederhana mungkin dan mencolok. Maksudnya agar mudah dikenali dari jauh. Pada zaman Sengoku, lambang keluarga dipakai untuk menunjukkan identitas kendaraan milik bangsawan dan peralatan militer, dan sebagai pengenal sebuah keluarga dari keluarga lainnya.

Setelah dimulainya zaman Edo pada abad ke-17, penggunaan lambang keluarga makin meluas. Jepang sudah berada dalam keadaan damai dan tidak ada lagi perang. Lambang keluarga pun beralih fungsi menjadi sekadar ornamen pada kimono formal. Desain-desain lambang keluarga yang mencolok dan aneh tidak lagi disukai. Desain-desain simetris justru lebih disukai. Desain lambang keluarga dengan yang berada di dalam lingkaran menjadi populer. Sulaman (bordir) lambang keluarga juga sering dipakai untuk dekorasi. Pada zaman Edo, rakyat biasa mulai terbiasa memakai lambang keluarga sebagai ornamen untuk mempercantik kimono mereka.

Pada zaman Meiji, Pemerintah Meiji pada tahun 1871 mengeluarkan sebuah dekret berisi pelarangan pemakaian semua bentuk bunga seruni pada desain lambang keluarga agar tidak terjadi kekeliruan dengan simbol kekaisaran.[2] Penggunaan lambang bunga seruni ditetapkan hanya simbol keluarga kekaisaran.[2] Bunga seruni 16 daun mahkota hanya boleh dipakai oleh kaisar berkuasa. Lingkaran kecil di tengah menunjukkan bahwa bunga seruni tersebut dilihat dari depan.[2] Putri kekaisaran memakai lambang bunga seruni 14 daun mahkota, dengan kelopak bunga berada di tengah untuk menunjukkan bahwa bunga seruni tersebut dilihat dari bawah.[2] Selain itu sebelumnya Kaisar Godaigo pernah menggunakan bunga seruni berdaun mahkota 17 semasa dalam pengasingan.[2]

Desain dasar lambang keluarga di Jepang seluruhnya berjumlah antara 300 hingga 500 jenis.[1] Bila variasi-variasi dari desain dasar ikut dihitung, maka lambang keluarga di Jepang bisa mencapai beberapa ribu desain.[1] Motif-motif yang populer untuk lambang keluarga, di antaranya: gambar hewan, tumbuhan, fenomena alam, objek-objek buatan manusia, dan bentuk-bentuk geometris. Lambang keluarga berbentuk lingkaran, bentuk-bentuk bersudut, desain geometris, dan bentuk berlian berasal dari desain-desain primitif.

Pejabat tinggi istana lebih menyukai motif burung dan bunga.[1] Klan-klan samurai menyukai motif kipas lipat, naga, anak panah, mata panah, cangkul, capung, atau benda-benda yang tidak asing bagi mereka. Motif cangkang kerang, naga, awan, kelelawar, atau topi berasal dari desain lambang yang dipakai di Dinasti Ming.[1]

Motif-motif yang populer pada zaman Edo misalnya: serpihan salju, angsa liar, kelinci, gunung dan kabut, perahu layar, dayung, gelendong, sabit, gendang tsuzumi, gasing, alu, dan tangga.

Mulai pertengahan abad ke-20, lambang keluarga sudah kehilangan makna sebaga simbol nama keluarga.[1] Meskipun demikian, lambang keluarga masih tetap dipasang sebagai hiasan pada kimono formal dan haori yang dipakai oleh wanita, pria, dan bahkan anak-anak.

Galeri contoh-contoh kamon

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f Matsuya Piece-Goods Store, transl. & introduction by Fumie Adachi, ed. (1972). Japanese Design Motifs: 4260 Illustrations of Heraldic Crest. New York: Dover Publications. hlm. 9–10. ISBN 0486228746. 
  2. ^ a b c d e McBride, Angus (2012). Samurai Heraldry. Osprey Publishing. hlm. 6. ISBN 1782000143. 

Pranala luar