Ukiyo-e

Revisi sejak 11 Maret 2021 17.52 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8)

Ukiyo-e (浮世絵) adalah sebutan untuk teknik cukil kayu yang berkembang di Jepang pada zaman Edo yang digunakan untuk menggandakan lukisan pemandangan, keadaan alam dan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat. Dalam bahasa Jepang, "ukiyo" berarti "zaman sekarang," sedangkan "e" berarti gambar atau lukisan.

"Fuji Merah" dari buku 36 Pemandangan Gunung Fuji

Istilah ukiyo-e sekarang semata-mata digunakan untuk lukisan berwarna-warni (nishiki-e) yang dihasilkan teknik cukil kayu (woodprinting), tetapi sebenarnya pada zaman dulu istilah ukiyo-e juga digunakan untuk lukisan asli yang digambar dengan menggunakan kuas.

Sejarah

Pada awalnya, ukiyo-e adalah lukisan tentang "ukiyo" (keadaan zaman) seperti kehidupan sehari-hari, gaya busana, dan sebagainya.

Pelukis ukiyo-e dibagi menjadi dua aliran utama, yakni aliran Kanō dan aliran Tosa. Aliran Kanō sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Muromachi, sedangkan aliran Tosa berakar pada aliran Kasuga yang sudah dimulai sejak zaman Heian. Pelukis yang diusir dari aliran Kanō kemudian banyak yang bergabung dengan aliran Tosa.

Periode awal

Periode awal ukiyo-e berlangsung sejak Kebakaran besar zaman Meireki sampai zaman Hōreki. Bentuk awal ukiyo-e adalah lukisan asli yang digambar dengan menggunakan kuas serta lukisan hasil reproduksi teknik cukil kayu dengan tinta satu warna (hitam).

Di pertengahan hingga akhir abad ke-17, seniman yang menggambar lukisan asli untuk teknik cukil kayu disebut Hanshita-eshi (版下絵師, pelukis sketsa). Hishikawa Moronobu adalah salah satu pelukis sketsa terkenal zaman itu yang membuat buku bergambar dan ilustrasi untuk buku Ukiyo-zōshi. Salah satu karya Hishikawa Moronobu yang sangat terkenal berjudul Mikaeri Bijin-zu (見返り美人図, Wanita Cantik Menoleh ke Belakang).

Istilah "ukiyo-e" pertama kali disebut dalam buku Kōshoku Ichidai Otoko (terbitan tahun 1682) yang ditulis Ihara Saikaku. Di dalam cerita dikisahkan tentang kipas lipat bertulang dua belas yang berhiaskan ukiyo-e.

Ukiyo-e yang tadinya merupakan lukisan hitam-putih menjadi berwarna-warni berkat kreasi pelukis ukiyo-e asal Osaka bernama Torii Kiyonobu. Warna yang dipakai umumnya adalah tinta merah dalam berbagai nuansa. Lukisan yang menggunakan warna merah-oranye seperti warna bangunan Torii disebut Tan-e. Lukisan dengan tinta merah tua disebut Beni-e, sedangkan Beni-e dengan tambahan 2 atau 3 warna lain disebut Benizuri-e.

Periode pertengahan

 
"Edo no hana" wanita pemain Jōruri karya Kitagawa Utamaro
 
Lukisan potret Ichikawa Omezō karya Tōshūsai Sharaku

Periode pertengahan ditandai dengan kelahiran Nishiki-e sekitar tahun 2 zaman Meiwa hingga tahun 3 zaman Bunka.

Pada tahun 1765, kalender bergambar yang disebut E-goyomi populer di kalangan penyair haiku di Edo, sampai-sampai sempat diadakan pertemuan untuk tukar menukar kalender bergambar. Pelukis ukiyo-e Suzuki Harunobu mengantisipasi minat masyarakat dengan membuat ukiyo-e menggunakan tinta beraneka warna. Seni ukiyo-e mencapai zaman keemasan berkat teknik cetak warna ukiyoe secara full-color.

Percetakan multi warna dimungkinkan berkat ditemukannya cara membuat batas-batas (kento) pada objek lukisan yang memudahkan pewarnaan lukisan secara berulang kali dan tersedianya kertas washi berkualitas tinggi yang tahan melewati proses pewarnaan yang tumpang tindih. Ukiyo-e banyak menggunakan kertas washi bermerek dari provinsi Echizen dan Iyo yang menggunakan bahan baku dari tanaman perdu yang disebut Kōzo (Broussonetia kazinoki). Sesuai dengan perkembangan zaman, pembuatan ukiyo-e juga mulai melibatkan beberapa orang seniman dengan bidang yang sangat terspesialiasi, seperti pelukis yang hanya menggambar sketsa, seniman pencungkil kayu, dan seniman yang memberi warna pada lukisan.

Di zaman Anei, ukiyo-e yang menggambarkan wanita secara realistik (Bijinga) karya Kitao Shigemasa menjadi sangat populer. Katsukawa Shunshō menggambar lukisan potret aktor kabuki terkenal (Yakusha-e) hingga sangat mirip dengan aslinya.

Pelukis ukiyo-e bernama Kitagawa Utamaro melahirkan banyak sekali karya-karya berupa Bijinga dan Ōkubi-e (lukisan potret setengah badan aktor dan wanita cantik) yang terkenal sangat mendetail dan digambar dengan elegan.

Pada tahun 2 zaman Kansei pemerintah mengeluarkan peraturan tentang bahan cetak yang membatasi peredaran bahan-bahan cetak di kalangan masyarakat.

Pada tahun 7 zaman Kansei, setelah seluruh harta benda yang dimiliki disita pemerintah, penerbit ukiyo-e bernama Tsutaya Jūzaburō berusaha bangkit kembali. Tsutaya Jūzaburō mengumpulkan uang dengan cara menjual lukisan ukiyo-e karya Tōshūsai Sharaku. Lukisan karya Tōshūsai Sharaku menjadi sangat terkenal berkat pose aktor kabuki yang selalu digambar berlebih-lebihan walaupun lukisannya sendiri kurang laku. Kumpulan lukisan aktor kabuki karya Utagawa Toyokuni yang dikenal sebagai Yakusha Butai Sugata-e (役者舞台姿絵, lukisan potret aktor di atas panggung) justru lebih laku. Murid-murid Utagawa Toyokuni kemudian mendirikan aliran Utagawa yang merupakan aliran terbesar dalam seni ukiyo-e.

Periode lanjut

 
Salju di Kambara, karya Hiroshige

Periode lanjut ukiyo-e menunjuk pada masa sekitar tahun 4 zaman Bunka hingga tahun 5 zaman Ansei. Setelah Kitagawa Utamaro tutup usia, lukisan wanita cantik (Bijinga) makin digambar secara lebih erotis seperti terlihat dalam karya-karya Keisai Eisen.

Murid Katsukawa Shunshō yang bernama Katsushika Hokusai membuat kumpulan lukisan yang dikenal sebagai 36 Pemandangan Gunung Fuji. Kumpulan lukisan Hokusai dibuat untuk mengikuti tren orang Jepang yang mulai senang bepergian di dalam negeri. Utagawa Hiroshige mengikuti kesuksesan Hokusai dengan kumpulan lukisan yang dikenal sebagai Tōkaidō gojūsan-tsugi (東海道五十三次, 53 Pemberhentian di Tōkaidō). Karya Hokusai dan Hiroshige dikenal sebagai genre Meisho-e (lukisan tempat terkenal) atau Fūkeiga (lukisan pemandangan).

Lukisan potret aktor kabuki yang tergolong dalam genre Yakusha-e tetap diteruskan Utagawa Kunisada yang merupakan murid Utagawa Toyokuni. Karya Utagawa Kunisada justru makin mempertegas ciri khas genre Yakusha-e berupa garis-garis keras dan dinamis yang dirintis sang guru.

Bersamaan dengan kepopuleran Kusazōshi (buku bergambar dengan cerita memakai aksara hiragana) lahir karya-karya ukiyo-e genre Musha-e yang menggambarkan tokoh-tokoh samurai, seperti terlihat dalam lukisan karya Utagawa Kuniyoshi. Ilustrasi tokoh-tokoh kisah Batas Air yang digambar Utagawa Kuniyoshi menjadi sangat populer, bahkan sampai membuat orang Jepang keranjingan cerita Batas Air.

Periode akhir

 
Pegulat sumo Onogawa Kisaburo, karya Tsukioka Yoshitoshi

Periode akhir ukiyo-e menunjuk pada masa sekitar tahun 6 zaman Ansei sampai tahun 45 zaman Meiji.

Lukisan ukiyo-e yang populer pada masa ini adalah genre lukisan orang asing yang disebut Yokohama-e, karena orang Jepang menaruh minat pada budaya asing yang dibawa oleh Kapal Hitam.

Akibat kekacauan yang ditimbulkan Restorasi Meiji, lukisan ukiyo-e mulai banyak yang mengetengahkan tema-tema lukisan kabuki yang mengumbar brutalisme dan lukisan makhluk "aneh tetapi nyata." Tsukioka Yoshitoshi yang merupakan murid Utagawa Kuniyoshi dan Ochiai Yoshiiku membuat kumpulan lukisan berjudul 28 Pembunuhan Terkenal dan Prosa (英名二十八衆句, Eimei nijūhachi shūku). Kumpulan lukisan bertema sadis berlumuran darah seperti ini digolongkan ke dalam genre Muzan-e.

Kawanabe Kyōsai dari aliran Kanō juga banyak melahirkan karya-karya legendaris pada masa ini.

Genre baru ukiyo-e yang disebut Kōsenga dimulai Kobayashi Kiyochika dengan ciri khas objek lukisan yang digambar tanpa garis tepi (outline).

Lukisan ukiyo-e untuk anak-anak seperti yang dibuat Utagawa Yoshifuji digolongkan ke dalam genre Omocha-e. Gambar hasil penggandaan bisa digunakan anak-anak untuk bermain, seperti lembaran permainan yang sekarang sering menjadi bonus majalah anak-anak. Utagawa Yoshifuji begitu mengkhususkan diri pada genre Omocha-e, sehingga mendapat julukan "Omocha Yoshifuji" (Yoshifuji ahli mainan).

Kepopuleran ukiyo-e akhirnya memudar akibat berkembangnya fotografi dan teknik percetakan. Pelukis ukiyo-e berusaha segala macam cara untuk bertahan dari kemajuan teknologi tetapi gagal.

Tsukioka Yoshitoshi dikenal sebagai grandmaster terakhir ukiyo-e. Karya-karyanya sangat bergaya Barat dan bersentuhan halus. Dari tangannya lahir karya-karya seperti surat kabar ukiyo-e (nishiki-e shimbun), lukisan bertema sejarah (rekishiga), dan lukisan bertema erotis (fūzokuga). Prihatin dengan kemunduran ukiyo-e, murid-muridnya disuruh untuk belajar hal-hal lain selain ukiyo-e. Salah seorang murid Yoshitoshi yang bernama Kaburaki Kiyokata berhasil menjadi pelukis Jepang yang sangat terkenal.

Pranala luar