Irawati Kusumorasri (lahir 12 Desember 1963) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui sejumlah karyanya berupa koreografi tari yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan, baik dalam negeri maupun mancanegara. Irawati merupakan penari tetap Pura Mangkunegaran Keraton Surakarta yang kerap diutus mewakili Indonesia ke sejumlah negara untuk misi kebudayaan.[1]

Latar belakang

Irawati Kusumorasri lahir 12 Desember 1963. Sejak usia dini sudah mengakrabi dunia kesenian, terutama tari Jawa klasik. Dia merupakan putri bungsu dari pasangan Sudiyatmo Suryosumanto dan Sri Wulan. Selain pengaruh dari kultur keluarganya, bakat seninya diasah dari pelatih tari di Prangwedanan di lingkungan istana Mangkunegaran. Dari merekalah ia menguasai beragam tari Jawa antara lain Srimpi Anglir Mendung, Srimpi Moncar, Gambyong, Mondraswara, Mondrokusumo, Mondrorini, dan Langendriyan. Ia juga mahir menarikan beksan wireng seperti Menak Koncar, Srikandi Mustokoweni, hingga Karonsih. Tokoh seni tari Indonesia, Sardono W. Kusumo merupakan salah satu yang ikut membentuk karakter dan gerak tubuh dalam mementaskan karya-karyanya, baik yang ditampilkan di panggung pertunjukan, maupun di berbagai festival tari. Dan keikutsertaannya dalam sejumlah misi kebudayaan ke luar negeri merupakan wujud dari kecintaannya akan budaya Jawa untuk dikenalkan kepada bangsa lain.[2]

Sejumlah karya koreografinya dalam berbagai festival tari yang diikutinya menegaskan nilai tradisi yang mendasari sikap keseniannya, seperti Oncat, Srimpi Topeng Sumunar (1994), Operet Timun Emas (1996), Sinta Obong (1997), Beksan Sekar Ratri, Srimpen Kendi Sekar Putri (1999) dan Bedhaya Kakung Siguse (2000). Karya puncaknya adalah koreografi Sekar Jagad, sebuah karya tugas akhirnya untuk program pascasarjana di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, yang diagelar di Ndalem Joyokusuman Solo, 4 Juli 2002. Pertunjukan berdurasi tiga jam ini bukan hanya menyajikan seni pertunjukan bersifat metaforik di atas panggung, Sekar Jagad menggambarkan "pemberontakan"-nya sekaligus mengekspresikan sikap urakan namun tetap dalam kerangka tradisi. Di sini penonton tidak terpancang pada pertunjukan panggung, tetapi terlibat dalam kehidupan kaum perempuan Jawa dengan segenap denyut lingkungan sosio-kulturalnya sehari-hari. Karya ini memanfaatkan seluruh ruang dan halaman sebuah kompleks bangunan. Penonton diajak mengapresiasi keindahan arsitektur bangunan berusia 153 tahun itu. Mereka juga diajak mengagumi keindahan kain-kain batik kuno berusia 100-an tahun yang dipajang di taman sebagai bagian dari pergelaran.[3][4]

Proses kreatif

Karya

  • Oncat Srimpi Topeng Sumunar (1994)
  • Operet Timun Emas (1996)
  • Obong (1997)
  • Beksan Sekar Ratri Srimpen Kendi Sekar Putri (1999)
  • Bedhaya Kakung ‘Siguse’ (2000)
  • Sekar Jagad (2002)

Lihat pula

Referensi