Pengawasan Covid-19

Revisi sejak 25 Maret 2021 10.38 oleh Diya Bodomon (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Covid-19 menggunakan HotCat)

Surveilans COVID-19 merupakan suatu kegiatan pengamatan yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis berupa pengumpulan data, pengolahan, analisa data, interpretasi dan diseminasi informasi terhadap kejadian dan distribusi Covid-19 beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan tindakan penanggulangan yang lebih efektif. [1] Surveilans Covid-19 meliputi kegiatan pemantauan penyebaran virus korona untuk menetapkan pola perkembangan penyakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pengawasan aktif dengan fokus pada penemuan kasus, pengujian dan pelacakan kontak di semua skema penularan. Surveilans COVID-19 bertujuan untuk memantau tren epidemiologi, mendeteksi kasus baru dengan cepat, serta memberikan informasi epidemiologis untuk melakukan penilaian risiko dan memandu kesiapsiagaan penyakit.[2]

Surveilans sindromik

Surveilans sindromik menyediakan sistem kesehatan yang tepat waktu untuk mendeteksi, memahami, dan memantau suatu kejadian kesehatan. Surveilans sindromik dilakukan dengan cara melacak gejala pasien di unit gawat darurat sebelum diagnosis dikonfirmasi. Otoritas kesehatan dapat mendeteksi tingkat penyakit yang tidak biasa untuk menentukan jenis respons yang diperlukan. Data sindromik berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk masalah kesehatan masyarakat seperti wabah flu yang telah digunakan sebagai tanggapan atas overdosis opioid, cedera paru terkait penggunaan rokok elektrik atau produk vaping, infeksi virus Zika, dan bencana alam.[3]

Surveilans sindromik dilakukan berdasarkan gejala individu yang terkait dengan COVID-19. Mulai Maret 2020, WHO merekomendasikan definisi kasus berikut:

Kasus suspek

Seseorang dapat disebut sebagai suspek COVID-19 atau dicurigai terkena virus korona jika memiliki salah satu atau beberapa kriteria berikut ini:

  • Mengalami gejala infeksi saluran pernapasan (ISPA), seperti demam atau riwayat demam dengan suhu di atas 38 derajat Celsius dan salah satu gejala penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, dan pilek.[4]
  • Memiliki riwayat kontak langsung dengan orang yang termasuk sudah terkonfirmasi menderita COVID-19 dalam waktu 14 hari terakhir.[4]
  • Menderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) dengan gejala berat dan perlu menjalani perawatan di rumah sakit tanpa penyebab yang spesifik.[4]
  • Memiliki riwayat perjalanan ke atau tempat tinggal di lokasi yang melaporkan penularan penyakit COVID-19 oleh komunitas selama 14 hari sebelum timbulnya gejala.[2]

Kasus probabel

Orang yang dikategorikan dalam kasus probabel yaitu mereka yang diyakini sebagai suspek dengan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) berat atau gagal napas akibat aveoli paru-paru penuh cairan (ARDS). Probable bisa juga didefinisikan untuk penderita ISPA berat yang meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan terkena Covid-19 namun belum ada hasil pemeriksaan laboratorium terkait reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR).[5]

Kasus konfirmasi

Kasus Konfirmasi diputuskan jika seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2, yakni kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik), dan kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).[6]

Kontak erat

Kontak Erat adalah orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain[6]:

a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.

b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).

c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.

d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat.

Sebelum adanya istilah tersebut dalam surveilans covid-19, di Indonesia terlebih dahulu menggunakan istilah-istilah yaitu orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG). Istilah-istilah tersebut mengalami perubahan sesuai dengan WHO yakni berganti menjadi Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi (bergejala dan tidak bergejala), dan Kontak Erat.[6]

Contoh grafik data sueveilans kematian mingguan yang diakibatkan Covid-19 di beberapa negara
Contoh grafik data sueveilans kematian mingguan yang diakibatkan Covid-19 di beberapa negara

WHO merekomendasikan untuk memberikan pelaporan identifikasi terhadap kasus probable dan kasus konfirmasi dalam waktu 48 jam atau 2 hari. Setiap negara harus melaporkan kasus per kasus terbaru tetapi jika terjadi keterbatasan sumber daya, pelaporan tersebut bisa dilakukan setiap minggunya.

Beberapa organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah telah membuat aplikasi maupun situs resmi untuk pengawasan sindromik. Masyarakat dapat melaporkan gejala yang dialami untuk membantu para peneliti memetakan area dengan konsentrasi gejala COVID-19.

Surveilans virologi

Surveilans virologi merupakan tindakan surveilans yang fokus terhadap virus itu sendiri dengan mempelajari penularan, persebaran, pengembangan vaksin dan antivirus. Para ilmuwan di laboratorium menggunakan prosedur whole genome sequencing (WGS) yaitu suatu upaya untuk melihat urutan kode genetika. Pada umumnya terdapat 4 tahapan dalam proses WGS khususnya untuk mengidentifikasi virus Covid-19. Pada prinsipnya, Whole genome sequencing bertujuan untuk memahami distribusi dan pola penyebaran virus serta memberi informasi mengenai karakteristik dari masing-masing isolat di tiap daerah, yang tentunya bermanfaat untuk melakukan penanggulangan dan pencegahan.[7]

Surveilans virologi dilakukan untuk memutus mata rantai persebaran virus korona. Surveilans ini juga bermanfaat untuk mendeteksi potensi strain virus baru yang dapat berpengaruh dalam mekanisme penanganan Covid-19 yang sedang berjalan.[7]

Surveilans digital

Surveilans digital merupakan proses surveilans yang memanfaatkan teknologi digital. Dalam pandemi Covid-19, surveilans digital dilakukan dengan mengembangkan aplikasi, data lokasi, dan label elektronik.[8] Beberapa negara melakukan pelacakan lokasi telekomunikasi dan menggunakan aplikasi untuk pelacakan kontak guna melakukan disiplin karantina.[9]

Di Amerika, surveilans digital bahkan dilakukan dengan cara mengambil data manifest penerbangan maskapai untuk memantau data bepergian seseorang. Pemantauan juga dilakukan pada akun Facebook dan platform media sosial seseorang untuk mengetahui lokasi. Tak hanya itu, Pusat Pusat Pengendalian Penyakit Amerika juga (CDC) melakukan pemantauan digital dengan menelusuri jenis film yang ditonton, tempat tujuan bepergian, transportasi yang dipakai menuju tempat kerja, serta data konsumen di sebuah tempat makan. Informasi tersebut dijadikan sebagai metrik keterpaparan seseorang terhadap COVID-19.[10]

Di beberapa negara seperti Hong Kong, Korea Selatan, Bulgaria, dan Liechtenstein menggunakan gelang digital. Pada gelang tersebut terdapat alat yang menggunakan GPS guna melacak keberadaan seseorang serta mendukung pelaksanaan karantina. Pihak berwenang akan mendapatkan informasi apabila sang pemilik meninggalkan rumah atau mencoba melepas gelang tersebut.[11]

Surveilans digital sangat membantu pemerintah di beberapa wilayah untuk mengatasi pandemi Covid-19. Namun, pada pelaksanaannya beberapa organisasi menyatakan keberatan karena surveilans digital tersebut menyangkut tentang data privasi seseorang. Meskipun pandemi Covid-19 telah menjadi krisis kesehatan internasional dan harus dihadapi bersama, Human Right Watch memperingatkan untuk tetap menghargai hak-hak asasi setiap individu.[9]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Surveilans Strategi Utama Perangi Covid 19". dinkes.sumutprov.go.id. Diakses tanggal 2021-03-23. 
  2. ^ a b "Public health surveillance for COVID-19: interim guidance". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-23. 
  3. ^ "Overview | NSSP | CDC". www.cdc.gov (dalam bahasa Inggris). 2021-02-17. Diakses tanggal 2021-03-23. 
  4. ^ a b c "Mengenal Arti Kasus Suspek, Kasus Probable, dan Kasus Konfirmasi dan Istilah Baru Lainnya pada COVID-19". Alodokter. 2020-07-27. Diakses tanggal 2021-03-23. 
  5. ^ User, Super. "Istilah Terbaru Dalam Kasus Covid-19". corona.jogjaprov.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-23. 
  6. ^ a b c "Kemenkes Kenalkan Istilah Probable, Suspect, Kontak Erat dan Terkonfirmasi COVID-19". Sehat Negeriku. 2020-07-14. Diakses tanggal 2021-03-23. 
  7. ^ a b COVID-19, Website Resmi Penanganan. "Penguatan Surveilans Virologi Mengantisipasi Strain Virus Baru - Berita Terkini". covid19.go.id. Diakses tanggal 2021-03-24. 
  8. ^ "Tracking the Global Response to COVID-19 | Privacy International". privacyinternational.org. Diakses tanggal 2021-03-24. 
  9. ^ a b "Governments Should Respect Rights in COVID-19 Surveillance". Human Rights Watch (dalam bahasa Inggris). 2020-04-02. Diakses tanggal 2021-03-24. 
  10. ^ Cahn, Mona Sloane,Albert Fox (2020-04-01). "Today's COVID-19 Data Will be Tomorrow's Tools of Oppression". The Daily Beast (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-24. 
  11. ^ "Coronavirus: People-tracking wristbands tested to enforce lockdown". BBC News (dalam bahasa Inggris). 2020-04-24. Diakses tanggal 2021-03-24.