Ki Demung

Bergabung 27 Maret 2021
Revisi sejak 27 Maret 2021 05.21 oleh Ki Demung (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'Asal Usul Sembilangan Sembilangan adalah nama sebuah desa di sebuah pulau kearah barat kota Bangkalan. Dahulu lokasi ini merupakan pusat sebuah pemerintahan Madur...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Asal Usul Sembilangan

Sembilangan adalah nama sebuah desa di sebuah pulau kearah barat kota Bangkalan. Dahulu lokasi ini merupakan pusat sebuah pemerintahan Madura.

Jika di sebelah timur Kota Bangkalan ada Dongeng tentang Kek Lesab yang mana banyak sekali terjadi kontroversi dengan tinjauan historical dari berbagai sumber sejarahnya. Maka kearah barat Bangkalan pun ada Dongeng yang sebagian masih mempercayainya sebagai sumber histori walaupun banyak bertentangan dengan sejarah aslinya.

Dalam sebuah lagu yang berjudul "Kembhangah Nagarah" yang di aransmen oleh Mas Adrian Prawitra tersebutlah bahwa kearah "BERE' LAO'NA" Bangkalan yang sekarang menjadi Desa pernah menjadi sebuah pusat kota dan pemerintahan.

Namun seiring berjalannya waktu, timbullah beberapa macam jenis Dongeng / legenda terkait dengan nama Sembilangan itu sendiri. Dari mana ia berasal, sejak kapan ia ada dan bagaimana tinjauan Historis nya.

Versi History

Kata Sambilangan muncul setelah peritiwa Geger Tonjung Skar Kdaton sebagai akibat dari rentetan peristiwa-peristiwa yang dilatar belakangi konflik keluarga antara Menantu dan Mertua. Yaitu peristiwa ketika terjadi Perselisihan antara R. Ario Adikoro I dari Pamekasan dengan Permaisurinya Ratu Ayu Adikoro I yang merupakan Putri dari Gusti Panembahan Cakraningrat III. Akibat perselisihan kecil tersebut pulanglah Ratu Ayu Adikoro I dari Pamekasan ke Bangkalan dan tinggal kembali dengan Ramandanya di Tunjung Skar Kdaton. Beberapa waktu kemudian datanglah R. Ario Adikoro I ke Tunjung Skar Kdaton untuk menjemput Permaisuri beliau namun entah apa yang terjadi sehingga Gusti Panembahan Cakraningrat III tidak memperkenankan Putrinya diboyong kembali ke Pamekasan.

Akibat hal tersebut maka marahlah R. Ario Adikoro I dan mempersiapkan Pasukan gu a menggempur Tunjung Skar Kdaton. Mengetahui hal tersebut maka diutuslah adik dari Gusti Panembahan Cakraningrat III yaitu R. Djoerit guna menghadapi pasukan Kraton Pamellingan. Entah apa yang terjadi sehingga R. Djoerit berbalik arah ikut menyerang kakaknya tersebut. Mengetahui hal tersebut Gusti Panembahan Cakraningrat III mengirim utusan ke Bali untuk meminta bantuan. Namung setelah sekian lama ditunggu belum juga datang sehingga untuk menghindari pertumpahan darah dan perang saudara, maka Gusti Panembahan Cakraningrat III menyingkir dari Tunjung Skar Kdaton kearah Barat dengan membawa serta seluruh kleuarga dan putra/i beliau. Beliau kemudian Naik Kapal Oest Geest di Pelabuhan Ujung Piring di selat Madura sebelah barat. Dan terjadilah Cross culture atau Cultural Shock diatas kapal tersebut. Kapten Kapal yg bernama "KAPTEN KERTAS" berkebangsaan Prancis bekerja kepada Belanda wkt itu menghormati Permaisuri Gusti Panembahan dengan adat eropa, dengan mencium pipi sang permaisuri, tak disangka oleh sang kapten bahwa sang Gusti putri berteriak dan gemetaran, hal tersebut dikarenakan adat Timur dianggap prilaku tersebut berbuat tidak senonoh dan kurang ajar.

Mendengar teriakan sang permaisuri, Gusti Panembahan Cakraningrat III menoleh kemudian menghunus Keris dan tanpa berkata apapun langsung menusukkan keris ke lambung Kapten kapal tersebut. Dan sang Kapten pun tewas seketika bersimbah darah. Dan para anak buah Kapal tidak terima sehingga terjadilah kekacauan kecil diatas kapal Oest Geesst tersebut, Gusti Panembahan Cakraningrat III yang tidak mempan oleh senjata Tajam akhirnya kelelahan setelah prajurit2 kapal tersisa kurang lebih 10 orang. Maka Gusti Panembahan Cakraningrat III terkena pukul dengan kayu dari belakang dan akhirnya jatuh pingsan, kemudian Kepalanya di penggal dan dibawa ke Surabaya sementara tubuhnya dibuang ke laut.

Setelah kematian gusti Cakraningrat III neserta segenap keluarganya tersebut, maka R. Djoerit naik tahta meneruskan tahta kakandanya di Madura. Namun setelah itu R. Djoerit berangkat ke Surabaya untuk memadamkan pemberontakan Jaya Puspita. Beliau selalu dan selalu berada di garda terdepan dengan gagah berani memimpin pasuka Madura di medan tempur. Dikala R. Djoerit berada di Surabaya, Datanglah pasukan Bali dibawah pimpinan Dewa Ketoet yg diminta oleh Cakraningrat III.

Kedatangan Pasukan Bali ini membawa dampak negatif dan besar terjadap Keberadaan Tunjung Skar Kdaton, hal tersebut dikarenakan pasukan Bali setelah tiba di Madura ternyata tidak mememukan siapa-siapa, maka mengamuklah Pasukam Bali dan merusak Kraton Tonjung.

Mendengar hal tsb, maka R. Djoerit (Cakraningrat IV) mengirimkan pasukan ke Madura utk mengatasi hal tersebut. Entah apa yg terjadi, pasukan Madura setelah tiba di Madura kemudian membelot dan berkhianat, maka Cakraningrat IV setelah menyelesaiakan peperangan Jaya Puspita di Surabaya, maka segera berbalik ke Madura dan memggempur Serta mengusir pasukan Bali yg sdh bersekutu dg Madura tsb. Sayang seribu sayang, kendatipun Pasukan Bali dapat diusir dan lari tunggang langgang, namun Tunjung Skar Kdaton tentunya tdk dpt diselamatkan dari kerusakan. Kraton termegah sepanjang sejarah Kraton Madura itu rusak dan kaidah jika Kraton jika sudah rusak tidak dapat ditempati kembali dimana hal tersebut merupakan suatu kepercayaan pada masa itu bahwasanya Kraton sudah kehilangan kewibawaan nya.

Mengingat hal tersebut maka dipindahlah Tunjung Skar Kdaton dari Burneh ke Sembilangan. Kraton yg dibangun diatas tanah Pancoran Mas dan berada diantara dua sumber mata air tersebut walaupun tidak semegah Tunjung Skar Kdaton atau bahkan cenderung jauh lebih kecil (bahkan keturunannya "Mas Wanto" berdasarkan informasi tutur panutur bersanad dari para sepuh keluarga yang masih berdiam di Sembilangan itu menginformasikan bahwa Kraton Sembilangan lebih cenderung membentuk sebuah pesanggrahan (dilijat dari besar-kecilnya bangunan) daripada sebuah Kraton yang megah jika dibandingkan dengan Tunjung Skar Kdaton.

Dengan Dibangunnya Kraton Sembilangan tersebut maka secara otomatis pusat kota praja dipindah ke Sembilangan.

Dalam proses pembangunan Kraton Sembilangan yang dikelilingi oleh Pantai tersebut, dikala pembangunan sumber mata air sbg langkah pertama dan proses awal, tanpa diduga sama sekali oleh para segenap Ahli dan para Tumenggung waktu itu muncul banyak ikan Sambileng dari bebatuan disana, ikan ikan ini berwarna warni bahkan sampai dikisaran tahun 1993 an masih berwarna warni. Kemunculan ikan-ikan inilah yang mengilhami Pangeran Cakraningrat IV untuk menamakan dengan Kraton Sambileng, dimana selain memang didepan Kraton waktu itu banyak terdapat Ikan Sambileng juga diperkirakan bahwa tempat tersebut merupakan pusatnya Tahta dan tentara Madura yang pergerakannya seperti Sambileng, yakni secara tiba-tiba datang dan ahli serta lihai dalam peperangan laut.

Versi Dongeng.

Terdapat banyak versi dongeng yang muncul setelah sekitar tiga abad keberadaan Nama Sambilengan ini. Diantaranya yaitu :

1. Naik Ikan Sambileng.

Cerita dongeng ini muncul atau dimunculkan setelah sekian lama nama itu sendiri ada. Dimana cerita ini berasal dari beberapa unsur, yaitu akibat kekalahan perang di gresik dimana saat itu Cucu Cakraningrat IV putra ke 8 dari RT. Wiroadiningrat yang bernama R.T. Mohammed Abdoel Kharim (yg disarekan di halaman Kraton waktu itu tepatnya di atas Patirtan Tamansari Kraton). Dalam alur ceritanya dimana beliau terpisah dengan kudanya dikala perang tersebut akibat kekalahan, sehingga beliau naik ikan Sambileng pulang ke Kraton Sambilengan. Dalam. Cerita ini kuda beliau tiba lebih awal di Sambilengan daripada RT. Abdoel Kharim sendiri.

Dalam pada hal tersebut, belum ditemukan data-data sesuai catatan sejarah terkait dengannya walaupun data penyerangan ke Gresik juga ada di Madura.

2. Memancing ikan sambileng dari atas pohon asam.

Dongeng ini disandarkan kepada RT. Mohammed Abdoel Kharim dimana beliau memancing ikan dari atas pohon asam kemudian mendapatkan ikam Sambileng. Dongeng ini sarat dan penuh intrinsik-intrinsik klenik yang sulit dipercaya sama sekali selain juga yang menceritakan banyak tidak jelas susur galurnya terhadap daerah Sembilangan ini sendiri.

3. Mengidam Ikan Sambileng

Cerita dongeng ino juga disandarkan kepada RT. Mohammed Abdoel Kharim dimana disaat kehamilan istri beliau mengidam ikan Sambileng. Namun lagi-lagi disini tidak disebutkan nama istri serta tahun kejadian dan literasi akan hal tersebut. Dalam tinjauan historis bahwa Istri beliau bernama M. Ay. Aisyah berasal dari Bugis. Di Sambilengan sendiri banyak para Ksatria Madura yang terpaut pernikahan dengan Bugis, hal ini merupakan suatu kewajaran karena sejak masa Panembahan Maduratna Madura memang memiliki ikatan yang sangat kuat dengan Bugis. Diantaranya adalah Karaeng Galesong dengan R. Ay. Suraretna, RT. Wiroadiningrat dg Siti Djuriyah, Daeng Ademelia dengan Ratna Setaman dan lain sebagainya.