Pabrik Gula Purwokerto
Pabrik Gula Purwokerto atau Suikerfabriek Poerwokerto (SF Poewokerto) adalah salah satu perusahaan pengolahan tebu menjadi gula yang pernah berdiri pada masa Hindia Belanda. Pabrik Gula Purwokerto terletak di kelurahan Purwokerto Kulon, Purwokerto Selatan, Banyumas.
Sejarah
Pabrik Gula Purwokerto berdiri pada tanggal 10 Februari 1892 dan diresmikan pada tahun 1893 bertepatan dengan rencana pembangunan jalur kereta api dari Maos ke Purwokerto oleh perusahaan kereta api Belanda Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS). Lokasi PG Purwokerto sendiri berada di sebelah timur Stasiun Purwokerto Timur dan tidak jauh dengan lokasi Pabrik Gula Kalibagor, komplek PG Purwokerto berada di antara kota lama Purwokerto dengan kota baru Purwokerto ini dibangun lengkap dengan perumahan pegawainya. Pabrik Gula Purwokerto tepatnya berada di sebelah selatan jalan raya Jendral Sudirman dan perumahan pegawainya berada disebelah utara jalan raya, sedangkan mess untuk pegawai rendahan berada disebelah selatan pabrik.
Pada tanggal 25 Juni 1895 pemerintah Belanda memberikan modal saham kepada perusahaan Pabrik Gula Purwokerto sebesar 740.000 gulden. Pada tahun 1896 bersamaan dibukannya jalur kereta api Maos-Purwokerto, Pabrik Gula Purwokerto bekerjasama dengan perusahaan kereta api Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) untuk mengangkut hasil distribusi gula yang dibawa oleh kereta api yang kemudian dibawa ke Pelabuhan Cilacap untuk melakukan ekspor gula ke Eropa.
Pabrik Gula Purwokerto dipimpin oleh M.C. Brandes. Perkebunan tebu milik pabrik ini tersebar dari sekitar Purwokerto, Ajibarang, Karangpucung, Banteran, Pamijen, Pandak, dan Berkoh, ini terlihat pada jalur rel kereta lori pada peta Belanda tahun 1944. Namun daerah yang tidak dapat dibangun rel lori tebu diangkut kerbau dengan menggunakan gerobak dengan tenaga pendorong manusia.
Pada tahun 1915 perusahaan Pabrik Gula Purwokerto dipimpin oleh Ferdinand Hendrik Schroder yang menikah dengan Jeanne Doornik putri dari Charles Doornik. Saat masa-masa akhir PG Purwokerto beroperasi, pabrik ini kemudian dipimpin oleh L. Stegeman. Setelah Hindia Belanda mengalami krisis ekonomi (Maliese yan berlangsung mulai tahun 1928) pabrik ini tidak bisa dipertahankan lagi. Pada tahun 1935 PG Purwokerto akhirnya gulung tikar dan asetnya digabungkan dengan Pabrik Gula Kalibagor. Beberapa rumah-rumah pegawai masih ditempati hingga kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942.
Dalam ingatan penulis, salah seorang pegawai PG Purwokerto berkebangsaan Belanda bernama Max Doornik (Lahir di Klaten, 4 Maret 1886) yang menjabat sebagai pengawas kebun/mandor menikahi gadis lokal asal Bukateja bernama Robingah. Max Doornik adalah anak ke tujuh dari sepuluh bersaudara, ayahnya bernama Jacob Gerrit Doornik beristrikian pribumi Gusti Suminahu yang masih keturunan Keraton Surakarta. Jacob Gerrit Doornik adalah kakak dari Charles Doornik yang diatas.
Pada Desember 1945 sampai Juli 1947 rumah administatur Pabrik Gula Purwokerto menjadi Markas Resimen Purwokerto. Pada waktu Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I di Purwokerto pada Juli 1947, rumah ini menjadi stasiun pengisian bahan bakar tentara Belanda sampai Desember 1949. Pada tahun 1959 bangunan ini menjadi kantor dan pangkalan bus Damri, pada akhirnya di tahun 1990-an tempat sekitar rumah administatur berubah menjadi komplek ruko yang diberi nama Ruko Satria.
Hingga sekarang sisa-sisa komplek Pabrik Gula Purwokerto telah berubah-ubah fungsinya, bangunan utama pabrik sudah dibongkar. Setelah PG Purwokerto gulung tikar, komplek pabrik berubah menjadi Gor ISOLA, kemudian menjadi gedung bioskop presiden, menjadi pusat perbelanjaan Moro dan Rita. Untuk perumahan pegawai pabrik ini pernah dipakai untuk TNI sebagai perkantoran, pada era Bupati Rudjito bangunan komplek pabrik dan rumah pegawai akhirnya dijual pada pihak swasta, dan dibangunlah Ruko-Ruko yang ada hingga saat ini.