Tribhuwana Wijayatunggadewi

Ratu Majapahit tahun 1328-1350
Revisi sejak 2 April 2021 10.15 oleh Rusmantuban (bicara | kontrib) (Menambahkan kisah)

Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.

Tribhuwana Wijayatunggadewi
Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani
Arca dewi Parwati sebagai perwujudan Tribhuwanottungadewi, ratu Majapahit.
Ratu Majapahit
Berkuasa Majapahit (1328 – 1350)
PendahuluJayanegara
PenerusHayam Wuruk
Bhre Kahuripan
Jabatan1309 - 1328
Informasi pribadi
KelahiranDyah Gitarja
Sebelum 1309
KematianSetelah 1371
DinastiWangsa Rajasa
Nama lengkap
Tribhuwana Wijayatunggadewi
AyahNararya Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana)
IbuDyah Gayatri (Rajapatni)
PasanganCakradhara (Kertawardhana Bhre Tumapel)
AnakHayam Wuruk
Dyah Nertaja (Iswari), Bhre Pajang
AgamaSiwa-Buddha

Silsilah Tribhuwana

Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.

Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.

Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.

Pemerintahan Tribhuwana

Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.

Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tetapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.

Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.

Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.

Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatra. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.

Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi ratu Majapahit.

Pada KISAH LAIN tentang kiprah Raja putri Majapahit ini, ditulis oleh Rusmantuban atau Rus Rusman dengan judul TRIBUANA TUNGGADEWI DAN AJIAN CAKRASEWU, sebagai berikut:

DIA BERNAMA Dyah Gitarja, seorang wanita yang benar-benar trahing kusuma rembesing madu. Wanodya pilihan, wijining tapa tedhaking andhanawarih.

Dalam dirinya mengalir darah biru keturunan tus para narendra trahing ngaluhur kang awatak sinatriya kahambeg pandhita.

Betapa tidak, karena Dyah Gitarja adalah putri Sri Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) raja besar pendiri kerajaan Majapahit.

Ibunya bernama Dyah Gayatri atau Rajapatni, putri Prabu Kertanegara, yakni raja Singosari yang terkenal dengan *Ekspedisi Pamalayu* (1275) untuk memulai ambisinya menyatukan Nuswantara.

Maka tidak mengherankan jika sejak kecil wanita kinasih ini terlihat bakat kepemimpinannya. Nampak dari cara dia melindungi adiknya, Dyah Wiyat, saat diganggu oleh Kakak tirinya Raden Kalagemet (Jayanegara).

Selalu saja dengan caranya yang bijaksana Dyah Gitarja mampu mendamaikan kembali kedua saudaranya yang bertengkar.

Konon Dyah Gitarja berwajah cantik, bertubuh semampai, dengan pembawaan yang lembut keibuan, serta sangat berbakti kepada ibunya.

Setidaknya itulah kesan penulis pada lukisan *Mpu Haris Poerwadi* (2016) yang konon selama tiga kali bermeditasi untuk bisa bertemu dengan sosok wanita yang hidup di awal abad ke-14 ini.

Pada waktu Majapahit dipimpin Prabu Jayanegara, Dyah Gitarja ditugaskan menjadi penguasa di Jiwana bergelar Bre Kahuripan. Sedang Dyah Wiyat menjadi Bre Daha.

Ini adalah usulan ibu suri yang disetujui Prabu Jayanegara dengan satu syarat mereka tidak boleh kawin dan menurunkan anak. Suatu upaya untuk melanggengkan kekuasaan.

Tapi ketika sang raja wafat (1328) maka pihak istana segera menyelenggarakan sayembara bagi priya yang ingin mempersunting kedua mutiara itu. Alhasil, berkat peran Ki Bekel Gajah Mada terpilihlah Raden Cakradara (Bre Tumapel) sebagai suami Dyah Gitarja dan Raden Kudamarta (Bre Wengker) sebagai suami Dyah Wiyat.

Pada tahun 1329 Dyah Gitarja dinobatkan sebagai Rajaputri menggantikan sang ibu yang mahas ing asamun madhep ing panembah sebagai biksuni. Sejak itu wanodya pilihan ini menyandang gelar *Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani* (1329-1351).

Ketika itu Majapahit sedang dihantui oleh tingkah polah raja Sadeng dan raja Keta. Keduanya sedang menyusun kekuatan untuk mbalela kepada Majapahit.

Kerajaan Sadeng berada di daerah Jember (sekarang) dan merupakan lumbung padi bagi Majapahit. Sedang Kerajaan Keta berada di Besuki terkenal sebagai penghasil ikan laut.

Tersebutlah Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah, seorang ksatriya sepuh yang sudah mengabdi sejak zaman Raden Wijaya. Ia merasa usianya tak mampu lagi menghadapi dua kekuatan Sadeng dan Keta. Orang tua ini mengusulkan agar Gajahmada bisa menggantikan kedudukannya.

Dewan Kerajaan (Bathara Saptaprabu) yang beranggotakan tujuh orang  menyetujui, namun sebelum diangkat sebagai mahapatih Gajahmada harus menakhlukkan Sadeng dan Keta terlebih dahulu.

Mendengar hal itu perwira lain, Ra Kembar dan Ra Warak, diam-diam menyusun kekuatan untuk memotong peran Gajahmada. Mereka Tak rela selalu dia saja yang diistimewakan, mereka menggiring pasukannya mendahului Gajahmada.

Melihat potensi perpecahan itu Tribuana langsung mengambil alih komando pasukan. Bersama sepupunya, Raden Adityawarman, ia menyusun strategi dan jumeneng senopati perang menghadapi musuh.

Wow, si Ratu Ayu memimpin perang? Ya, mengapa tidak. Jangan hanya dilihat dari sikapnya yang lembut mempesona, jangan pula diukur dari wajahnya yang cantik bak mutiara, ternyata di medan laga Rajaputri Majapahit itu adalah singa betina yang menggemparkan.

Konon ia adalah salah seorang yang mewarisi ajian *Cakrasewu* milik ramanda Raden Wijaya. Meski jarang sekali ia terapkan namun di saat-saat tertentu tangan yang gemulai itu bagaikan guntur yang memporak-porandakan pasukan lawan.

Konon ajian inilah yang dulu sangat dikagumi tentara Tartar saat bersama Raden Wijaya menumpas pasukan Jayakatwang. Kemampuan membuat ribuan bola api di atas pasukan musuh.

Jayalah negeriku jayalah wilwatikta, sejarah telah membuktikan bahwa Kerajaan Sadeng dan Keta berhasil ditundukkan (1331). Semua perwira yang berjasa dinaikkan pangkatnya, tak terkecuali dua orang yang saling berselisih, ialah Gajahmada dan Rakembar.

PADA TAHUN 1334 Tribuana Tunggadewi mengangkat Gajahmada sebagai Mahapatih Amangkubumi. Dan di saat itu pulalah Gajahmada mengucapkan Sumpah Palapa.

Pengangkatan mahapatih baru ini menyulutkan api dendam di hati Rakembar, dadanya hampir pecah menahan amarah. Ia memprovokasi banyak orang untuk menentang prinsip kesatuan Nuswantara yang digagas Gajahmada.

Padahal Ratu Tribuana dan Adityawarman sangat mendukung cita-cita mulia itu dan bahkan menetapkannya sebagai program kerajaan.

Atas tindakannya yang sering mengancam nilai persatuan, akhirnya raja menghukum mati Rakembar dan mempidana para penganutnya sesuai dengan aturan kerajaan.

DIMULAILAH kemudian ekspedisi-ekspedisi penaklukan kerajaan lain. Sasaran pertama adalah raja-raja di tanah Jawa. Mereka yang tunduk secara damai dirangkul, dilindungi, sedang yang menentang diperingatkan kalau perlu ditendang.

Selanjutnya perhatian diarahkan ke wilayah timur. Diawali dari Kerajaan Pejeng (Bali) di tahun 1343, lalu Kerajaan Bedahulu, baru kemudian seluruh Bali. Sukses di wilayah timur dilanjutkan ke wilayah Sumatera tahun 1347 (S. Raharjo, dkk., ‎Sejarah Kebudayaan Bali, 1998).

Pada tahun 1348 Adityawarman diangkat sebagai penguasa wilayah Sumatra. Kebijakan Sang Tribuana dinilai sangat tepat mengingat ksatriya ini adalah putra Swarnabumi.

Adityawarman adalah putra Mahamantri I Hino Dyah Adwayabrahma, seorang pejabat Singosari. Ibunya bernama Dara Jingga ialah kakak Dara Petak istri Raden Wijaya atau ibu Sri Jayanegara.

Dara Jingga dan Dara Petak merupakan putri raja Swarnabumi yang bergelar sang Mauliwarmadewa.

Adityawarman pandai berbahasa China dan pernah berkunjung ke negeri tirai bambu sebagai utusan prabu Jayanegara (1325) dan Tribuana (1332).

Adityawarman sangat dihormati oleh Gajahmada, disamping pilih tanding, bijaksana, juga pengalaman politiknya sangat matang.

Sebaliknya Adityawarman juga menghargai Gajahmada karena kesaktian dan jiwa satrianya. Gajahmada punya ilmu lembu sekilan dan ilmu Guntur Sayuta. Konon ilmu ini bisa membelah gunung dan melompati samodra.

NAMUN di tengah semangat yang tinggi serta kiprah membangun negeri itu, tiba-tiba kabar duka datang bagaikan petir di siang bolong. Ada laporan bahwa Ibunda Dyah Gayatri berpulang menghadap Yang Maha Kuasa (1350).

Maka suasana duka segera menyelimuti langit Majapahit. Negara berkabung atas wafatnya sosok yang diibaratkan pusaka kerajaan itu.

Bagi Tribuana ibunda Gayatri bagaikan matahari atau bulan purnama yang sinarnya tak pernah pudar. Selalu menjadi penerang dalam suka maupun duka.

Maka kehilangan beliau rasanya tidak berbeda dengan kehilangan seluruh jiwa. Lantas untuk apa semua perjuangan ini?

Dan lagi pula, bukankah kedudukanku sebagai raja ini hanyalah mewakili beliau yang waktu itu lebih memilih jalan agama?

Begitulah perang batin Tribuana Tunggadewi yang rasanya terus mengaung-ngaung mengejar hati sanubarinya.

Maka setelah melalui berbagai pertimbangan dan musyawarah agung Bathara Saptaprabu akhirnya Tribuana Tunggadewi menyatakan mengundurkan diri sebagai Rajaputri Majapahit (1351).

Dewan kerajaan kemudian mengangkat Hayam Wuruk (1351-1389 M) sebagai penggantinya. Dia tidak lain adalah putra kinasih Tribuana Tunggadewi sendiri.

Sang dewi kemudian kembali menjadi Bre Kahuripan sampai wafatnya di tahun 1371. Beliau didarmakan di Candi Pantarapura yang berlokasi di Desa Panggih dekat Trowulan Mojokerta.***

Demikian semoga bermanfaat.

Tasikmadu Palang Tuban, april 2020.

Akhir Hayat Tribhuwana

Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.

Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.

Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.

Silsilah

Prabu Guru Darmasiksa
Rakryan Jayadarma
Nararya Sanggramawijaya
(Kertarajasa Jayawardhana)
Mahisa Campaka
(Bhatara Prameswara)
Dyah Lembu Tal
(Dyah Singamurti)
Dyah Gitarja
(Tribhuwana Tunggadewi)
Ranggawuni
(Wisnuwardhana)
Kertanegara
Waning Hyun
(Jayawardhani)
Gayatri
(Rajapatni)
Sri Bajradewi

Kepustakaan

  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara


Didahului oleh:
Jayanagara
Ratu Majapahit
1328—1351
Diteruskan oleh:
Hayam Wuruk