Kedokteran hewan di Indonesia

Revisi sejak 21 April 2021 05.53 oleh RianHS (bicara | kontrib) (Copy edit)

Di Indonesia, praktik ilmu kedokteran hewan telah berlangsung dan berkembang selama ratusan tahun. Layanan dokter hewan serta pendidikannya telah dirintis sejak zaman penjajahan Belanda. Per tahun 2019, terdapat 11 universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran hewan. Para dokter hewan memiliki Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi.

Sebagian dokter hewan di Indonesia membuka layanan praktik, baik secara mandiri maupun berkelompok. Sebagian lainnya bekerja untuk Pemerintah Indonesia, perusahaan swasta, atau organisasi nirlaba dengan memberikan jasa medisnya atau menjadi konsultan, peneliti, dan pengajar. Sebagian dokter hewan juga menjadi wiraswasta di bidang yang berkaitan dengan kesehatan hewan, misalnya usaha peternakan dan pengolahan pangan asal hewan.

Pendidikan

Sarjana dan pendidikan profesi

Di Indonesia, pendidikan kedokteran hewan dipelajari di tingkat universitas. Pendidikan ini terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah pendidikan sarjana (S1) yang biasanya ditempuh selama delapan semester. Setelah menyelesaikan tahap ini, seseorang akan mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.K.H.). Tahap kedua adalah pendidikan profesi (koasistensi) yang biasanya memerlukan waktu 1,5 hingga 2 tahun. Setelah menyelesaikan koasistensi, seseorang akan mendapatkan gelar dokter hewan (drh).

Jumlah universitas yang memiliki fakultas atau program studi kedokteran hewan di Indonesia adalah 11 buah. Mereka terkumpul dalam Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI). Kesebelas universitas itu adalah:

  1. Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) — Banda Aceh, Aceh
  2. Institut Pertanian Bogor (IPB) — Bogor, Jawa Barat
  3. Universitas Padjadjaran (Unpad) — Bandung, Jawa Barat
  4. Universitas Gadjah Mada (UGM) — Sleman, Yogyakarta
  5. Universitas Airlangga (Unair) — Surabaya, Jawa Timur
  6. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) — Surabaya, Jawa Timur
  7. Universitas Brawijaya (UB) — Malang, Jawa Timur
  8. Universitas Udayana (Unud) — Denpasar, Bali
  9. Universitas Pendidikan Mandalika (Undikma) — Mataram, Nusa Tenggara Barat
  10. Universitas Nusa Cendana (Undana) — Kupang, Nusa Tenggara Timur
  11. Universitas Hasanuddin (Unhas) — Makassar, Sulawesi Selatan

Pascasarjana

Beberapa universitas menyediakan pendidikan pascasarjana untuk ilmu kedokteran hewan, baik tingkat magister (S2) maupun doktor (S3). Meskipun demikian, program studi dan konsentrasi yang ditawarkan berbeda-beda. Sebagai contoh untuk tingkat S2, di Universitas Gadjah Mada terdapat Program Studi Sain Veteriner dengan enam peminatan,[a] di Institut Pertanian Bogor terdapat tujuh program studi atau mayor,[b] di Universitas Airlangga terdapat empat program studi,[c] di Universitas Udayana terdapat Program Studi Magister Kedokteran Hewan,[5] sedangkan di Universitas Syiah Kuala terdapat Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner.[6] Sementara itu, program S3 diselenggarakan di IPB,[3] UGM,[7] dan Unair.[8]

Sejarah

Masa sebelum kemerdekaan

Tahun 1800-an

Di Indonesia, ilmu kedokteran hewan telah diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Hal ini bermula pada tahun 1820 saat R.A. Coppicters, dokter hewan asal Belanda datang ke Hindia Belanda.[9][10] Ia bertugas menangani hewan-hewan yang penting bagi pemerintah kolonial Belanda, misalnya kuda milik pasukan militer. Pada tahun 1851, tercatat beberapa dokter hewan Belanda di Indonesia.[d] Layanan kedokteran hewan (Veeartsenijkundige Dienst) dibentuk pada tahun 1941[10] yang kemudian berubah menjadi layanan kedokteran hewan sipil (Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst) pada 1853.[12] Keterbatasan jumlah dokter hewan menjadikan layanan tidak maksimal. Dalam periode 1853-1869, tiga dokter hewan yang melayani seluruh Pulau Jawa; masing-masing di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.[13] Baru pada tahun 1869, dua dokter hewan ditempatkan di luar Pulau Jawa: satu di Sumatra dan satu di Sulawesi.[13]

Belanda mendirikan sekolah dokter hewan yang disebut Inlandsche Veeartsen School (IVS) di Surabaya pada tahun 1861.[11][14] Pimpinan sekolah ini adalah Dr. J. van der Weide.[11][e] Pendidikan dilangsungkan selama dua tahun dengan menerima para bumiputra (pribumi) sebagai siswanya. Namun, IVS ditutup pada tahun 1875 setelah hanya menghasilkan delapan dokter hewan bumiputra (inlandsche veearts) selama sembilan tahun.[11]

Setelah itu, pada 1875–1880, pendidikan dilakukan dalam bentuk magang pada dokter hewan pemerintah (gouvernements veearts) di Purwokerto.[14][11] Ada sembilan pemuda bumiputra yang magang pada tujuh orang dokter hewan pemerintah; delapan di antaranya diluluskan pada tahun 1880 sebagai dokter hewan bumiputra.[11] Tak berselang lama, wabah penyakit hewan melanda Hindia Belanda, mulai dari sampar sapi pada tahun 1875, antraks dan septisemia epizotik pada 1884, surra pada 1886, dan penyakit mulut dan kuku pada 1887.[9][16] Organisasi dokter hewan pertama pun berdiri pada tahun 1884 dengan nama Nederland-Indische Vereeniging voor Diergeneeskunde untuk mengatasi wabah-wabah tersebut.[16]

Usul penggabungan pendidikan dokter dan pendidikan dokter hewan pada STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) pernah dilontarkan oleh Direktur Departemen Kepamongprajaan (Binnenlands Bestuur).[17] Meskipun gagasan ini disetujui Menteri Urusan Jajahan (Minister van Kolonien) di Belanda, tetapi karena keberatan yang disampaikan Direktur Departemen Pendidikan Keibadatan dan Kerajinan (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid) dan direktur STOVIA, usul ini tidak terlaksana.[17]

Tahun 1900–1945

Pada tahun 1907, atas usul Melchior Treub, Direktur Departemen Pertanian, Kerajinan, dan Perdagangan (Landbouw, Nijverheid en Handel) Belanda mendirikan laboratorium veteriner (veeartsenijkundig laboratorium; saat ini menjadi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor) untuk menangani wabah sampar sapi.[17] Di laboratorium ini juga dibuka pendidikan dokter hewan bumiputra selama empat tahun yang bernama ”Cursus tot Opleiding van Inlandsche Veearstsen”.[17][18] Siswa-siswanya berasal dari lulusan HBS atau MULO (setingkat SMP), dan sekolah-sekolah lain yang dianggap sederajat. Dua siswa pertamanya merupakan lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middelbare Landbouwschool atau MLS) yang setara dengan SMA sehingga mereka langsung diterima di tingkat III.[17]

Awalnya, kursus ini berada di bawah pengawasan Koningsberger, Kepala Kebun Raya dan Museum Zoologi Bogor. Pada tahun 1908, L. de Blieck menjadi pimpinan laboratorium veteriner dan tahun berikutnya ia juga diberi tugas memimpin kursus.[17] Pada tahun 1910 terjadi perubahan nama, ”Inlandsche Veeartsenschool” (sekolah dokter hewan bumiputra) dipilih untuk menggantikan nama kursus, sedangkan jabatan kepala sekolah (sekaligus kepala laboratorium) berubah menjadi direktur.[18] Seorang siswa asal Minahasa, Johannes Alexander Kaligis, lulus pada tahun 1910 sebagai dokter hewan Indonesia yang pertama.[9][14] Pada tahun 2010, seratus tahun setelah kelulusan Kaligis, dilakukan perayaan satu abad dokter hewan Indonesia.[9]

Pada tahun 1914, nama pendidikan diubah lagi menjadi ”Nederlands Indische Veeartsenschool” (NIVS).[18] Sekolah ini menerima berbagai golongan, tidak hanya siswa bumiputra. NIVS lalu mengalami kemunduran karena kembali disatukan dengan laboratorium menjadi ”veeartsenijkundig instituut” (VI) atau lembaga veteriner.[17] Namun pada tahun 1919, NIVS kembali dipisahkan dari lembaga dan berdiri sendiri.[17] Bahasa Jerman ikut diajarkan supaya siswa-siswanya dapat membaca buku-buku kedokteran hewan berbahasa Jerman. Lulusan NIVS yang berkinerja baik diberi kesempatan melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan di Utrecht, Belanda, dengan langsung menjadi mahasiswa tingkat III.[17][19] Selain Kaligis, dokter hewan Indonesia yang lulus dari Utrecht yaitu Soeparwi, Iskandar Titus, dan A.A. Ressang.[9][19]

Pada masa pendudukan Jepang, nama NIVS diubah menjadi Bogor Semon Zui Gakko.[18] Sekolah ini akhirnya ditutup saat Jepang menyerah kepada tentara sekutu. Jumlah dokter hewan Indonesia yang dihasilkan sejak IVS didirikan, lalu berganti nama menjadi NIVS, dan terakhir Semon Zui Gakko, adalah 143 orang.[19]

Masa setelah kemerdekaan

Tahun 1945–1949

Setelah proklamasi kemerdekaan, Sekolah Dokter Hewan (SDH) di Bogor dibuka kembali. Status SDH ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH) sesuai Surat Keputusan Menteri Kemakmuran No. 1280a/Per. tanggal 20 September 1946 dengan lama pendidikan lima tahun.[20] Wakil Presiden Mohammad Hatta membuka PTKH secara resmi pada bulan November 1946 dengan Dr. Mohede sebagai rektor magnifikus, sebutan bagi pemimpin PTKH.[21]

Pergolakan Perang Kemerdekaan Indonesia menyebabkan PTKH dikuasai Belanda sehingga aktivitas perkuliahan terhenti.[20] Pada tahun 1947, atas persetujuan rektor PTKH dan Kementerian Kemakmuran, kelas pararel bernama Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan Republik Indonesia (PTKH-RI) dibuka di Klaten, Jawa Tengah.[19][21] Sementara di Bogor pada bulan Mei 1948, Belanda membentuk ”Faculteit der Diergeneeskunde" (Fakultas Kedokteran Hewan) yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesië.[19][21]

Ketika Yogyakarta sebagai ibu kota RI diserbu dalam peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, PTKH-RI ditutup.[21] Kelas PTKH-RI dibuka kembali pada 1 November 1949 setelah Yogyakarta berada dalam penguasaan Pemerintah RI, tetapi lokasinya dipindah dari Klaten ke Yogyakarta.[21] Pada tanggal 19 Desember 1949 semua perguruan tinggi di Yogyakarta bergabung menjadi Universiteit Negeri Gadjah Mada, dan PTKH-RI menjelma menjadi Fakultit Kedokteran Hewan UGM.[20] Periode konflik dengan Belanda berakhir setelah Konferensi Meja Bundar berlangsung sukses dan kedaulatan Indonesia dipulihkan pada 27 Desember 1949.

Tahun 1950–sekarang

Pada tanggal 3 Februari 1950 Universiteit Indonesia dibentuk yang terdiri atas beberapa fakulteit, di antaranya pertanian dan kedokteran hewan di Bogor. Nama Faculteit der Diergeneeskunde diubah menjadi Fakulteit Kedokteran Hewan Universiteit Indonesia (FKH-UI).[22] Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1955, istilah fakultit (yang digunakan UGM) dan fakulteit (yang digunakan UI) kemudian diseragamkan menjadi fakultas, sedangkan universiteit diubah menjadi universitas.[23]

Organisasi dokter hewan bernama Perhimpunan Ahli Kehewanan yang didirikan sejak awal kemerdekaan mengadakan kongres pertama di Lembang, Jawa Barat pada tanggal 9 Januari 1953.[16] Dalam kongres ini, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dibentuk sebagai organisasi profesi dokter hewan Indonesia.[16]

Dalam perkembangannya, pendidikan kedokteran hewan sempat digabungkan dengan peternakan. Di UGM, nama Fakultet Kedokteran Hewan berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) pada tanggal 21 Juni 1955.[24]. Meskipun demikian, Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Peternakan berpisah pada 10 November 1969.[25] Hal yang sama juga terjadi di UI, nama FKH UI berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) UI pada tahun 1960.[22] Pada tahun 1962 nama Fakultas Kedokteran Hewan UI kembali digunakan, sedangkan pendidikan peternakan digabungkan dengan perikanan menjadi Fakultas Peternakan dan Perikanan UI.[22]

Di Banda Aceh, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan dibentuk pada 17 Oktober 1960 sebagai bagian dari Universitas Sumatera Utara.[26] Pada 2 September 1961, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) didirikan melalui Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Nomor 11 tahun 1961 tanggal 21 Juli 1961 dengan FKHP sebagai salah satu fakultasnya.[27] Nama FKHP Unsyiah kemudian berubah menjadi FKH Unsyiah pada 10 Oktober 1985 ketika Jurusan Peternakan diintegrasikan ke dalam Fakultas Pertanian.[26]

Pada 1 September 1963 pemerintah membentuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 91 Tahun 1963.[22] Sejak saat itu, FKH UI berubah menjadi FKH IPB.

Di Jawa Timur, pendidikan kedokteran hewan dibentuk atas kerja sama Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Brawijaya Malang. Universitas Brawijaya mendirikan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FHKP) pada tahun 1961 yang kemudian diresmikan melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 92 Tahun 1962 dengan berada di bawah naungan Universitas Airlangga.[28] Pada tahun berikutnya, FKHP dikelola sepenuhnya oleh Universitas Brawijaya melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 1 Tahun 1963.[28] Di Surabaya sendiri, Jurusan Kedokteran Hewan dibuka pada 25 November 1969.[29] Jurusan ini berada di bawah FKHP Universitas Brawijaya Malang.[29] Pada tahun 1972, pendidikan kedokteran hewan di lingkungan Universitas Brawijaya Malang dipindahkan seluruhnya ke Universitas Airlangga Surabaya sehingga terbentuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.[29]

Universitas Udayana (Unud) di Denpasar, Bali membuka Jurusan Kedokteran Hewan pada tahun 1978 di bawah FKHP.[30] Lima tahun kemudian, nama FKHP Unud berubah menjadi Fakultas Peternakan dan Program Studi Kedokteran Hewan.[30] Status sebagai fakultas baru diperoleh pada tahun 1997 dengan didirikannya Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.[30]

Pada tahun 2001, Universitas Nusa Tenggara Barat Mataram membuka Program Studi Kedokteran Hewan,[31] yang kemudian berubah menjadi Universitas Pendidikan Mandalika pada tahun 2019.[32] Pendidikan kedokteran hewan di universitas swasta bermula pada tahun 2008 saat Universitas Wijaya Kusuma Surabaya membentuk Fakultas Kedokteran Hewan.[33] Pada tahun yang sama, Universitas Brawijaya Malang kembali membuka Program Kedokteran Hewan yang saat ini telah menjadi FKH Universitas Brawijaya.[34] Pada tahun 2010, program studi kedokteran hewan dibuka di Universitas Nusa Cendana Kupang[35] dan Universitas Hasanuddin Makassar.[36] Terakhir, Universitas Padjadjaran Bandung membuka Program Studi Kedokteran Hewan yang berada di bawah Fakultas Kedokteran pada tahun 2019.[37]

Catatan

  1. ^ Peminatan Sain Veteriner UGM: (1) Penyakit dan Manajemen Kesehatan Unggas, (2) Bioreproduksi, (3) Biopatologi, (4) Ilmu klinik veteriner, (5) Biosain, (6) Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.[1]
  2. ^ Program Studi S-2 FKH IPB: (1) Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, (2) Anatomi dan Perkembangan, (3) Kesehatan Masyarakat Veteriner, (4) Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, (5) Mikrobiologi Medik, (6) Ilmu Biomedis Hewan, (7) Biologi Reproduksi.[2][3]
  3. ^ Program Studi S-2 FKH Unair: (1) Ilmu Biologi Reproduksi, (2) Ilmu Penyakit dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, (3) Agribisnis Veteriner, (4) Vaksinologi dan Imunoterapeutika.[4]
  4. ^ Sebuah sumber menyatakan bahwa hanya ada dua dokter hewan,[11] sedangkan sumber lainnya[12] menyatakan ada lima dokter hewan di Indonesia pada tahun 1851.
  5. ^ Sumber lain menuliskan nama pimpinan IVS adalah Dr. J. van der Helde[14][15]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ "Kurikulum Magister". Sain Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM. 22 Agustus 2018. Diakses tanggal 21 April 2020. 
  2. ^ "Program Pascasarjana". Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Diakses tanggal 21 April 2021. 
  3. ^ a b "Fakultas Kedokteran Hewan". Pascasarjana IPB. Diakses tanggal 21 April 2021. 
  4. ^ "Beranda". Fakultas Kedokteran Hewan Unair. Diakses tanggal 21 April 2021. 
  5. ^ "Brosur S2 FKH UNUD 2019". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Diakses tanggal 21 April 2021. 
  6. ^ "Sejarah S2 Kesmavet". Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah. Diakses tanggal 21 April 2021. 
  7. ^ "Kurikulum Doktor". Sain Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Diakses tanggal 21 April 2021. 
  8. ^ "Home". Sains Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Unair. Diakses tanggal 21 April 2021. 
  9. ^ a b c d e Tjahjono, Subur (7 Januari 2010). "Seabad Dokter Hewan Indonesia". Kompas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Januari 2020. Diakses tanggal 3 Januari 2020. 
  10. ^ a b "Sejarah Peternakan dan Kesehatan Hewan". Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI. Diakses tanggal 3 Januari 2020. 
  11. ^ a b c d e f Sigit 2003, hlm. 1.
  12. ^ a b Barwegen 2010, hlm. 92.
  13. ^ a b Barwegen 2010, hlm. 94.
  14. ^ a b c d Dharmojono 2019, hlm. 60.
  15. ^ Kambie, A.S. (28 Juli 2017). "Inilah Selusin Fakta tentang Sarjana Pertama di Sulsel dari Kedokteran Hewan". Tribun Timur. Diakses tanggal 3 Januari 2020. 
  16. ^ a b c d "Sejarah Organisasi Kedokteran Hewan di Indonesia". Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. Diakses tanggal 22 Juni 2019. 
  17. ^ a b c d e f g h i Sigit 2003, hlm. 2.
  18. ^ a b c d Priosoeryanto, Bambang Pontjo; Arifiantini, Iis (2014). "The history of the veterinary profession and education in Indonesia". Argos (Utrecht, Netherlands) (50): 342–345. ISSN 0923-3970. PMID 25029757. 
  19. ^ a b c d e Dharmojono 2019, hlm. 61.
  20. ^ a b c "Sejarah Singkat". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. 2 Juni 2017. Diakses tanggal 4 Januari 2020. 
  21. ^ a b c d e Sigit 2003, hlm. 3.
  22. ^ a b c d "Selayang Pandang". Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Diakses tanggal 8 Januari 2020. 
  23. ^ "Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1955". Hukum Online. Diakses tanggal 8 Januari 2020. 
  24. ^ Soebaran dkk. 2015, hlm. 10.
  25. ^ Soebaran dkk. 2015, hlm. 11.
  26. ^ a b "Sejarah". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  27. ^ "Sejarah". Universitas Syiah Kuala. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  28. ^ a b "Sejarah". Universitas Brawijaya. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  29. ^ a b c "Sejarah". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. 20 Maret 2016. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  30. ^ a b c "Sejarah". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  31. ^ "Sejarah Berdirinya Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Tenggara Barat". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Tenggara Barat. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  32. ^ "UNDIKMA, Nama Baru Gabungan IKIP Mataran dan UNTB". Mataram News. 2019-10-31. Diakses tanggal 2020-10-03. 
  33. ^ "Sejarah". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  34. ^ "Sejarah". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  35. ^ "Sejarah Singkat". Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  36. ^ "Sejarah". Universitas Hasanuddin. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 
  37. ^ "Program Studi Kedokteran Hewan". Universitas Padjadjaran. Diakses tanggal 9 Januari 2020. 

Daftar pustaka

Pranala luar