Roehana Koeddoes

pahlawan nasional Indonesia
Revisi sejak 15 Mei 2021 08.18 oleh Rahmatdenas (bicara | kontrib) (Suntingan Nobelalamsyah (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Abdul Harris Nasution)

Roehana Koeddoes (EYD: Ruhana Kuddus, 20 Desember 1884 – 17 Agustus 1972) adalah wartawati pertama Indonesia.[1] Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.[2]

Roehana Koeddoes
Lahir(1884-12-20)20 Desember 1884
Hindia Belanda Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat, Hindia Belanda
Meninggal17 Agustus 1972(1972-08-17) (umur 87)
Indonesia Jakarta, Indonesia
PekerjaanPengajar, wartawan
Suami/istriAbdoel Koeddoes
Orang tuaMohamad Rasjad Maharadja Soetan (ayah)
Kiam (ibu)
KerabatSoetan Sjahrir (adik tiri)
Agoes Salim (sepupu)
Chairil Anwar (kemenakan)

Ruhana lahir dari ayahnya yang bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam. Roehana Koeddoes adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga mak tuo (bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Dia juga sepupu H. Agus Salim. Roehana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.

Pada tanggal 7 November 2019, Ruhana Kuddus dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara.[3][4] Yang menerima penghargaan mewakili keluarga ahli waris adalah Janeydy, cucu dari Rohana Kuddus.[5]

Latar belakang

Roehana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Roehana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Roehana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.

Walaupun Roehana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Roehana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Roehana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Roehana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Roehana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Roehana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Roehana.

Pendidikan dan wirausaha

 
Sekolah Kerajinan Amai Setia yang kini beralih fungsi menjadi museum.

Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali ke kampung dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang berprofesi sebagai notaris. Roehana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Pada 13 Januari 1915, sekolah ini mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Hindia Belanda.[1] Sekolah ini terletak di Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam dan bangunannya masih berdiri sampai sekarang.[2]

Sekolah Kerajinan Amai Setia berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Banyak sekali rintangan yang dihadapi Roehana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.[6]

Selain berkiprah di sekolahnya, Roehana juga menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping itu juga Roehana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Roehana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.

Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Roehana. Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Roehana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Roehana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatra Barat.

Sunting Melayu

 
Sunting Melayu

Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Soenting Melajoe (Sunting Melayu) pada tanggal 10 Juli 1912. Soenting Melajoe merupakan surat kabar yang terbit tiga kali dalam seminggu. Soenting Melajoe tercatat dalam sejarah sebagai surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.[1][7]

Kisah sukses Roehana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Roehana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Roehana tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, tetapi dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.

Di Bukittinggi Roehana mendirikan sekolah dengan nama “Roehana School”. Roehana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Roehana School sangat terkenal muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tetapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Roehana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.

Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Roehana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Roehana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Roehana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.

Dengan kepandaian dan kepopulerannya Roehana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tetapi ada juga laki-laki. Roehana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan sekolah guru kecuali Roehana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Namun Roehana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.

Roehana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Roehana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Roehana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.

Pergerakan

Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi, Roehana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Roehana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.

Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatra. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.

Demikianlah Roehana Koeddoes menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung Roehana. Selama hidupnya ia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Dan pada tanggal 6 November 2007 pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama.

Bacaan lanjutan

  • Tamar Djaja, Rohana Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Mutiara, 1980
  • Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.
  • Fitriyanti. Roehana Koeddoes Perempuan Sumatra Barat, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001
  • Fitriyanti. Rohana Kudus Wartawan Perempuan Pertama indonesia, Yayasan d' Nanti, Jakarta, 2005

Rujukan

  1. ^ a b c Hanifah, Ratih Widihastuti (April 2021). "Roehana Koeddoes, Wartawati Pertama Berbakat Homeschooling". Intisari. 
  2. ^ a b Magdalene.co (2020). Her Story:Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 59. 
  3. ^ https://setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_anugerahkan_gelar_pahlawan_nasional_kepada_6_tokoh_2
  4. ^ "Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada 6 Tokoh". Presiden RI. 2019-11-08. Diakses tanggal 2021-04-19. 
  5. ^ https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191108201206-20-446795/haru-dan-bangga-keluarga-atas-gelar-pahlawan-nasional
  6. ^ http://www.langitperempuan.com/2008/07/rohana-kudus-rintis-suratkabar-perempuan-tahun-1912/
  7. ^ Sunting Melayu, Ruangbaca

Pranala luar