Keraton Sumenep

bangunan kuil di Indonesia
Revisi sejak 16 Mei 2021 09.27 oleh AnsyahF (bicara | kontrib) (Butuh kutipan)

Keraton Sumenep adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kerajaan Sumenep sendiri bisa dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (setingkat Kadipaten) kala itu, sebab sebelum wilayah Sumenep dikuasai VOC wilayah Sumenep sendiri masih harus membayar upeti kepada kerajaan-kerajaan besar (Singhasari, Majapahit, dan Kasultanan Mataram).

Karaton Songenep
Labhang Mesem (pintu tersenyum), merupakan salah satu pintu gerbang menuju kompleks Karaton, terletak di sebelah timur Gedhong Negeri
Peta
Informasi umum
LokasiIndonesia Sumenep, Jawa Timur
AlamatJalan dr. Soetomo, Kota Sumenep

Keraton Sumenep sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah bangunan Karaton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung Kanduruan, Karaton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan Keraton.

Istilah penyebutan Karaton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu, merasa kurang tepat karena karaton Sumenep memeliki strata tingkatan yang lebih kecil dari bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Karaton Sumenep sebenarnya adalah bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana daripada keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa penggunaan penyebutan istilah karaton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja".

Pendiri

Karaton Pajagalan atau lebih dikenal Karaton Songennep dibangun di atas tanah pribadi milik Panembahan Somala penguasa Sumenep XXXI. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek pembangunan Karaton oleh Lauw Piango salah seorang warga keturunan Tionghoa yang mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang. Karaton Panembahan Somala dibangun di sebelah timur karaton milik Gusti R. Ayu Rasmana Tirtonegoro dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua dia. Bangunan Kompleks Karaton sendiri terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya.

Kompleks Bangunan Karaton

 
Lambang Kadipaten Sumenep Pada tahun 1811 - tahun 1965

Keraton Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma I (Panembahan Somala) (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara). Kompleks bangunan Karaton Sumenep lebih sederhana dari kompleks Karaton kerajaan Mataram, bangunannya hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Karaton, Paseban, dan beberapa bangunan Pribadi Keluarga Karaton.

Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong Negeri (sekarang Kantor Disbudparpora) yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Konon, Pembangunan Gedong Negeri sendiri dimaksudkan untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep dan juga untuk mengawasi segala gerak-gerik pemerintahan yang dijalankan oleh keluarga Keraton. Selain itu Gedong Negeri ini juga difungsikan sebagai kantor bendahara dan pembekalan Karaton yang dikelola oleh Patih yang dibantu oleh Wedana Keraton.

Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu Labang Mesem. Pintu gerbang ini sangat monumental, pada bangian atasnya terdapat sebuah loteng, digunakan untuk memantau segala aktivitas yang berlangsung dalam lingkungan keraton. Konon jalan masuk ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti. Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang amat sederhana. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan Labhang Mesem berdiri Taman Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati) dimana sekelilingnya dikelilingi tembok tembok yang cukup tinggi dan tertutup.

Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Namun pada zaman pemerintahan Sultan Abdurahman Pakunataningrat pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan disana didirikan Kantor Koneng. Pembangunan Kantor Koneng (kantor kerajaan/adipati) semula mendapat tentangan keras oleh pemerintah Hindia Belanda karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan pemerintah saat itu. Namun, untuk menghindari tuduhan tersebut maka Sultan beninisiatif untuk mengubah seluruh cat bangunan tembok berwarna kuning selaras dengan namanya yaitu "kantor koneng" (bahasa belanda:konenglijk=kantor raja/adipati). Pada Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman, kantor Koneng difungsikan sebagai tempat rapat-rapat rahasia para pejabat-pejabat tinggi Karaton. Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).

Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng) difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin langsung oleh sang Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri besar dan dibantu oleh kebayan.

Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan sekarang dijadikan toko souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang jalan menuju Masjid Jamik Sumenep (ke arah barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan Kalianget. Di sebelah timur keraton adalah perkampungan,dan di arah timur jalan adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan aliran air taman keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake’ (tempat pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur terdapat jalan menurun, sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat pintu keluar terdapat jalan menurun, bekas undakan tujuh.

Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat bertamasya putera-puteri Adipati. Sekarang Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman.

Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura ) tempat bersemayamnya Raden Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari Sultan Agung yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( Lautan Indonesia ). Dari legenda tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus menghadap ke selatan. Ditinjau dari tapak ( site planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung dan berwibawa dari kompleks ini.

 
Mandiyoso, salah satu ruang di dalam kompleks Karaton Sumenep yang menghubungkan Karaton Dhalem dan Pendopo Agung

Struktur Penataan Kota

Konsep dasar perencanaan tata kota Sumenep ditentukan berdasarkan ajaran Islam: hablum minallah wa hablum minannas artinya berhubungan dengan Allah dan berhubungan dengan manusia. Maksudnya alun-alun sebagai pusatnya. Bila menghadap lurus ke barat dimaksudkan kita berhubungan dengan Tuhan ( kiblat di Masjidil haram ) dan kita temukan Masjid jamik. Sebaliknya bila kita menghadap ke timur dimaksudkan berhubungan dengan manusia dan kita dapatkan keraton Sumenep. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan ajaran agama Hindu yang mengatakan bahwa timur, arah tempat matahari terbit adalah lambang kehidupan, jadi tempat manusia di alam dunia. Sebaliknya barat tempat matahari terbenam adalah lambang kematian, lambang akherat, dan lambang ketuhanan.

Prasasti Karaton Sumenep

Prasasti keraton Sumenep berisi wasiat Panembahan Somala tentang kompleks bangunan Karaton dan sekitarnya. Prasasti tersebut ditulis pada tahun 1200 H atau tahun ba' Bulan Muharram dengan huruf arab dan sekarang masih tersimpat di Museum Karaton Sumenep.

Tahun Hijriah Nabi SAW. 1200 (tahun ba') dibulan Muharram, inilah bangunan-bangunan (tempat tinggal) serta tanah-tanah wakaf Pangeran Natakusuma Adipati Sumenep. Semoga Allah SWT memberi ampun baginya dan kedua orang tuanya. Inilah bangunan serta tanah yang tidak dapat dirusak dan tidak dapat diwaris sebabb bangunan (termasuk tanah tersebut) adalah wakaf yang diperuntukkan untuk kebutuhan orang fair dan orang miskin. Saya memberi perintah kepada sekalian keturunan, atau kalau tidak ada sanggup, kepada lainnya guna memperbaiki mengawasi dan memlihara bangunan-bangunan dan tanah tersebut, bagi keturunan lainnya yang telah memlihara dan mengawasi wakaf itu semoga Allah SWT, mengaruniai keselamatan dunia maupun akherat.

Warisan Budaya

Selain memiliki kemegahan bangunan, Karaton Sumenep juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. antara lain:

  • Tari Gambuh,
Berkas:Tari Gambu.jpg
Tari Gambu Keraton Sumenep

Pada awalnya tari Gambu lebih dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari Gambu disebut dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan berada pada pengikut Rade Wijaya.

Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekiotar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambu (dalam logat Sumenep).

  • Tari Moang Sangkal,

Mowang berarti membuang, Sangkal berarti sukerta, dan sukerta artinya gelap (sesuatu yg menjadi santapan sebangsa setan, dedemit, jin rayangan, iblis, menurut ajaran Hindu). Sedangkan sangkal adalah mengadopsi dari bahasa Jawi Kuno yang maksudnya Sengkala (sengkolo). Jadi sangkal yang dimaksudkan pada umumnya di Songennep adalah: bila ada orang tua mempunyai anak gadis lalu dilamar oleh laki-laki, tidak boleh ditolak karena membuat si gadis tersebut akan “sangkal” (tidak laku selamanya).Pada awalnya tari Mowang Sangkal agak keras geraknya yang diiringi dengan gamelan dengan gending ”sampak” lalu mengalir pada gending ”oramba’-orambe’” yang mengisyaratkan para putri keraton menuju ke ”taman sare”. Dan kemudian gerakannya tambah halus, gerakan yg lebih halus inilah mengisyaratkan para putri sedang berjalan di Mandiyoso (korridor keraton keraton menuju Pendopo Agung Keraton). Pada umumnya kostum yang dipakai adalah warna ciri khas Songennep, merah dan kuning, karena perpaduan warna tersebut mengandung filosofi ”kapodhang nyocco’ sare” yang maksudnya ”Rato prapa’na bunga” (raja sedang bahagia). sedangkan paduan warna kostum merah dan hijau atau kuning dan hijau folosofinya ”kapodang nyocco’ daun” maksudnya ”Rato prapa’na bendhu” (Raja sedang marah).

  • Odeng rek-kerek, salah satu kostum penutup kepala seorang laki-laki yang diciptakan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang tak lain dimaksudkan untuk merendahkan martabat pemerintahan Kolonial Belanda ketika menjajah Sumenep kala itu, "rek-kerek" dalam bahasa Madura mempunyai arti anak anjing (patek).

Referensi

  • Zulkarnaen, Iskandar. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan kebudayaan kabupaten Sumenep.
  • Adurrahchman, Drs.1971.Sejarah Madura Selajang Pandang. Sumenep

Pranala luar