Soetan Noeralamsjah
Kontributor utama artikel ini tampaknya memiliki hubungan dekat dengan subjek. |
Soetan Noeralamsjah (EBI: Sutan Nuralamsyah; 21 April 1900 – 6 September 1970} adalah seorang jaksa dan politikus Partai Indonesia Raya (Parindra).
Soetan Noeralamsjah | |
---|---|
Berkas:Soetan Noeralamsjah 04.jpg | |
Lahir | Bondjol, Sumatera Barat | 21 April 1900
Meninggal | 6 September 1970 Jakarta Selatan, DKI Jakarta Raya | (umur 70)
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Hoofd Djaksa Militer |
Gelar | Mayor Jenderal Tituler |
Suami/istri |
|
Anak |
|
Orang tua |
|
Kerabat |
|
Kehidupan awal
Noeralamsjah lahir di Bonjol, Sumatra Barat pada 21 April 1900. Ia adalah anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan Mohammad Rasjad Gelar Maharadja Soetan bin Soetan Leman Palindih.[2] Salah seorang adiknya adalah Soetan Sjahrir, yang kelak menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia pertama.
Noeralamsjah sempat mengenyam pendidikan di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA, kini Kedokteran Universitas Indonesia), tetapi tidak sampai tamat.
Politik
Noeralamsjah aktif memperjuangkan pandangan politiknya di Parindra dan menjadi pengurus wilayah di Sumatra Timur bersama S. M. Tarigan dan Luat Siregar.[3][4][5]
Pada awal 1934, ketika Sjahrir dan Hatta ditangkap, Noeralamsjah kembali ke Medan dengan "tugas yang diberikan pimpinan pusat untuk mempropagandakan tujuan pimpinan". Pada 1934, ia menjadi Ketua Pendidikan Cabang Medan. Ia dilaporkan sebagai salah seorang yang menandatangani surat Oktober 1934 yang menyatakan keluhan cabang Pendidikan Sumatra tentang cara-cara diktator pimpinan pusat di Jawa.[6]
Di tengah-tengah laporan polisi tentang perselisihan yang meningkat dalam Pendidikan Cabang Medan, Noer Alamsjah pada Agustus 1936 berhenti sebagai ketua cabang.[6]
Pada Maret 1937, ia mengumumkan pencalonannya untuk Gemeenteraad (Dewan Kota) Medan. Dia menang dan dilaporkan duduk dalam dewan menjelang bulan Mei.
Pada Agustus 1937, ia menjadi wakil ketua cabang Parindra di Medan.[6]
Ia tercatat sebagai pendiri cabang dan ranting Parindra di Natal, Mandailing Natal (Ranah Nata) pada 1939.
Noeralamsjah menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme dan menuntut hak-hak kemerdekaan. Sikapnya ini membuat ia tidak diizinkan memasuki wilayah Sumatra Barat oleh pemerintah Hindia Belanda. Meski demikian, Soetan Noeralamsjah tetap bersikukuh untuk berangkat ke Padang Panjang secara sembunyi-sembunyi, dan dibantu oleh beberapa kawannya untuk mengelabui tentara kolonial. Namun keberadaan tempatnya bersembunyi, pada akhirnya tercium oleh intelijen Belanda. Soetan Noeralamsjah ditangkap di Bukittinggi oleh Pemerintahan Belanda, dan dijatuhi hukuman kurungan selama tiga bulan penjara karena melanggar larangan berpergian.
Jaksa
Setelah bebas dan tugasnya selesai, Soetan Noeralamsjah mendapat panggilan dari pemerintah pusat. Ia diangkat sebagai Jaksa Agung Muda dan merangkap sebagai Wakil Jaksa Militer dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler. Pada 1943, Kewedanaan Nata dan Batangnata bersatu dengan dipimpin oleh Wedana Hidayatsjah Tuanku Mudo. Pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan oleh Sutan Syaiful Manan (tokoh ulama Ranah Nata), sehingga Radja Djundjungan selaku Bupati Tapanuli Selatan mengadili mereka di Padangsidempuan.
Sekian lama sidang berjalan, Bupati Tapanuli Selatan belum menentukan ketetapan atas penyelesaian peristiwa tersebut, akibatnya Kewedanaan tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya, ditambah dengan situasi yang semakin genting akibat adanya Agresi Militer Belanda II pada tanggal 18 Desember 1948. Sementara itu, hubungan dengan ibu kota kabupaten sempat terputus akibat Kota Padangsidempuan diduduki oleh Belanda sejak tanggal 12 Januari 1949.
Masa PDRI
Untuk mengatasi situasi kekosongan kekuasaan (Vacum of Power) yang semakin darurat, maka pemuka masyarakat dan pemimpin-pemimpin ranting yang ada di Kota Nata bersama dengan pemuka adat serta alim ulama sepakat untuk bermusyawarah, dan hasilnya adalah terbentuklah Dewan Pertahanan Kewedanaan Dinagari Nata dan Batangnata pada 15 Januari 1949. Dewan ini diketuai oleh Soetan Noeralamsjah dengan wakilnya Kepolisian Dinagari Nata. Adapun Kepala Staf dipegang oleh Soetan Oesman Sridewa dengan wakilnya Teuku Zainal Abidin Tasya dan Tayanuddin. Sebagai penasehat adalah Soetan Dur Muhayatsjah, H. Abdul Aziz, dan Taufik Dahlan dari ranting Masyumi.
Dewan Pertahanan mengadakan kontak langsung dengan Perwakilan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Muara Sipongi perbatasan Sumatera Utara dengan Sumatera Barat. Pada waktu itu tentara agresor Belanda telah sampai ke sekitar kota panyabungan dalam aksinya Agresi Militer Belanda ke-II. Pada tanggal 21 April 1949, Dewan Pertahanan dibubarkan. Soetan Noeralamsjah meninggalkan Nata untuk bertemu dengan Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjabat Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang bermarkas di Kotaraja Banda Aceh.
Kematian
Noeralamsjah wafat pada tanggal 6 September 1970 diusianya yang ke 70 tahun, dan dimakamkan di Komplek Militer TNI-AL Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Ia mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Pejuang Perintis Kemerdekaan RI.
Referensi
- ^ https://www.geni.com/people/Soetan-Noer-Alamsjah/5475061265770083991
- ^ Salam, Solichin (1990). Sjahrir: wajah seorang diplomat. Pusat Studi dan Penelitian Islam.
- ^ https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKITLV3:002244001:00009&query=Noeralamsjah+&coll=dts&rowid=2
- ^ Reid, Anthony (2014-03-17). The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (dalam bahasa Inggris). NUS Press. ISBN 978-9971-69-637-5.
- ^ https://docplayer.info/60076051-Sejarah-partai-politik-di-pematang-siantar-history-of-political-parties-in-siantar.html
- ^ a b c Mrázek, Rudolf (1996). Sjahrir: politik dan pengasingan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-231-6.