Hak anak

bagian dari hak asasi manusia yang mengatur prinsip etika dan standar perbuatan yang diberikan terhadap anak di bawah umur

Hak anak atau hak asasi anak (bahasa Inggris: children's rights) adalah prinsip etika dan standar internasional atas perbuatan terhadap anak-anak.[1] Hak-hak ini merujuk pada Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak dalam United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC) yang mengatur perkara apa saja yang harus dipenuhi negara agar setiap anak dapat tumbuh sesehat mungkin, dilindungi, didengar pendapatnya, mengenyam pendidikan, dan diperlakukan secara adil. Berdasarkan Konvensi Hak Anak tahun 1989, anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali ditentukan lain oleh hukum suatu negara.[2] Semua anak memiliki semua hak yang disebutkan di dalam konvensi ini.[3] Oleh karena itu, negara wajib menghormati dan mempromosikan hak-hak anak dan melindungi anak-anak dari segala bentuk diskriminasi, kekerasaan, dan eksploitasi.[3] Selain negara, berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, perlindungan dan pemenuhan hak asasi anak menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.[4]

Hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Sejarah

Pada 1989, negara Indonesia bersama negara-negara anggota PBB di seluruh dunia merumuskan sebuah kesepakatan internasional, sebuah aturan universal, yang dapat menjadi pedoman dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan anak dengan mengadopsi Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak.[3] Hingga pada 26 Januari 1990, pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi PBB untuk Hak-hak Anak (UNCRC) sebagai hasil Sidang Majelis Umum PBB yang diterima pada 20 November 1989.[5][6] Hari pengesahan Konvensi Hak Anak itu kemudian dikenal sebagai Hari Anak Sedunia.[5]

Konvensi Hak Anak yang telah disahkan tersebut mengatur berbagai hal yang harus dilakukan tiap negara agar tiap-tiap anak dapat tumbuh sesehat mungkin, dilindungi, didengar pendapatnya, mengenyam pendidikan, dan diperlakukan secara adil.[3] Lalu pada 5 September 1990, Presiden Suharto mengesahkan Konvensi Hak Anak sebagai aturan hukum positif dan meratifikasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.[5] Dengan demikian, pemerintah Indonesia tidak hanya mengakui hak-hak anak yang perlu dilindungi, tetapi juga mengakui tanggung jawab negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak tersebut.[6]

Hak anak dalam konstitusi

Di Indonesia, perlunya perlindungan terhadap anak didasarkan atas tiga pemahaman. Pertama, anak dipahami sebagai bagian dari warga negara yang wajib dilindungi oleh negara. Kedua, anak merupakan amanah dan karunia Tuhan yang di dalamnya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya. Ketiga, anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa dan menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.[6] Hal paling mendasar yang dilakukan Indonesia dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak sesuai Konvensi Hak Anak adalah dengan memasukkan isu perlindungan anak ke dalam konstitusi. Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[5]

Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Undang-Undang tersebut telah dua kali diubah melalui Undang-Undang 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Selaras dengan hal tersebut, Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan setiap daerah untuk melakukan upaya-upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.[5]

Pemenuhan hak anak dan perlindungan anak juga mendasari upaya mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan usia minimal perkawinan bagi laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Perubahan batas usia minimal perkawinan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencegah perkawinan anak. Sebelumnya, batas usia minimal perkawinan untuk perempuan ditetapkan 16 tahun.[5]

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi dua protokol opsional Konvensi Hak Anak melalui undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak; dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.[5]

Referensi

  1. ^ UNICEF. "Ringkasan Advokasi Perlindungan Anak di Indonesia" (PDF). Diakses tanggal 2021-04-21. 
  2. ^ "Convention on the Rights of the Child text". www.unicef.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-05-18. 
  3. ^ a b c d "Konvensi Hak Anak: Versi anak anak". www.unicef.org. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  4. ^ "Penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 [71]". Penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 [71]. Diakses tanggal 2021-05-18. 
  5. ^ a b c d e f g "KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK". www.kemenpppa.go.id. Diakses tanggal 2021-05-18. 
  6. ^ a b c "Hak, Perlindungan, dan Persoalan Anak di Indonesia". Kompaspedia. 2020-07-20. Diakses tanggal 2021-05-18. 

Lihat pula