Keracunan organofosfat adalah kondisi yang terjadi ketika pestisida/ insektisida organofosfat tertelan, terhirup atau terserap ke dalam kulit dalam jumlah banyak yang melebihi batas.[1] Organofosfat adalah golongan pestisida yang dipakai oleh petani untuk membasmi hama karena mempunyai daya basmi yang kuat dan cepat dan memiliki sifat yang mudah terurai di alam namun senyawa pestisida organofosfat pada manusia dapat menimbulkan keracunan baik akut maupun kronis. Pestisida golongan organofosfat bersifat menghambat aktivitas enzim kolinestrase di dalam tubuh.[2]

Organofosfat merupakan agen antikolinesterase yang bekerja sebagai kolinesterase inhibitor dengan cara menginaktivasi enzim acetylcholinesterase (AchE). Kolinesterase merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme asetilkolin (ACh) pada sinaps setelah Ach dilepaskan oleh neuron presinaptik. Adanya inhibisi kolinesterase akan menyebabkan ACh tertimbun di sinaps sehingga terjadi stimulasi yang terus menerus pada reseptor post sinaptik. Ach yang dibentuk pada seluruh sistem saraf akan menimbulkan manifestasi klinis yang jelas pada saraf otonom.[3]  Inaktivasi asetilkolin (ACh) terjadi karena terbentuknya ikatan di dua daerah yang berbeda pada enzim kolinesterase. Daerah anionik dari enzim kolinesterase berikatan dengan atom nitrogen kuartener ACh dan daerah esterik berikatan dengan gugus karboksil ACh. Hal ini menghasilkan pembentukan kompleks asetilkolin- kolinesterase. Kompleks tersebut akan melepaskan kolin dan kolinesterase asetat. Apabila terjadi keracunan, radikal fosfat yang berasal dari senyawa organofosfat akan berikatan dengan daerah esterik kolinesterase sehingga akan menginaktivasi fosforilasi enzim. Dengan tidak terbentuknya asetilkolinesterase maka akan terjadi kelebihan asetilkolin bebas yang terus-menerus dan berkepanjangan di dalam sistem saraf otonom, neuromuskular, dan sistem saraf pusat yang akan menimbulkan berbagai macam gejala klinis.[4] Keracunan zat organofosfat dapat bersifat akut atau kronis. Gejala keracunan organofosfat bermacam-macam, tergantung dari jenis pestisida yang digunakan, lama paparan dan seberapa banyak zat tersebut masuk ke dalam tubuh. Beberapa efek toksik dapat terjadi, seperti mual, bronkokonstriksi, sialorrhoea, hipertensi, hipersekresi, miosis, diare, bradikardia, kejang, sianosis dan tremor yang mempengaruhi sistem saraf pusat.[5]

Upaya pencegahan penting dilakukan untuk mengurangi risiko keracunan organofosfat. Diantaranya dengan memberikan edukasi mengenai jenis- jenis pestisida kepada para petani sehingga mengetahui mana yang berbahaya dan tidak juga pengguanaan Alat Pelindung Diri (APD) dari pestisida, yaitu sepatu boot, sarung tangan, baju lengan Panjang, topi, pelindung mata, dan masker serta segera mandi setelahnya.[6][2] Apabila telah terjadi keracunan organofosfat maka pengobatan yang dapat diberikan adalah atropin, oksim seperti pralidoxime dan diazepam.[7]

Keracunan organofosfat (OP) merupakan masalah utama kesehatan global dengan satu juta kecelakaan serius dan dua juta kasus keracunan bunuh diri setiap tahunnya. Di antaranya, 200.000 orang meninggal, dengan sebagian besar kematian terjadi di negara- negara berkembang.[8] Dengan petani sebagai kelompok risiko terbesar. Pada tahun 2000 banyak dilakukan penelitian terhadap para pekerja atau penduduk yang memiliki riwayat kontak dengan pestisida. Dari penelitian tersebut diperoleh gambaran prevalensi keracunan tingkat sedang sampai berat disebabkan karena pekerjaan, yaitu antara 8,5% sampai 50%.[9][10] Sekitar 15% orang yang mengalami keracunan organofosfat meninggal.  Keracunan organofosfat ini telah dilaporkan sejak tahun 1962.[11]

Sejarah

Pada tahun 1854 organofosfat pertama kali dikenalkan namun toksisitasnya tidak diketahui hingga tahun 1931. Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Organosfat yang pertama diluncurkan adalah Tetraethyl Pyrophosphate (TEPP). TEPP dikembangkan di Jerman sebagai pengganti nikotin selama perang dunia kedua. Kemudian pada tahun 1944 Schrader menemukan parathion yang menjadikan organosfat sebagai kelompok pestisida terbesar dan paling serbaguna. Karena residu yang tertinggal pada lingkungan sedikit dan resistensi pada serangga lebih rendah dibandingkan dengan insektisida lain menjadikan organosfat semakin populer selama setengah abad terakhir. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.13.[9][12]

Penelitian telah mengaitkan suatu kelainan neurologis yang ditemukan pada veteran Perang Teluk Persia yang menderita penyakit multisymptom kronis dengan paparan kombinasi agen saraf kimia organofosfat pada masa perang. Sebelumnya, diyakini bahwa para veteran menderita depresi berbasis psikologis yang kemungkinan besar adalah gangguan stres pascatrauma. Banyak veteran yang diberi pil pyridostigmine bromide (PB) untuk melindungi dari agen gas saraf seperti sarin dan soman. Selama perang para veteran dihadapkan pada kombinasi pestisida organofosfat dan agen saraf, yang menghasilkan gejala yang berhubungan dengan polineuropati tertunda akibat organofosfat kronis. Gejala serupa yang ditemukan pada para veteran adalah gejala yang sama yang dilaporkan pada individu di lingkungan kerja yang diracuni secara akut oleh organofosfat, seperti klorpirifos. Studi menemukan veteran mengalami defisit dalam kemampuan intelektual dan akademik, keterampilan motorik sederhana, gangguan memori, dan gangguan fungsi emosional. Gejala-gejala ini menunjukkan kerusakan otak, bukan gangguan psikologis.[13][14]

Rute Masuk Organofosfat dalam Tubuh

Organofosfat dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui beberapa cara, diantaranya melalui per oral, inhalasi dan parenteral.[15]

Secara perol oral organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh melalui alat pencernaan. Hal ini dapat terjadi karena kesengajaan dan secara tidak sengaja.  Apabila dengan sengaja, penderita dapat mengalami keracunan organofosfat karena meminum bahan organofosfat dengan maksud bunuh diri. Sedangkan dengan tidak sengaja keracunan organofosfat dapat terjadi apabila zat organofosfat masuk ke dalam tubuh karena tercampur atau terkontaminasi dengan makanan atau minuman yang dikonsumsi, misalnya makanan tercemar organofosfat karena disimpan dalam tempat penyimpanan yang telah tercemar orrganofosfat atau pada minuman yang airnya telah tercemar akibat penyemprotan dengan organofosfat.[15]

Secara inhalasi organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui alat pernapasan. Hal tersebut dapat terjadi pada penderita yang melaksanakan pekerjaan penyemprotan pestisida organofosfat.[15]

Secara parenteral organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh akibat kontak dengan kulit atau selaput lendir mata, kebanyakan terjadi pada penderita yang melaksanakan penyemprotan atau pengangkutan bahan organofosfat.[15]

Tanda dan Gejala

Gejala dan tanda keracunan khususnya pestisida organofosfat umumnya tidak spesifik bahkan cenderung menyerupai gejala penyakit biasa. Seringkali para petani merasakan gejala seperti mual, pusing, sakit kepala, dan gatal-gatal, sehingga para petani mengabaikan gejala tersebut tanpa memeriksakannya ke dokter.[16] Gejala keracunan organofosfat bermacam-macam, tergantung dari jenis pestisida yang digunakan, lama paparan dan seberapa banyak zat tersebut masuk ke dalam tubuh. Beberapa efek toksik dapat terjadi, seperti mual, bronkokonstriksi, sialorrhoea, hipertensi, dan tremor yang mempengaruhi sistem saraf pusat.[5]

Keracunan zat organofosfat dapat bersifat akut atau kronis. Gejala-gejala toksisitas akut di antaranya adalah hipersekresi, bronkokonstriksi, miosis, diare, bradikardia, depresi sistem saraf pusat (SSP), kejang, sianosis, sakit kepala, salivasi, lakrimasi, mual, muntah, depresi napas, bronkospasme, hilang kesadaran, konvulsi, maupun gangguan otot serta keadaan yang lebih berat adalah koma. Gejala-gejala ini akan muncul dalam 24 jam setelah aplikasi pestisida.[17][18] Gejala toksisitas akut akan reversibel jika diobati dengan benar, namun efeknya akan fatal jika perawatannya tidak sesuai. Tingkat keparahan organofosfat tergantung pada jenis pestisida, dosis, lama aplikasi dan frekuensi aplikasi. Intensitas keracunan organofosfat dipengaruhi oleh area aplikasi pestisida, iklim, keterampilan aplikasi dan alat pelindung diri.[19]

Overstimulasi reseptor asetilkolin nikotinat di sistem saraf pusat mengakibatkan akumulasi ACh sehinggga menyebabkan kecemasan, sakit kepala, kejang, ataksia, depresi pernapasan dan sirkulasi, tremor, kelemahan umum, dan berpotensi koma. Ketika terjadi ekspresi overtimulasi muskarinik akibat kelebihan asetilkolin pada reseptor asetilkolin muskarinik, gejala gangguan penglihatan, sesak di dada, mengik karena bronkokonstriksi, peningkatan sekresi bronkial, peningkatan air liur, lakrimasi, berkeringat, peristaltik, dan buang air kecil dapat terjadi.[20]

Waktu timbul dan beratnya gejala, baik akut atau kronis, tergantung pada bahan kimia yang terkandung, rute pemaparan (kulit, paru-paru, atau saluran pencernaan), dosis dan kemampuan individu untuk menurunkan senyawa, yang mana tingkat enzim PON1 akan mempengaruhi.

Efek Reproduksi

Efek reproduksi seperti kesuburan, pertumbuhan serta perkembangan pria dan wanita telah dikaitkan secara khusus dengan paparan pestisida organofosfat. Sebagian besar penelitian tentang efek reproduksi dari paparan organofosfat telah dilakukan pada petani yang menggunakan pestisida dan insektisida di daerah pedesaan. Untuk laki-laki yang terpapar pestisida organofosfat berdampak pada kualitas air mani dan sperma yang buruk, termasuk penurunan volume air mani dan persentase motilitas serta penurunan jumlah sperma setiap ejakulasi. Pada wanita berdampak pada gangguan siklus menstruasi, kehamilan yang lebih lama, aborsi spontan, bayi lahir mati dan beberapa efek perkembangan pada keturunan telah dikaitkan dengan paparan pestisida organofosfat. Paparan prenatal telah dikaitkan dengan gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin.[21] Paparan organofosfat pada ibu hamil memberikan beberapa efek pada kesehatan janin. Beberapa dari efek ini termasuk perkembangan mental yang tertunda, gangguan perkembangan pervasif dan kelainan morfologi di permukaan otak.[22]

Efek Neurotoksik

Efek neurotoksik juga telah dikaitkan dengan keracunan dengan pestisida organofosfat yang menyebabkan empat efek neurotoksik pada manusia yaitu sindrom kolinergik, sindrom menengah, polineuropati tertunda akibat organofosfat (OPIDP) dan gangguan neuropsikiatri akibat organofosfat kronis (COPIND). Sindrom ini terjadi setelah paparan akut dan kronis dari pestisida organofosfat.

Sindrom kolinergik terjadi pada keracunan akut dengan pestisida organofosfat dan berhubungan langsung dengan tingkat aktivitas AChE. Gejala termasuk miosis, berkeringat, lakrimasi, gejala gastrointestinal, kesulitan bernapas , sesak napas , detak jantung melambat , sianosis, muntah, diare, susah tidur, serta gejala lainnya. Seiring dengan efek sentral ini akhirnya dapat terjadi kejang- kejang, koma dan gagal napas. Jika orang tersebut selamat dari hari pertama keracunan, perubahan kepribadian dapat terjadi, seperti perilaku menjadi agresif, episode psikotik, gangguan ingatan dan perhatian dan efek tertunda lainnya yang tidak terjadi di hari pertama. Efek kematian dapat terjadi dan hal ini paling sering disebabkan oleh kegagalan pernafasan karena kelumpuhan otot pernafasan dan depresi sistem saraf pusat, yang bertanggung jawab untuk mengatur proses pernafasan. Untuk orang yang menderita sindrom kolinergik, pemberian atropin sulfat yang dikombinasikan dengan oksim dapat digunakan untuk memerangi efek keracunan organofosfat akut. Diazepam terkadang juga terkadang diberikan.[23]

Sindrom antara (IMS) muncul dalam interval antara akhir krisis kolinergik dan awal polineuropati tertunda akibat organofosfat (OPIDP). Gejala yang terkait dengan IMS bermanifestasi antara 24–96 jam setelah terpapar pestisida organofosfat. Etiologi pasti, insiden, dan faktor risiko yang terkait dengan IMS tidak diketahui secara pasti, tetapi IMS dikenali sebagai gangguan sambungan neuromuskuler . IMS terjadi ketika seseorang mengalami penghambatan AChE yang berkepanjangan dan parah. Hal ini telah dikaitkan dengan paparan pestisida organofosfat tertentu seperti parathion, methylparathion, dan dichlorvos. Gejala umum yang sering dirasakan seperti peningkatan kelemahan pada otot wajah, fleksor leher, dan pernapasan.

Polineuropati tertunda akibat organofosfat (OPIDP) terjadi pada sebagian kecil kasus efek paparan pestisida organofosfat, terjadi pada kisaran dua minggu setelah terpapar, di mana terjadi kelumpuhan sementara. Hilangnya fungsi dan ataksia saraf perifer dan sumsum tulang belakang ini adalah salah satu fenomena OPIDP. Gejala dimulai dengan rasa nyeri yang menusuk di kedua kaki, gejala terus memburuk selama 3-6 bulan. Dalam kasus yang paling parah, quadriplegia telah diamati. Perawatan hanya mempengaruhi saraf sensorik, bukan neuron motorik sehingga dapat kehilangan fungsinya secara permanen. Penuaan dan fosforilasi lebih dari 70% NTE fungsional di saraf perifer adalah salah satu proses yang terjadi dalam OPIDP.  Perawatan standar untuk keracunan OP tidak efektif untuk OPIDP.

Gangguan neuropsikiatri akibat organofosfat kronis (COPIND) terjadi tanpa gejala kolinergik dan tidak tergantung pada penghambatan AChE. COPIND muncul dengan penundaan dan tahan lama. Gejala yang terkait dengan COPIND diantaranya defisit kognitif, perubahan suasana hati, disfungsi otonom, neuropati perifer, dan gejala ekstrapiramidal. Mekanisme yang mendasari COPIND belum ditentukan secara pasti, tetapi dihipotesiskan bahwa penghentian pestisida organofosfat setelah paparan kronis atau paparan akut dapat menjadi faktor penyebabnya.

Efek Kehamilan

Bukti efek/dampak paparan pestisida organofosfat pada masa kehamilan dan awal periode pascakelahiran telah dikaitkan dengan efek perkembangan saraf pada hewan, khususnya tikus. Hewan yang terpapar klorpirifos dalam rahimnya menunjukkan penurunan keseimbangan, penghindaran tebing yang lebih buruk, penurunan pergerakan, penundaan kinerja labirin, dan peningkatan kelainan gaya berjalan. Kehamilan dini diyakini sebagai periode waktu kritis untuk efek perkembangan saraf dari pestisida. Organofosfat mempengaruhi sistem kolinergik janin, jadi paparan klorpirifos selama periode kritis perkembangan otak berpotensi menyebabkan kelainan seluler, sinaptik, dan neurobehavioral pada hewan.[24]  Pada tikus yang terpapar methylparathion, penelitian menemukan berkurangnya aktivitas AChE di semua wilayah otak dan perubahan halus dalam perilaku seperti aktivitas lokomotor dan gangguan munculnya kandang. Organofosfat secara keseluruhan telah dikaitkan dengan penurunan panjang tungkai, lingkar kepala, dan tingkat kenaikan berat badan pascakelahiran yang lebih lambat pada tikus.[25]

Kanker

International Agency for Research on Cancer (IARC), menemukan bahwa organofosfat mungkin dapat meningkatkan risiko kanker. Tetrachlorvinphos dan parathion serta malathion dan diazinon diklasifikasikan ebagai zat yang memiliki kemungkinan besar bersifat karsinogenik.[26]

Penyebab

Patofisiologi

Organofosfat dalam tubuh menyebabkan kelainan biokimia dan menyebabkan inhibisi cholinesterase di dalam susunan saraf yang memiliki fungsi untuk menghentikan aksi asetilkolin dengan jalan hidrolisa. Asetilkolin berfungsi sebagai penghantar impuls atau transmisi, sehingga dengan adanya inhibisi cholinesterase mengakibatkan penumpukan dan kelebihan asetilkolin (ACh) pada saraf.  Akumulasi ACh pada saraf motorik menyebabkan stimulasi berlebihan pada nikotinik di sambungan neuromuskuler. Ketika ada akumulasi ACh di sinapsis ganglia otonom, hal ini dapat menyebabkan stimulasi berlebihan pada muskarinik di sistem saraf parasimpatis, oleh karena itu akan terjadi rangsangan terus-menerus dan hal ini akan menimbulkan gejala muskarinik yaitu kelainan pada gastrointestinal, saluran pernapasan, kelenjar peluh dan kelenjar air mata. Selain itu menimbulkan gejala nikotinik seperti twitching fasciculasi otot dan juga kelainan sentral.[15]

Organofosfat secara ireversibel dan non-kompetitif menghambat asetilkolinesterase, menyebabkan keracunan dengan memfosforilasi residu hidroksil serin pada AChE. AChE sangat penting untuk fungsi saraf, sehingga penghambatan enzim ini dapat menyebabkan akumulasi asetilkolin dan stimulasi berlebih pada otot. Hal ini menyebabkan gangguan di sinapsis kolinergik dan dapat diaktifkan kembali dengan sangat lambat.

Paraoxonase (PON1) adalah enzim yang terlibat dalam toksisitas organifosfat dan telah terbukti sangat penting dalam menentukan sensitivitas organisme terhadap paparan organofosfat. PON1 dapat menonaktifkan beberapa organofosfat melalui hidrolisis beberapa metabolit aktif organofosfat seperti klorpirifos okson, dan diazoxon, serta agen saraf seperti soman, sarin, dan VX. Tingkat aktivitas hidrolitik plasma PON1 yang lebih tinggi memberikan tingkat perlindungan yang lebih tinggi terhadap pestisida organofosfat.

Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa sementara PON1 memainkan peran penting dalam mengatur toksisitas organofosfat, dengan tingkat perlindungan bergantung pada senyawanya (yaitu Chlorpyrifos oxon atau diazoxon). Efisiensi katalitik yang dengannya PON1 dapat mendegradasi organofosfat beracun menentukan tingkat perlindungan yang dapat diberikan PON1 untuk organisme. Semakin tinggi konsentrasi PON1 semakin baik perlindungan yang diberikan. Aktivitas PON1 jauh lebih rendah pada neonatus, sehingga neonatus lebih sensitif terhadap paparan organofosfat.

Diagnosis

Pengobatan

Epidemiologi

Masyarakat dan Budaya

Referensi

  1. ^ Bakria, Saekhol. dkk (2018). "PEMBERDAYAAN KELOMPOK MASYARAKAT TANI KENTANG MENGENAI UPAYA PENANGGULANGAN KERACUNAN PERTISIDA ORGANOFOSFAT DI DESA KEPAKISAN BANJARNEGARA". Seminar Nasional Kolaborasi Pengabdian pada Masyarakat. 1 (1): 505– 509. doi:- Periksa nilai |doi= (bantuan).  line feed character di |title= pada posisi 47 (bantuan)
  2. ^ a b Rahmawati, dkk (2014). "TINGKAT KERACUNAN PESTISIDA ORGANOFOSFAT PADA PETANI PENYEMPROT SAYUR DI DESA LIBERIA TIMUR KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR TAHUN 2013". JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN. 3 (2): 376–380. doi:https://doi.org/10.47718/jkl.v3i2.566 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  3. ^ Klein. Disaster preparednes: emergency response to organophosphorus poisoning [Thesis]. New York (USA): Postgraduate Institute for Medicine and Quadrant Medical Education; 2008
  4. ^ Sinha, Parmod K.; Sharma, Ashok (2003-05-01). "Organophosphate poisoning : A review". Medical Journal of Indonesia: 120. doi:10.13181/mji.v12i2.100. ISSN 2252-8083. 
  5. ^ a b Damalas, Christos A.; Eleftherohorinos, Ilias G. (2011-05-06). "Pesticide Exposure, Safety Issues, and Risk Assessment Indicators". International Journal of Environmental Research and Public Health. 8 (5): 1402–1419. doi:10.3390/ijerph8051402. ISSN 1660-4601. 
  6. ^ Quandt, Sara A.; Hernández-Valero, María A.; Grzywacz, Joseph G.; Hovey, Joseph D.; Gonzales, Melissa; Arcury, Thomas A. (2006-06). "Workplace, household, and personal predictors of pesticide exposure for farmworkers". Environmental Health Perspectives. 114 (6): 943–952. doi:10.1289/ehp.8529. ISSN 0091-6765. PMC 1480506 . PMID 16759999. 
  7. ^ King, Andrew M.; Aaron, Cynthia K. (2015-02). "Organophosphate and carbamate poisoning". Emergency Medicine Clinics of North America. 33 (1): 133–151. doi:10.1016/j.emc.2014.09.010. ISSN 1558-0539. PMID 25455666. 
  8. ^ Mitwirkender, Rusyniak, Daniel E. Mitwirkender Nañagas, Kristine A. Organophosphate Poisoning. OCLC 1189515671. 
  9. ^ a b Hidayati, Diah Balqis Ikfi (2019). "Intoksikasi Organofosfat dengan Krisis Kolinergik Akut, Gejala Peralihan dan Polineuropati Tertunda". J Agromedicine. 6 (2): 337– 342.  line feed character di |title= pada posisi 77 (bantuan)
  10. ^ Prijanto TB, Nurjazuli, Sulistiyani. Analisis faktor resiko keracunan organofosfat pada keluarga petani holtikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. J Kesehat Lingk Indones. 2009; 8(2):73-8.
  11. ^ Neurological practice : an Indian perspective. Noshir H. Wadia. New Delhi, India: Elsevier. 2005. ISBN 81-8147-549-6. OCLC 294941498. 
  12. ^ Sartono (2001). Racun dan keracunan. Jakarta: Widya Medika. 
  13. ^ Hom, J.; Haley, R. W.; Kurt, T. L. (1997). "Neuropsychological correlates of Gulf War syndrome". Archives of Clinical Neuropsychology: The Official Journal of the National Academy of Neuropsychologists. 12 (6): 531–544. ISSN 0887-6177. PMID 14590665. 
  14. ^ Haley, R. W.; Kurt, T. L. (1997-01-15). "Self-reported exposure to neurotoxic chemical combinations in the Gulf War. A cross-sectional epidemiologic study". JAMA. 277 (3): 231–237. ISSN 0098-7484. PMID 9005273. 
  15. ^ a b c d e Asdie, Soegijanto Soemomarto dan A. H. (1978). Keracunan organofosfat dan insektisida. [Yogyakarta] : Universitas Gadjah Mada. OCLC 756395127. 
  16. ^ Short, Kate. (1994). Racun Cepat Racun Lambat. PAN Indonesia.
  17. ^ Sharma BR, Bano S. Human acetyl cholinesterase inhibition by pesticide exposure. Journal of Chinese Clinical Medicine. 2009; 4(1): 55-60.
  18. ^ Roberts, Darren M; Aaron, Cynthia K (2007-03-22). "Management of acute organophosphorus pesticide poisoning". BMJ. 334 (7594): 629–634. doi:10.1136/bmj.39134.566979.be. ISSN 0959-8138. 
  19. ^ Eddleston M, Buckley NA, Eyer P, Dawson AH. Management of acute organophosphorus pesticide poisoning. The Lancet; 2008; 371(9612), 597–607.
  20. ^ Leibson, Tom; Lifshitz, Matitiahu (2008-11). "Organophosphate and carbamate poisoning: review of the current literature and summary of clinical and laboratory experience in southern Israel". The Israel Medical Association journal: IMAJ. 10 (11): 767–770. ISSN 1565-1088. PMID 19070283. 
  21. ^ Peiris-John, Roshini J.; Wickremasinghe, Rajitha (2008-03). "Impact of low-level exposure to organophosphates on human reproduction and survival". Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 102 (3): 239–245. doi:10.1016/j.trstmh.2007.11.012. ISSN 0035-9203. PMID 18242652. 
  22. ^ Rauh, Virginia; Arunajadai, Srikesh; Horton, Megan; Perera, Frederica; Hoepner, Lori; Barr, Dana B.; Whyatt, Robin (2011-08). "Seven-year neurodevelopmental scores and prenatal exposure to chlorpyrifos, a common agricultural pesticide". Environmental Health Perspectives. 119 (8): 1196–1201. doi:10.1289/ehp.1003160. ISSN 1552-9924. PMC 3237355 . PMID 21507777. 
  23. ^ Jokanović, Milan; Kosanović, Melita (2010-05). "Neurotoxic effects in patients poisoned with organophosphorus pesticides". Environmental Toxicology and Pharmacology. 29 (3): 195–201. doi:10.1016/j.etap.2010.01.006. ISSN 1872-7077. PMID 21787602. 
  24. ^ Eskenazi, Brenda; Harley, Kim; Bradman, Asa; Weltzien, Erin; Jewell, Nicholas P.; Barr, Dana B.; Furlong, Clement E.; Holland, Nina T. (2004-07). "Association of in utero organophosphate pesticide exposure and fetal growth and length of gestation in an agricultural population". Environmental Health Perspectives. 112 (10): 1116–1124. doi:10.1289/ehp.6789. ISSN 0091-6765. PMC 1247387 . PMID 15238287. 
  25. ^ Eskenazi, B.; Bradman, A.; Castorina, R. (1999-06-XX). "Exposures of children to organophosphate pesticides and their potential adverse health effects". Environmental Health Perspectives. 107 Suppl 3: 409–419. doi:10.1289/ehp.99107s3409. ISSN 0091-6765. PMC 1566222 . PMID 10346990. 
  26. ^ IARC Monographs Volume 112: evaluation of five organophosphate insecticides and herbicides" (PDF). World Health Organization. Archived(PDF) from the original on 2017-04-17.

Pranala Luar