Syafruddin Prawiranegara
Mr. Syafruddin Prawiranegara (Sunda: ᮯᮖᮢᮥᮓ᮪ᮓᮤᮔ᮪ ᮕᮢᮝᮤᮛᮔᮨᮌᮛ, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara; 28 Februari 1911 – 15 Februari 1989) adalah seorang pejuang kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri dan pernah menjabat sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia dalam masa PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Ia menerima mandat dari presiden Soekarno ketika pemerintahan Republik Indonesia yang kala itu beribu kota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.[1][2][3] Ia kemudian menjadi Perdana Menteri bagi kabinet tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Tengah tahun 1958.
Syafruddin Prawiranegara | |
---|---|
Gubernur Bank Indonesia ke-1 | |
Masa jabatan 1953–1958 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu Tidak ada; jabatan baru | |
Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-3 | |
Masa jabatan 4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949 | |
Presiden | Soekarno |
Perdana Menteri | Mohammad Hatta |
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia | |
Masa jabatan 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | |
Menteri Keuangan Indonesia ke-5 | |
Masa jabatan 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947 | |
Presiden | Soekarno |
Masa jabatan 6 September 1950 – 27 April 1951 | |
Presiden | Soekarno |
Menteri Perdagangan Indonesia ke-4 | |
Masa jabatan 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 | |
Presiden | Soekarno |
Menteri Pertanian Indonesia ke-5 | |
Masa jabatan 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 | |
Presiden | Soekarno |
Menteri Muda Keuangan Indonesia ke-1 | |
Masa jabatan 12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu Tidak ada; jabatan baru | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Serang, Banten, Hindia Belanda | 28 Februari 1911
Meninggal | 15 Februari 1989 Jakarta, Indonesia | (umur 77)
Partai politik | Masyumi |
Suami/istri | Tengku Halimah Syehabuddin Prawiranegara |
Tanda tangan | |
Sunting kotak info • L • B |
Masa muda dan pendidikan
Sjafruddin memiliki nama kecil "Kuding", yang berasal dari kata Udin pada nama Sjafruddin. Ia memiliki darah keturunan Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari pihak ibu.[4] Buyutnya dari pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatra Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama Raden Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, tetapi cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.
Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).[5]
Pra-kemerdekaan
Pada tahun 1939–1940 Syafruddin menjadi editor di Soeara Timur, jurnal yang disponsori oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo. Namun, Syafruddin lebih nasionalis daripada ini, menolak untuk bergabung dengan Stadswacht (penjaga kota), meskipun pada tahun 1940 dia bergabung dengan Departemen Keuangan Belanda. Dia mempertahankan pekerjaannya di bawah pendudukan Jepang, bekerja sebagai inspektur pajak.[6]
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Pemerintah Darurat RI
“ | "Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno?," tanya Kamil Koto.
"Tidak persis begitu. Secara tugas memang iya, tetapi saya lebih suka menyebutnya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI" |
” |
– Syafruddin Prawiranegara menjawab pertanyaan Kamil Koto. Buku "Presiden Prawiranegara" oleh Akmal Nasery Basral |
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. Hatta yang telah menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda segera memberi mandat Sjafruddin untuk melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.[3]
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Jabatan pemerintahan
Syafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.
Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.
Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951.[7] Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.
Keterlibatan dalam PRRI
Sjafruddin pada tahun 1957 berkonflik dengan Presiden karena penentangannya terhadap nasionalisasi kepentingan ekonomi Belanda, dan penentangannya terhadap Demokrasi Terpimpin, yang berpuncak pada penulisan surat kepada Sukarno pada tanggal 15 Januari 1958, dari Palembang, Sumatera Selatan, di mana Sjafruddin sedang dalam pembicaraan dengan Kolonel Barlian yang memberontak, menyuruh Soekarno untuk kembali ke Konstitusi Indonesia.[7]
Akibatnya, ia dipecat sebagai gubernur Bank Indonesia, karena Sjafruddin semakin terlibat dengan pemberontak yang disebut Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Sjafruddin kurang sembrono dibandingkan beberapa rekan PRRI-nya, menentang ultimatum lima hari (atas dasar militer strategis) pada 10 Februari 1958 kepada Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja untuk membentuk kabinet baru dengan Hatta dan Hamengkubuwono IX, Sultan Yogyakarta, pada waktunya. kepala. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Februari 1958, Sjafruddin menjadi Perdana Menteri PRRI; tanda tangannya yang pernah muncul di uang kertas masa republik (1945–1949), dan sebagai Gubernur Bank Indonesia (1951–1958), muncul di catatan PRRI. Sjafruddin menentang pembentukan negara Sumatera yang terpisah, malah melihat PRRI sebagai gerakan integritas Indonesia, menentang sentralisasi kekuasaan di Indonesia. Kemudian pemberontakan gagal, dan pada 25 Agustus 1961, Sjafruddin menyerah kepada tentara. Dia dipenjara sampai 26 Juli 1966,[8] meskipun dia diberikan amnesti resmi pada tahun 1961.[9]
Pada awal tahun 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) didirikan di Sumatra Tengah akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk Kabinet tandingan sebagai jawaban atas dibentuknya kabinet Ir. Juanda di Jawa, tetapi PRRI tetap mengakui Soekarno sebagai Presiden PRRI, karena ia diangkat secara konstitusional.
PRRI segera ditumpas oleh pemerintahan pusat hingga pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.
Masa tua
Setelah dibebaskan, Sjafruddin cenderung lebih mengekspresikan dirinya melalui agama, dakwah melawan korupsi di bawah Soeharto, dan memimpin Petisi 50, serta menentang konsep Pancasila sebagai satu-satunya pedoman bagi semua golongan, terutama yang beragama, di Indonesia. Pada 7 Juli 1983 ia menulis surat terbuka kepada Soeharto untuk memprotes ketentuan dalam RUU yang mendukung konsep tersebut.[10] Akibat kegiatan ini, Soeharto melarang Sjafruddin keluar negeri kecuali untuk berobat.[11]
Syafrudin Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. Dalam aktivitas keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI). Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah, antar lain:
- Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen(1958)
- Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
- Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-??)
Ia juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia. Syafruddin Prawiranegara meninggal karena serangan jantung di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1989, pada umur 77 tahun.[5] "Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah".
Keluarga
Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddin, putri Camat Buahbatu dan keturunan Raja Pagaruyung pada tanggal 31 Januari 1941.[5] Mereka memiliki delapan orang anak:
- Siti Aisyah Prawiranegara menikah dengan Rusli Ganie, memiliki 4 orang anak: Siti Khadijah Ganie, Hidayatullah Ganie, Yasmine Ganie, dan Siti Nurul Hayati Ganie
- Salviyah Prawiranegara menikah dengan dr. Yudhanardhanarso Dawoed, memiliki 1 orang anak: Yupi Dawoed
- Chalid Prawiranegara menikah dengan Sri Murbaningsih, memiliki 2 orang anak: Syafruddin Prawiranegara dan Kamal Tjondro Prawiranegara
- Farid Prawiranegara menikah dengan Sri, memiliki 1 orang anak: Yuki, cucu ketiga belas lahir di Australia sebagai bayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981
- Chalidah Prawiranegara menikah dengan Lie Tjoan Sen, memiliki 2 orang anak: Nur'aini Wilinsen Prawiranegara dan Nurjannah Wilinsen Prawiranegara
- Faridah Prawiranegara menikah dengan Pardjaman, memiliki 3 orang anak: Takdirina Mira Setiasiwi Pardjaman, Amanda Tiara Pardjaman, Adam Pardjaman
- Rasjid Prawiranegara menikah dengan Sri Windu, memiliki 3 orang anak: Siti Hasanah Prawiranegara, Nurul Baiti Prawiranegara, dan Muhammad Iqbal Prawiranegara
- Jazid Prawiranegara menikah dengan Sri Kustiah Soebroto, memiliki 4 orang anak: Syarifah Prawiranegara, Fauzul Akmal Prawiranegara, Salviah Prawiranegara, Annisa Prawiranegara.
Referensi
- ^ Rasyid Ridho (25 Oktober 2014). "Syafruddin Prawiranegara, Presiden 207 Hari yang Terlupakan". sindonews.com. Diakses tanggal 19 Agustus 2015.
- ^ Badriah (01 Agustus 2006). "Sederhana Hingga Akhir Hayat:Obituari Halimah Syafruddin Prawiranegara". tempointeraktif.com. Diakses tanggal 19 Agustus 2015.
- ^ a b Akbar Tri Kurniawan (1 Maret 2011). "Novel Tentang Sjafruddin Prawiranegara Diterbitkan". Tempointeraktif via radiobuku.com. Diakses tanggal 19 Agustus 2015.
- ^ Akmal Nasery Basral, Presiden Prawiranegara: Kisah 207 hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia, 2011
- ^ a b c Kahin 1989, hlm. 101
- ^ Kahin 1989, hlm. 101–102
- ^ a b Kahin 1989, hlm. 103
- ^ Kahin 1989, hlm. 104
- ^ Kian Wie Thee 2003, hlm. 76
- ^ Bourchier & Hadiz 2003, hlm. 144
- ^ Kahin 1989, hlm. 105
Bibliografi
- Bourchier, David; Hadiz, Vedi R. (2003). Indonesian Politics and Society: A Reader. New York: Routledge. ISBN 978-0-415-23750-5.
- Kahin, George McT. (October 1989). "In Memoriam: Sjafruddin Prawiranegara (1911–1989)". Indonesia. Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project. 48: 101–106. ISSN 0019-7289.
- Kian Wie Thie, ed. (2003). Recollections: The Indonesian Economy, 1950s–1990s. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-174-1.
Sumber
Pranala luar
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Jabatan baru | Menteri Muda Keuangan Indonesia 1946 |
Diteruskan oleh: Lukman Hakim |
Didahului oleh: Surachman Tjokrodisurjo |
Menteri Keuangan Indonesia 1946–1947 |
Diteruskan oleh: A. A. Maramis |
Didahului oleh: Lukman Hakim |
Menteri Keuangan Indonesia 1949–1951 |
Diteruskan oleh: Jusuf Wibisono |
Didahului oleh: Mohammad Natsir |
Menteri Penerangan Indonesia 1948–1949 |
Diteruskan oleh: Sjamsuddin |
Jabatan pemerintahan | ||
Jabatan baru | Gubernur Bank Indonesia 1953–1958 |
Diteruskan oleh: Lukman Hakim |