Penyunting buku (atau biasa disebut editor buku) dalam arti sempit adalah orang yang bertugas melakukan penyuntingan naskah. Penyuntingan naskah adalah proses, cara, atau perbuatan menyunting naskah.[1] Sedangkan orang yang melakukan pekerjaan menyunting naskah disebut penyunting naskah atau yang lazim dipadankan dengan kopieditor yang mengacu pada istilah dalam bahasa Inggris, yaitu copy editor.[1]

Dalam pandangan profesional penerbitan, penyuntingan (editing) lebih dari sekadar masalah kebahasaan, seperti memperbaiki ejaan dan tanda baca. Editing mencakup satu unit kerja yang disebut editorial dengan tujuan menyeleksi, memeriksa, memperbaiki, dan menyajikan sebuah tulisan dengan prinsip mudah dibaca, mudah dipahami, benar secara data dan fakta, serta elok untuk dipandang.

Jarang sekali editor menerima naskah yang sempurna. Karena itulah, editor akan mengevaluasi naskah dengan dasar yang kuat dan ilmu yang relatif luas. Selain itu, editor banyak menggunakan disiplin ilmu dalam menyelesaikan pekerjaannya.[2] Ilmu utama memang ilmu kebahasaan dan kepenulisan.  Ilmu pendukung adalah ilmu dalam bidang tertentu, seperti: sains, ekonomi, akuntansi, sosial, keterampilan, seni, ataupun sastra. Ilmu pelengkap adalah ilmu desain (perwajahan) atau desktop publishing. Selain itu, ilmu tipografi (penggunaan huruf) serta wawasan pengetahuan umum juga tidak kalah penting.

Awal mula

Sebelum tahun 1980, perhatian masyarakat Indonesia terhadap dunia penyuntingan (editing) naskah masih sedikit. Awalnya, masyarakat masih menganggap bahwa penyuntingan naskah dapat dipelajari secara amatiran. Bersamaan dengan munculnya banyak penerbit baru dan semakin berkembangnya dunia perbukuan di Tanah Air, orang pun mulai merasakan perlunya diselenggarakan pelatihan penyuntingan. Hal ini seiring pula dengan semakin banyaknya orang yang bekerja di dunia sunting-menyunting naskah.[1]

Kebutuhan itu dapat dimaklumi mengingat hingga tahun 1979 belum ada institusi atau kursus di bidang penyuntingan naskah. Begitu pula mata kuliah khusus di perguruan tinggi juga tidak tersedia di bidang penyuntingan naskah. Dengan kata lain, orang-orang yang bekerja di bidang penyuntingan naskah (seperti editor, kopieditor, dan korektor) selama ini telah dianggap "belajar sendiri" sebelumnya.[1]

Keadaan berubah sejak 1980. Masyarakat mulai menyadari bahwa penyuntingan naskah tidak dapat ditangani oleh orang-orang amatiran atau sekadar otodidak. Sejalan dengan tuntutan profesionalisme di berbagai bidang, orang-orang yang akan bekerja sebagai penyunting naskah dirasa perlu mengikuti semacam pelatihan atau pendidikan sebelum terjun ke dunia penyuntingan naskah. Hingga pada 19-29 November 1980, Ikatan Penerbit Indonesia Cabang Jakarta Raya (Ikapi Jaya) tergerak untuk menyelenggarakan Lokakarya Penyuntingan Naskah Buku di Jakarta.[1]

Namun karena mengingat banyaknya aspek yang dibahas dalam penyuntingan naskah, dibutuhkan lebih banyak waktu untuk memahami dunia penyuntingan naskah dan mempersiapkan orang untuk bekerja di bidang tersebut. Menyadari hal itu, kalangan perguruan tinggi pun mengukuhkan dunia penyuntingan naskah untuk masuk dalam kurikulum kampus sejak tahun 1988. Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, Bandung, membuka program D-3 untuk editing. Selain itu, Universitas Indonesia melalui politekniknya juga membuka Jurusan Penerbitan dan Grafika di tahun ajaran 1990/1991.[1]

Tugas seorang editor

Adapun tugas seorang editor adalah:[3][1]

  1. Mempelajari naskah (buku) secara keseluruhan, isinya, wawasannya, tingkatannya, panjangnya, ilustrasinya, dan merundingkan dengan penulis jika revisi dianggap perlu;
  2. Menyunting naskah dari segi kebahasaan (ejaan, diksi, struktur kalimat, tanda baca);
  3. Memperbaiki naskah dengan persetujuan penulis/pengarang;
  4. Menghilangkan hambatan-hambatan antara pembaca dengan apa yang ingin disampaikan penulis (keterbacaan naskah);
  5. Pembaca yang cerdas, seorang kritikus yang taktis dan peka, ia harus memperhatikan kesempurnaan hal-hal kecil;
  6. Tidak menantang penulis dengan membuat perubahan-perubahan yang tidak perlu;
  7. Menghilangkan kekurangan dari karya penulis;
  8. Membuat dirinya berminat dengan isi naskah (buku) supaya dapat menempatkan diri sebagai pembaca yang dituju naskah (buku) itu, karena penulis biasanya tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain;
  9. Membaca dan mengoreksi cetak coba (pruf).

Seorang editor buku yang baik adalah editor yang memahami dan menguasai ilmu tersebut secara sungguh-sungguh. Pekerjaan seorang editor pada dasarnya memang tidak diketahui oleh orang lain. Namun jika ada kesalahan, misalnya kesalahan cetak, salah ketik, letak gambar terbalik, keterangan gambar keliru, maka yang paling dulu disalahkan adalah editor.

Selain itu, editor adalah wakil penerbit sehingga editor juga perlu mempertimbangkan naskah dari segi bisnisnya. Dia tidak menilai sebuah naskah apa adanya, tetapi melihat adanya potensi atau prospek naskah tersebut.

Filosofi editing

Editor sebagai profesi adalah mitra kerja bagi penulis untuk bersama-sama menghasilkan karya terbaik dan bermanfat untuk pembaca.  Prinsip lain yang juga sangat filosofis dalam dunia editor adalah 3M: memperbaiki, menerima, dan memberiEditing adalah menemukan kesalahan dan memperbaikinya sesuai dengan apa yang dimaksud penulis. Editing juga menerima suatu kebenaran dari naskah ataupun argumen yang disampaikan penulis, sehingga editor  tidak melakukan perubahan yang tidak perlu. Editing pada akhirnya juga memberi, dalam arti kerelaan editor untuk melakukan penambahan apabila ada bagian naskah yang perlu ditambahkan ataupun yang lebih berat yaitu melakukan penulisan ulang.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g Eneste, Pamusuk (2013-08-23). Buku Pintar Penyunting Naskah - Edisi Kedua. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-602-03-4808-7. 
  2. ^ Trim, Bambang (2013). Tak Ada Naskah yang Tak Retak. Cimahi, Bandung: TrimKom Publishing House. hlm. 2. ISBN 9786029750621. 
  3. ^ Trim, Bambang (2009). Saatnya Jadi Editor Taktis. Bandung: Maximalis Imprint Salamadani. hlm. 7. ISBN 6028164054.