Tantu Panggelaran
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Tantu Panggelaran adalah sebuah prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis dalam bahasa jawa kuna pertengahan. Edisi kritis yang sangat penting telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.
Perkembangan kisah
Teks terjemahan dari bahasa Kawi
Tantu Panggelaran
I. KEBERADAAN PULAU JAWA PADA ZAMAN PURBAKALA
Semoga tak ada gangguan.
Inilah kitab Tantu Panggelaran, yang dipersembahkan oleh Tuanku, semua (harus) berdiam diri untuk mengetahuinya; nah ...! nah ...!, buatlah dirimu nyaman di dalam mendengarkan cerita tentang “Pulau Jawa Pada Zaman Purbakala”.
(Alkisah pada zaman itu) belum ada manusia, bahkan Gunung Mahameru belum ada di pulau Jawa. Adapun keberadaan Gunung Mandalagiri, yakni gunung yang besar dan tinggi itu, yang dijadikan contoh tersebut, (masih) berada di bumi Jambudipa (India). Oleh karena itu, pulau Jawa bergoyang-goyang, selalu bergerak-gerak, berguncang-guncang, sebab belum ada gunung Mandara, bahkan manusia. Oleh karena itu, Bhatara Jagatpramana berdiri, dia mencipta pulau Jawa bersama Bhatari Parameswari, sehingga terdapatlah Gunung Dihyang (Dieng), tempat Bhatara mencipta. Demikianlah ceritanya.
Lama sekali Bhatara mengadakan ciptaan, dia memerintahkan Brahma Wisnu membuat manusia. Nah, tanpa membantah Brahma Wisnu membuat manusia. Tanah dikepal-kepalnya dan dibuat manusia yang sangat elok rupanya seperti rupa dewata. Manusia laki-laki dibuat oleh Brahma, manusia perempuan dibuat oleh Wisnu. Manusia-manusia buatan Brahma Wisnu itu dipertemukan, mereka saling rukun bersama, saling kasih mengasihi. Lalu mereka beranak, bercucu, berlipat-lipat banyaknya, berkembang-biak, menjadi banyaklah jumlah manusia. Namun (mereka hidup) tanpa rumah, laki-perempuan telanjang di hutan, menaungi/melindungi anak-cucu, sebab belum ada pekerjaan yang dibuatnya, belum ada yang (dapat) ditirunya, tanpa celana, tanpa busana, tanpa selendang, tanpa kain panjang (basahan), tanpa ikat pinggang (kendit), tanpa kuncung, tanpa ikat kepala. Berucap tetapi tak tahu apa yang dikatakannya, tidak tahu artinya, daun-daunan dan buah-buahan dimakannya. Demikianlah asal-muasal manusia pada zaman purba. Maka dari itu para dewata berkumpul dan bermusyawarah menghadap kepada Bhatara Guru. Bhatara Jagatnatha itu menyuruh para dewata membuat tempat tinggal di seluruh Pulau Jawa. Demikianlah kata Bhatara Mahakarana: “Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam, misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki, maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku. Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun). Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa, sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa. Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya engkau menguasai bumi. Adamu engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia. Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.”
Demikianlah pesan Bhatara Guru kepada para dewata semua. Mereka bersama-sama turun ke Pulau Jawa. Brahma menjadi tukang pandai-besi. Lima makhluk besar dimintai pertolongannya, yakni bumi, air, api, angin, angkasa. Bumi sebagai landasan/paron, air sebagai penjepit, api sebagai pembakar, angin sebagai peniup api, angkasa sebagai palu. Oleh karena itu, tempat itu dinamai Gunung Brahma (Bromo), tempat Brahma menjadi pandai besi, kata sang pencerita. Palu dan landasannya sebesar pohon tal, penjepitnya/guntingnya sebesar pohon pinang, sang Bayu (angin) keluar dari goa, sang Agni (api) selalu ada siang dan malam. Itulah tempat Brahma mengerjakan pekerjaan pandai-besi. Demikianlah ceritanya. Bhagawan Wismakarmma turun membangun rumah. Manusia meniru membuat rumah. Lalu mereka berumah tangga. Oleh karena itu, tempat itu nantinya akan disebut Desa Medangkamulan, tempat awal-mula manusia berumah tangga. Demikianlah ceritanya.
Bhatara Iswara turun mengajarkan kata-kata baik, bahkan tentang Dasasila dan Pancasiska. Dia bergelar Guru Desa di sana. Bhatara Wisnu turun bersama dengan Bhatari Sri, ratu dari awang-awang (angkasa). A berarti hal yang tak ada, Wa berarti hal yang luhur, H yang berarti Bhatara/dewa; sehingga Wisnu disebut Rahyang Kandyawan. Bhatari Sri disebut Sang Kanyawan di negeri Medanggana. Demikianlah asal-mula adanya negeri/negara. Demikianlah ceritanya. Dia memberi ajaran kepada manusia, sehingga mereka mengetahi cara memintal, menenun, bercelana, berpakaian, berkain, beselendang. Bhatara Mahadewa turun menjadi tukang pandai-emas. Bhagawan Ciptaguna turun menjadi pelukis. Lagi tentang Kandyawan. Dia mempunyai anak lima. Sang Mangukuhan, nama anak yang paling tua. Sang Sandang-garba nama anak kedua. Sang Katung-malaras nama anak yang tengah. Sang Karung Kalah nama kakak dari anak yang bungsu. Sang Werti Kandayun nama anak yang bungsu. Kemudian kendaraan Bhatari Sri datang, yaitu empat burung, yakni burung perkutut, burung puter, burung deruk merah, burung merpati hutan. Mereka dikejar-kejar oleh lima anak itu dan disusul berderet di warung, kemudian dilukai oleh Sang Werti Kandayun. Jatuhlah tembolok burung-burung itu: Tembolok burung perkutut berisi biji putih, tembolok burung merpati hitam berisi biji hitam, tembolok burung deruk merah berisi biji merah, tembolok burung puter berisi biji kuning, semerbak harum baunya. Kelima anak itu bergembira. Dimakanlah (biji kuning) itu sampai habis. Oleh karena itulah sampai sekarang tidak ada biji kuning, sebab habis dimakan habis oleh kelima anak itu. Sang Mangukuhan menanam biji putih, merah dan hitam itu. Lalu mereka menjadi padi nantinya. Demikian juga kulit biji yang kuning ditanamnya, yang akhirnya menjadi kunyit. Demikian genaplah biji empat warna itu sampai sekarang. Lagi tentang Bhatara Mahakarana membuat tempat tinggal di pulau Jawa, meninggalkan tempat dewa, hingga tersebar di muka bumi, berderet-deret tanpa terputus, beragam tanpa ada yang hancur. Demikianlah halnya. Adapun Pulau Jawa pada zaman purbakala bergoyang-goyang, selalu bergerak mengguncang-guncang, sebab belum ada penindihnya. Oleh karena itu Bhatara Mahakarana mencari alat untuk menguatkan Pulau Jawa supaya tetap kuat dari dulu, kelak dan sampai sekarang ini. Kemudian Bhatara Guru bertapa, berdiri menghadap ke timur, kemudian diputarlah air sampai menjadi busa, lalu menjadi gunung. Oleh karena itu terdapat gunung Hyang (gunung Dewa/ gunung Dieng) sampai sekarang ini. Demikianlah cerita tentang tapa Bhatara Guru. Dan tanah yang dipijak oleh kaki Bhatara kelak menjadi gunung Limohan. Kemudian Pulau Jawa tidak kuat lagi, selalu bergerak berguncang-guncang. Kemudian Bhatara Parameswara memerintahkan kepada para dewata menghentikan penciptaan dunia. Pulanglah mereka ke sorganya masing-masing. Mereka semua pulang, masing-masing meninggalkan anaknya mengganti sebagai manusia. Hyang Kandyawan meninggalkan kelima anaknya agar mengganti kerajaannya. Namun satupun tidak ada yang mau menggantikan menjadi raja. Kemudian dia membuat undi dengan daun ilalang, barangsiapa yang dapat menarik daun ilalang yang diikat, dia harus menggantikan untuk menjadi raja. Mereka berempat lalu menarik daun ilalang yang diikat itu, tetapi tidak ada yang dapat. Kemudian tertuju kepada Sang Werti Kandayun (anak kelima) yang menarik daun ilalang yang diikat itu. Kemudian Sang Werti Kandayun dinobatkan. Adapun Sang Mangukuhan menjadi petani, yang menyediakan makanan bagi raja. Sang Sandang-garba menjadi pedagang yang menyediakan perak/uang bagi raja. Sang Katung-malaras menjadi penyadap aren, yang menyediakan minuman bagi raja. Sang Karung-kalah menjadi penjagal, yang menyediakan daging bagi raja. Raja Werti Kandayun menggantikan bapaknya. Bhatara Wisnu pulang ke tempat tinggalnya bersama dengan Bhatari Sri. Adapun manusia semakin bertambah banyak.
II. PARA DEWATA MENGELILINGI SANG HYANG MANDARAGIRI
Kemudian para dewata bersama-sama menyembah Bhatara Guru, semua dewata, para resi, para pahlawan, para bidadari, para gandarwa, semua berhimpun dan sujud di kaki Bhatara Mahakarana. Setelah mereka berbuat sembah, mereka duduk bersila berderet menghadap ke Bhatara Guru: “Hai kamu, para dewa, para resi, para pahlawan, para bidadari, para gandarwa, pergilah ke Pulau Jambu (India), hai anakku semua, pindahkanlah Sang Hyang Mahameru, pindahkanlah ke Pulau Jawa untuk menindih Pulau Jawa supaya kuat dan tidak bergoyang-goyang kalau Sang Hyang Mandaragiri itu telah sampai di sana. Pergilah, hai anakku semua!” Demikianlah pesan Bhatara kepada para dewa, para resi, para pahlawan, para bidadari, para gandarwa. Mereka semua tidak ada yang menolak. Mereka berpamitan akan pergi ke Pulau Jambu, akan mengangkat Sang Hyang Mandaragiri. Sampailah mereka di gunung Pulau Jambu, besar, tinggi sampai ke langit, seratus ribu yojana tingginya. Oleh karena jarak antara angkasa dan bumi adalah seratus ribu yojana, maka tinggi Sang Hyang Mahameru seratus ribu yojana. Karena dipindahkan ke Pulau Jawa, maka gunung Pulau Jambu itu tinggal setengahnya saja, karena tinggi Gunung Mahameru sekarang hanya tinggal setengah dari tingginya langit, yaitu hanya tonggak Sang Hyang Mahameru. Sedang puncaknya dipindahkan ke Jawa. Demikianlah gunung itu diangkat oleh para dewa. Bhatara Wisnu menjadi ular yang sangat panjang dan besar, menjadi tali untuk memindahkan Hyang Mahameru. Sang Hyang Brahma menjadi raja kura-kura yang sangat besar, yang menjadi alas untuk memindahkan Sang Hyang Mahameru. Ular itu mengikat Sang Hyang Mahameru. Mereka bekerja keras mematahkan Sang Hyang Mahameru. Keluarlah api yang membara, serta dentuman dan angin. Para dewata mengambil pekerjaan masing-masing. Para resi, para dewa menyanyi lagu pujian “Jaya ... jaya ...!. Bhatara Bayu, dewa kekuatan, naik ke punggung Sang Hyang raja kura-kura, Sang Hyang Mandaragiri kemudian diangkat oleh para dewata sambil menyanyi “Jaya ... jaya!”, mereka mengusung Sang Hyang Mahameru. Demikianlah orang-orang Pulau Jambu melihat Sang Hyang Mahameru berjalan-jalan, karena para dewata tidak terlihat oleh mereka, maka dari itu mereka ribut. Para brahmana sujud menyembah Sang Hyang Mandaragiri. Demikianlah sembah para brahmana.
Para dewa kepayahan membawa Sang Hyang Mandaragiri, maka mereka menginginkan air (dahaga). Ada air yang keluar dari Hyang Mahameru, air racun Kalakuta namanya, sebagai tanda gunung itu mabuk birahi. Oleh karena para dewata itu kepayahan, air racun Kalakuta itu diminumnya. Lalu semua dewata itu mati oleh kesakitan air racun Kalakuta. Bhatara Parameswara melihat hal itu: “Ah, semua dewata mati. Apa sebabnya mereka mati? Barangkali air yang keluar dari gunung itu yang diminumnya, sehingga mereka mati semua. Ah, aku ingin minum air itu juga.” Air Kalakuta itu diminumnya, maka leher dari Bhatara Guru menghitam sebagai “toh”. Maka dari itu Bhatara Guru bergelar Bhatara Nilakanta, karena hitam seperti “toh”. Bhatara Guru berkata: “Wah, sebenarnya engkau sangat sakti, maka aku menjadi sakti oleh karena engkau.” Ditatapnya air racun Kalakuta itu, sehingga akhirnya menjadi air kehidupan yang suci. Maka Sang Hyang Kamandalu (bejana/kendi) diisi, semua dewata itu disiram. Seketika itu juga Sang Hyang Tatwamerta Siwambha (air kehidupan yang suci) menyirami semua dewata itu, maka mereka semua hidup, dan Caturlokapala (empat pelindung dunia), bidadari, gandarwa menyembah Bhatara Guru, yaitu semua dewata. Maka Bhatara Parameswara berkata: “Kini bawalah kembali Sang Hyang Mandaragiri sampai ke Pulau Jawa, hai anak-anakku.”
Demikianlah kata Bhatara kepada semua dewata. Mereka semua tidak ada yang menolak. Maka para raksasa dikerahkan untuk membantu para dewata. Sang Hyang Mandaragiri diangkat, kemudian sampailah ia ke sisi sebelah barat Pulau Jawa. Sang Hyang Mahameru berdiri. Nampak oleh Sang Dewata (Sang Hyang Mahameru) bercahaya cemerlang, sehingga Sang Hyang Mahameru dinamai Kelasaparwata, karena nampak oleh Sang Dewata dia cemerlang. Diletakkan di sebelah barat, tapi sisi sebelah timur Pulau Jawa menjadi miring, karena dipatahkan oleh Sang Mahameru, terbelah sebelah timur. Tunggul sisanya hanya ada di sisi barat, oleh karena itu nanti akan ada gunung Kelasa, tunggulnya Sang Hyang Mahameru, demikianlah bunyi ceritanya. Puncaknya (Mahameru) dipindahkan ke sebelah timur, diangkat bersama-sama oleh para dewata. Sang Hyang Mahameru runtuh (tercecer). Reruntuhan pertama menjadi Gunung Kantong, reruntuhan kedua menjadi Gunung Wilis, reruntuhan ketiga menjadi Gunung Kampud, reruntuhan keempat menjadi Gunung Kawi, reruntuhan kelima menjadi Gunung Arjuna, reruntuhan keenam menjadi Gunung Kemukus. Sang Hyang Mahameru rusak bagian bawahnya karena runtuh, maka miring berdirinya, bergeraklah puncaknya. Puncak Sang Hyang Mahameru diberdirikan oleh para dewata. “Wah, suci” kata para dewata, karena itu nanti puncak Sang Hyang Mahameru akan disebut Pawitra (suci). Demikianlah ceritanya. Demikianlah Sang Hyang Mahameru tidak kuat, bersandar di gunung Brahma, karena sisi bawahnya telah rusak. oleh karena itu diperteguh pada gunung Brahma, maka Sang Hyang Mandaragiri berdiri kuat. Oleh karena Pulau Jawa telah kuat, berhentilah dia bergerak dan bergoyang dan menjadi sangat kuat. Oleh karena itu Gunung Mahameru dinamai Gunung Misada. Setelah itu Bhatara Parameswara menyuruh para dewata memuja Sang Hyang Mandaragiri, mengenakan isi Sang Hyang Mahameru. Setelah itu Dewa Trisamaya (tiga dewa) diberi anugerah kendaraan: banteng putih adalah kendaraan Bhatara Iswara, angsa putih adalah kendaraan Bhatara Brahma, garuda adalah kendaraan Bhatara Wisnu. Setelah Dewa Trisamaya diberi anugerah kendaraan, para dewata berkumpul memuja Sang Hyang Mahameru, Gunung Raja (Giriraja). Terdapat kendi manik yang bernama Kamandalu, yang berisi Sang Hyang Tatwamerta Siwambha (air kehidupan yang suci), yaitu sari dari Sang Hyang Mandaragiri. Yaitu yang dipuja oleh para dewata. Setelah dipuja, dipungutlah isi dari Sang Hyang Mahameru, misalnya: mirah, komala, intan; untuk diberikan kepada Bhatara Parameswara, sedangkan Sang Hyang Kamandalu tidak diketahui oleh para dewa. Kemudian para dewa semua pergi, Sang Hyang Kundi Manik itu tertinggal. Terdapat dua raksasa yang bernama Ratmaja dan Ratmaji. Bermain-main ke Sang Hyang Mandaragiri, yang maksudnya ingin mengambil emas, mirah, komala, intan. Ketika tidak menemukan emas, mirah, komala, intan, mereka menemukan Sang Hyang Kamandalu. Diambilnyalah dari tempatnya, maksudnya akan dibuat mainan, karena mereka tidak tahu gunanya. Sangat mengkilap, maka oleh mereka Sang Hyang Kamandalu dinamai Ketek Meleng. Kemudian Ratmaja dan Ratmaji pergi. Para dewata datang menyembah kepada Bhatara Guru. Bhatara berkata: “Hai anakku para dewata, mana biji Sang Hyang Mahameru? Emas, mirah, komala, intan diberikan, tetapi tidak ada Kendi Manik Sang Hyang Kamandalu, yang berisi Sang Hyang Tatwamertha Siwambha, pemberi hidup para dewa”. Demikianlah kata Bhatara Mahakarana. Para dewa tidak ada yang tahu yang mengambil Sang Hyang Kamandalu. Apalagi Resi Narada, Kapila, Ketu, Tumburu, Sapaka, Wiswakarma, tidak ada yang tahu yang mengambil Sang Hyang Kamandalu. Caturlokapala (empat pelindung bumi), Indra, Yama, Baruna, Kowera, resigana, dewanggana, suranggana, bidadari, gandarwapun tidak mengetahuinya. Para dewata termenung. Ditanyai oleh para dewa semua, maka Sang Hyang Raditya (Matahari) dan Sang Hyang Wulan (bulan) menjawab. Sang Hyang Raditya dan Wulan berkata: “Ada dua raksasa yang bernama Ratmaja dan Ratmaji. mereka mengambil Sang Hyang Kamandalu.” Demikianlah kata Sang Hyang Raditya dan Sang Hyang Wulan. Bhatara Brahma dan Wisnu datang ke tempat Ratmaja dan Ratmaji. Sampailah mereka di tempat para raksasa itu. Ratmaja dan Ratmaji berkata: “Aduh, tumben sang dewata pergi kemari. Apa tujuan tuanku datang kemari?” Sang Hyang Brahma dan Wisnu berkata: “Tujuanku datang kemari: karena apa yang kalian dapat dari Mandaragiri?” Raksasa itu menyahut: “Kami tidak menemukan emas, mirah, komala, intan, Bhatara. Yang kami dapatkan adalah Ketek Meleng.” Sang dewata menyahut: “Apa itu Ketek Meleng? Bagaimana wujudnya?” Kendi manik itu diperlihatkan. Lalu dimintalah oleh sang dewata, tetapi tidak diberikan oleh raksasa-raksasa itu. Para raksasa itu meminta supaya emas manik. Setelah itu raksasa-raksasa itu bertanya: “Diganti dengan apa kendi manik ini?” Berkatalah sang dewata: “Kendi manik itu bernama Sang Hyang Kamandalu, yang berisi air kehidupan yang suci, penghidupan para dewa.” Segera dipegangnya kendi manik itu oleh raksasa-raksasa itu dan dijaga oleh mereka berdua. Sang Hyang Brahma dan Wisnu mendapat malu. Melalui hikmatnya, Sang Brahma dan Wisnu berubah serupa dengan perempuan yang cantik. Beginilah jadinya. Pergilah mereka ke tempat Ratmaja dan Ratmaji. Dimintalah kendi manik itu dengan bermanis-manis. Tergodalah para raksasa melihat perempuan-perempuan cantik, maka diberikannyalah kendi manik itu. Dipeganglah oleh Bhatara Wisnu. Segera dilarikan oleh Sang Hyang Brahma dan Wisnu. Dikejar oleh Ratmaja dan Ratmaji, tetapi Sang Hyang Brahma dan Wisnu tidak tersusul oleh mereka, karena cepat larinya. Sang Ratmaja dan Ratmaji mendapat malu. Semua dewata hadir ke hadapan Bhatara Parameswara. Lalu mereka meminum air kehidupan yang suci itu supaya tidak menjadi tua dan mati. Daun beringin dipakai untuk minum. Ada raksasa yang bernama Rahu, yang menyamar sebagai dewata, ikut bersama dengan para dewata meminum air kehidupan yang suci itu, daun awar-awar dipakai untuk minum. Hal ini diketahui oleh Sang Hyang Raditya dan Wulan, ditegurnya ketika mereka meminum air kehidupan yang suci itu, maka mereka dilempar cakra oleh Bhatara Wisnu. Maka lehernya patah bagian atas. Air kehidupan itu diminum baru sampai mulut dan belum sampai ke badan. Sehingga kepala Rahu hidup. Sang Hyang Raditya dan Wulan sangat dimarahinya, maka Sang Rahu menjadi penghalang Sang Hyang Raditya dan Wulan sampai sekarang ini. Setelah para dewata meminum air kehidupan yang suci itu, beranaklah Bhatara Siwa, keluarlah Gunung Wlahulu. Beranaklah Bhatara Iswara, keluarlah Gunung Pamrihan. Karena anak Damalung mati, maka dinamai Gunung Mawulusan.
Demikianlah ceritanya.