Kapitayan

salah satu kepercayaan di dunia

Kapitayan adalah sebuah keyakinan yang dianut oleh masyarakat kuno di bumi Nusantara, yakni mereka yang termasuk ras kulit hitam (Proto Melanesia) semenjak era paleolitikum, mesolitikum, neolithikum dan megalitikum.[1][2]

Etimologi dan terminologi

Secara sederhana,  Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut  Sanghyang  Taya, yang bermakna Hampa, Kosong,  Suwung, atau Awang-uwung.  Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra.[3]

Prinsip keagamaan

Tuhan

Tuhan dalam agama kapitayan disebut Sang Hyang Taya. Taya berarti "suwung" (kosong). Dewa Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Sang Hyang Taya diartikan sebagai "tan keno kinaya ngapa", tidak dapat dilihat, dipikirkan, atau dibayangkan. Dan kekuatan Sang Hyang Taya yang kemudian mewakili di berbagai tempat, seperti di batu, monumen, pohon, dan di banyak tempat lain.[4] Oleh karena itu, mereka memberikan persembahan atas tempat itu, bukan karena mereka menyembah batu, pohon, monumen, atau apa pun, tetapi mereka melakukannya sebagai pengabdian mereka kepada Sang Hyang Taya yang kekuatannya diwakili di semua tempat itu.[5]

Teologi

Agama kapitayan ini, adalah agama kuno yang dipelajari dalam kajian arkeologi, yang tinggalan dan peninggalan arkeologisnya dalam terminologi Barat dikenal dengan dorman, menhir, sarkofagus, dan lain-lain yang mengindikasikan adanya agama kuno disekitar tempat itu. Dan oleh sejarawan Belanda, agama ini disebut sebagai animisme dan dinamisme, karena memuja pohon, batu, dan makhluk halus. Sedangkan menurut Ma Huan, praktek seperti itu disebut orang yang tidak beriman.[5]

Nilai-nilai keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah “Tan keno kinaya ngapa” dalam Kapitayan (“tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya"), memiliki arti yang sama dengan "laisa kamitslihi syai'un" dalam Islam ("Tidak ada yang seperti Dia"; Qur'an Surah Ash-Syura bab 42 ayat 11).[5]

Walisongo juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan) dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan, yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca atau arca seperti dalam agama Hindu atau agama Buddha. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama "Langgar" mewakili istilah Masjid dalam Islam.[6][5]

Ada juga ritual tidak makan dari pagi hingga malam di Kapitayan, yang disebut dengan Upawasa (Puasa atau Poso). Kebetulan, ritual puasa dalam agama Hindu disebut juga dengan Upawasa atau Upavasa.[7] Alih-alih menggunakan istilah puasa atau Siyam dalam Islam, Walisongo menggunakan istilah Puasa atau Upawasa dari Kapitayan dalam menggambarkan ritual tersebut. Sebutan Poso Dino Pitu dalam Kapitayan yang artinya puasa pada hari kedua dan kelima yang sama dengan puasa tujuh hari, sangat mirip dengan bentuk puasa Senin dan Kamis dalam Islam. Tradisi "Tumpengan" Kapitayan juga dilestarikan oleh para Walisongo dalam perspektif Islam yang dikenal sebagai "Sedekah". Inilah makna istilah yang disebut-sebut oleh Gus Dur (presiden keempat Indonesia) sebagai "mempribumikan Islam".[5]

Praktik ibadah

Dalam rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan menyediakan sajen berupa Tu-mpeng, Tu-mpi (kue dari tepung), Tumbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti Tu-ngkub, Tu-nda, wa-Tu, Tugu, Tu-nggak, Tu-k,Tu-ban, Tu-rumbukan, Tutu-k. Para penganut Kapitayan yang punya maksud melakukan Tu-ju (tenung) atau keperluan lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang Tu-nggal dengan persembahan khusus yang disebut Tu-mbal.[8]

Berbeda dengan pemujaan terhadap Sanghyang Tunggal yang dilakukan masyarakat awam dengan persembahan sajen-sajen di tempat-tempat keramat, untuk beribadah menyembah Sanghyang Taya langsung, amaliah yang lazim dijalankan para ruhaniwan Kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpang dengan Tutu-k (lubang ceruk) di dinding sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya.[8]

Dalam bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di sanggar itu, para ruhaniwan Kapitayan mengikuti aturan tertentu: mula-mula, sang ruhaniwan yang sembahyang melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutu-k (lubang ceruk) dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam Tutu-d (hati). Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep (memegang ke-aku-an diri pribadi). Proses Tu-lajeg ini dilakukan dalam tempo relatif lama. Setelah Tu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam tempo relatif lama. Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi Tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya). Selama melakukan Tu-lajeg, Tu-ngkul, Tu-lumpak, dan To-ndhem dalam waktu satu jam lebih itu, ruhaniwan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang Hampa) yang sudah disemayamkan di dalam Tutu-d (hati).[8]

Rujukan

  1. ^ Dharmapala, Rangga Wisesa (2014-02-22). "Sejarah Agama dan Kepercayaan Kapitayan". Keajaiban Dunia. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  2. ^ Sunyoto (2017). p. 13.
  3. ^ Sunyoto (2017). p. 14.
  4. ^ Galbinst (2019). p. 13.
  5. ^ a b c d e Galbinst (2019). p. 14.
  6. ^ Sunyoto (2017). p. 17.
  7. ^ "Upavasa - Banglapedia". en.banglapedia.org. Diakses tanggal 2019-11-20. 
  8. ^ a b c Sunyoto (2017). p. 16-17.

Baca lebih lanjut

  • Galbinst, Yuri (2019), Islam: Dari Indonesia ke Dinasti Safawi, Cambridge: Cambridge Stanford Books 
  • Sunyoto, Agus (2017), Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah, Tangerang Selatan: Pustaka Iman