Daud Beureu'eh

Politisi Indonesia

Mayor Jenderal (Tituler) Teungku Muhammad Daud Beureueh (17 September 1899 – 10 Juni 1987) akrab disapa Ayah Daud [2]adalah mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo[3] dan pejuang kemerdekaan Indonesia.[4] Ia merupakan tokoh kontroversial yang populer di kalangan masyarakat Aceh.[4] Ia melakukan pemberontakan kepada pemerintah dengan mendirikan NII akibat Soekarno yang melanggar perjanjian dengan rakyat Aceh dan ketidakpuasannya atas pemerintahan Soekarno.[5] Namanya kini diabadikan untuk sebuah jalan di Banda Aceh.

Mayjen.Teungku
Muhammad Daud Beureu'eh
Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo
Masa jabatan
1947–1949
Sebelum
Pendahulu
Teuku Daud Syah
Pengganti
B. M. Danubroto
Sebelum
Gubernur Aceh Darussalam ke-3
Masa jabatan
1950–1951
Informasi pribadi
Lahir(1899-09-17)17 September 1899
Kesultanan Aceh Beureu'eh, Mutiara, Pidie, Aceh
Meninggal10 Juni 1987(1987-06-10) (umur 87)
Indonesia Banda Aceh, Aceh
Suami/istri1. Cut Halimah
2. Teungku Asma
3. Hj. Asiah
Anakdari Cut Halimah
1. Hj. Siti Maryam
2.Tgk H M. Hasballah
3. Hj Saidah
4. Hj Raihana
5. Tgk H Musthafa
6. Tgk Saifullah, dan
7. Tgk H Ma’mun.
[1]
KerabatTan Sri Dato' Seri Haji Sanusi Junid (Cucu)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Biografi

Muhammad Daud lahir di Desa Beureueh, bagian dari uleebalangschap Keumangan , sehingga ia bergelar Teungku Muhammad Daud Beureueh yang maksudnya adalah Kiai Muhammad Daud dari Beureueh.[4]

Dakwah dan Perjuangan

Setelah menyelesaikan pendidikan, beliau di beberapa madrasah di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Selatan pada akhir 1920-an. Dengan tubuh kekar, dengan berkepribadian keras dan terus terang, beliau merupaka seorang orator yang hebat. Beliau tak sungkan-sungkan menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. Contohnya, beliau pernah menasehati Teuku Muhammad Hasan, anak Uleebalang Bentara Pineung untuk melarang permainan geudeu-geudeu (gulat) dan adu kerbau serta sapi untuk meramaikan pasar Lampoh Saka.[6] Pada tahun 1939 bersama Teungku Abdul Rahman Geulumpang Dua mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).

Organisasi masa ini awalnya bergerak di bidang pendidikan agama yang dipengaruhi oleh paham islam reformis sebagai jawaban dari penyebaran organisasi Muhammadiyah yang disokong oleh para Uleebalang. Saat pendudukan jepang, beliau bekerjasama dengan jepang melalui partisipasinya dalam Maibkatra.Beliau adalah republiken sejati, menolak kemerdekaan yang ditawarkan Van Mook saat berkunjung ke Aceh dengan tetap memilih berada di pangkuan Indonesia.

Konsistensinya terhadap penegakan syariat islam dimulai dari sejak dakwah di masa muda, sampai di awal masa revolusi. Dalam suatu kesempatan bersama Teuku Nyak Arief, beliau memberi pandangan bahwa Indonesia sepatutnya berasaskan Islam. Namun Teuku Nyak Arief menolak seraya menjelaskan keragaman yang ada di wilayah cikal bakal Indonesia nantinya. Keteguhan itu tidak surut sampai ketika Presiden Soekarno bertemu dengan Teungku Daud Beureueh dalam muhibahnya Juni 1948. Beliau berpesan agar selepas perang kemerdekaan Aceh diberi kebebasan menjalankan syariat Islam, dan Soekarno mengiyakannya.[7]

Setelah Kemerdekaan

Di Masa revolusi Teungku Muhammad Daud Beureueh muncul sebagai tokoh utama yang mendirikan Masyumi di Aceh pada tahun 1946. Memulai kariernya sebagai Kepala Kantor Urusan Agama pada kahir 1945, dia dianhlat oleh Pemerintah Pusat menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tahun 1947 dengan pangkat Jenderal Mayor. Jabatan Gubernur Militer ini dipegangnya sampai akhir 1949; ketika jabatan ini dihapus kemudian dia menjadi Gubenur Aceh. Beliau dimutasikan ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta dan diangkat menjadi anggota DPR pada awal 1950 seiring dengan penciutan status Aceh dari provinsi menjadi keresidenan dalam provinsi Sumatera Utara.

Frustasi akan perkembangan politik setelah kemerdekaan, dia memimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh pada 1953-1962. Atas usaha mediasi dan persuasi dari Gubernur Ali Hasjimi (yang merupakan anak didik beliau di masa revolusi), Pangdam Iskandar Muda Kol. Muhammad Jasin serta tokoh lainnya, beliau turun gunung mengakhir pemberontakan selama 9 tahun dengan peristiwa yang dikenal dengan Ikrar Lamteh. Beliau selanjutnya menyatakan memundurkan diri dari panggung politik, untuk terjun dalam masyarakat sahaja. Namun pengaruh politik beliau kekal hingga wafatnya tahun 1987, sampai-sampai rezim orde baru pernah mengungsikan beliau ke Jakarta karena takut beliau dipengaruhi oleh pemberontakan yang kelak bertransformasi menjadi Gerakan Aceh Merdeka.[8]

Referensi

https://www.instagram.com/tv/CPyxJsYnAnI/?utm_medium=copy_link/sejarah perjanjian rakyat aceh dengan Soekarno

  1. ^ https://beulangeungtanoh.blogspot.com/2019/08/menilik-biografi-singkat-tgk-muhammad.html?m=0
  2. ^ "Kisah Nyak Sandang yang Jual Sepetak Tanah demi Pesawat Pertama RI". Kumparan. 
  3. ^ "berkas AC05-1- 1.18 - Gubernur Militer Atjeh, Langkat Dan Tanah Karo 1947-1950, Gubernur Aceh 1950-1951". Diakses tanggal 24 Desember 2019. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b c H.M. Bibit Suprapto (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara. Gelegar Media Indonesia. ISBN 979-980661114-5.  Halaman 231-323.
  5. ^ Kepustakaan Populer Gramedia (2011). Daud Beureueh: Pejuang Kemerdekaan yang Berontak. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-9103-09-3.  Halaman 13-20.
  6. ^ Muhammad Hasan, Teuku (1999). Gubernur Sumatera, dari Aceh ke Pemersatu Bangsa. Jakarta: Papas Sinar Sinanti. hlm. 123. ISBN 9799314003. 
  7. ^ Jo, Hendi. "Air Mata Bung Karno Meleleh di Aceh". Historia.id. 
  8. ^ Sjamsudin, Nazaruddin (1999). Revolusi di Serambi Mekkah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). hlm. 300–301. ISBN 9794561878. 
Jabatan politik
Didahului oleh:
Teungku Daud Syah
Gubernur Aceh Darussalam
1948–1952
Diteruskan oleh:
Teungku Sulaiman Daud

Pranala luar