Suku Palembang
Sumber referensi dari artikel ini belum dipastikan dan mungkin isinya tidak benar. |
Suku Palembang atau Melayu Palembang merupakan suku bangsa yang mendiami daerah Sumatra Selatan.[3] Suku Palembang merupakan salah satu kelompok etnis terdekat dari Suku Komering dan Melayu. Bahasa Palembang memiliki kemiripan ataupun serumpun dengan Bahasa Jambi dan bahasa Melayu Bengkulu yang memiliki banyak pelafalan vokal "o" pada akhiran kata.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Kota Palembang (mayoritas) • Kabupaten Ogan Komering Ilir • Kabupaten Ogan Ilir | |
Kota Palembang | 500.000 |
OKI | 140.000[1] |
OI | 50.000[2] |
Bahasa | |
Bahasa Indonesia (resmi) Bahasa Palembang (mayoritas) lainnya: Bahasa Komering | |
Agama | |
Islam (95,5%) Buddha (2,3%) Kepercayaan: Animisme (2,2%) | |
Kelompok etnik terkait | |
Melayu • Komering |
Suku Palembang umumnya bermata pencaharian Sebagai Petani. Suku Palembang mendiami daerah-daerah yang berkonsentrasi di Sumatra Selatan yang meliputi Kota Palembang dan sekitarnya, seperti wilayah Kabupaten Ogan Ilir (Kecamatan Tanjung Raja, Kecamatan Pemulutan, dan Kecamatan Indralaya), Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kecamatan Kota Kayu Agung, dan Kecamatan Jejawi). Kebanyakan keturunan suku Palembang ini juga banyak menyebar di wilayah Bengkulu dan Jambi. Suku Palembang mayoritas menganut agama Islam, sedangkan beberapa menganut beragama Buddha. Namun, kepercayaan tradisional atau animisme juga masih kerap ditemui hidup secara berdamping-dampingan dan damai.
Kebudayaan Suku Palembang
Kalau bicara kota dengan pendapatan perkapita paling tinggi di Indonesia, maka semua akan tertuju pada kota Palembang. Kota Palembang merupakan salah satu kota di provinsi Sumatra Selatan sekaligus ibu kotanya. Lokasinya di tepi Sungai Musi.
Dari 1,2 juta penduduk kota Palembang, 40-50% adalah suku Palembang. Suku Palembang dibagi dalam dua kelompok, yaitu Wong Jeroo dan Wong Jabo. Wong Jeroo merupakan keturunan bangsawan/hartawan dan sedikit lebih rendah dari orang-orang istana dari kerajaan zaman dulu yang berpusat di Palembang. Sementara Wong Jabo adalah rakyat biasa.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa suku Palembang merupakan hasil dari peleburan bangsa Arab, Tionghoa, suku Jawa dan kelompok-kelompok suku lainnya di Indonesia.
Banyak orang Palembang menjadi pegawai pemerintahan. Namun ada pula yang bekerja sebagai pedagang di pasar, buruh, nelayan, guru, atau sebagai pengrajin kerajinan tangan Luasnya ladang minyak di Palembang menjadi kekayaan tersendiri kota Palembang.
Tradisi yang telah mengakar dalam budaya suku Palembang dan telah dijalankan selama beberapa abad sebagai pedagang, ialah sebagian kecil pedagang menjajakan dagangannya di atas permukaan air sungai Musi dengan menggunakan perahu. Selain menjadi pedagang, orang Palembang juga banyak yang berhasil menduduki sektor penting di pemerintahan Sumatra Selatan, dan juga tidak sedikit yang berhasil di perantauan dalam segala bidang, termasuk menjadi pejabat pemerintahan Indonesia dan beberapa sukses menjadi artis, sedangkan yang lain juga banyak bekerja di sektor swasta dan lain-lain.
Banyak orang Palembang yang masih tinggal di rumah yang didirikan di atas air. Rumah limas menjadi model arsitektur rumah khas Palembang yang kebanyakan didirikan di atas panggung di atas air untuk melindungi dari banjir.
Suami atau ayah berfungsi sebagai pelindung rumah tangga dengan tugas pokok mencari nafkah dalam sistem kekeluargaan suku Palembang. Sedangkan istri bertanggung jawab menjaga ketertiban dan keharmonisan rumah tangga. Keberhasilan seorang istri ditentukan oleh ungkapan para suami yang berkata “rumah tanggaku adalah surgaku”. Sebuah keluarga lebih mengharapkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Para kakek-kakek dari kedua belah pihak menganggap cucu lelaki sebagai jaminan dan bakal negeri (memperkuat kekuatan mereka) dan negakke jurai (jaminan sebagai penerus garis keturunan mereka).
Islam menjadi agama yang dianut sebagaina besar orang Palembang. Sondok piyogo atau dalam bahasa Indonesia berarti “Adat dipangku, syari'at dijunjung” merupakan semboyan yang dipegang teguh oleh suku Palembang. Semboyan tersebut bermakna bahwa meskipun mereka sudah mengecap pendidikan tinggi, mereka tetap mempertahankan adat kebiasaan suku Palembang.
Lapangan pekerjaan merupakan masalah sosial suku Palembang. Karena pengangguran menjadi masalah bagi orang Palembang. Orang Palembang dikenal sebagai orang yang sulit atau bahkan tidak mau melakukan pekerjaan kasar. Modernisasi merupakan momok bagi suku Palembang di mana kebudayaan mereka akan mengalami perubahan hingga kemerosotan.
Dalam kesehariannya, suku Palembang berbicara dalam bahasa Palembang. Bahasa Palembang sendiri merupakan bagian atau varian dari bahasa Melayu atau sering disebut sebagai bahasa Melayu Palembang. Bahasa Palembang menggunakan dialek “o” pada akhir setiap kata. Inilah yang membedakan bahasa Melayu Riau dan Melayu Malaysia dengan bahasa Melayu Palembang. Adapun dialek bahasa Melayu Palembang ini memiliki dua dialek bahasa, yaitu baso Palembang Alus dan baso Palembang Sari-Sari[4] .
Referensi
- ^ Kabupaten OKI Dalam Sejarah
- ^ Profil Kabupaten Ogan Ilir
- ^ "Palembang". Kamus Besar Bahasa Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. Diakses tanggal 5 Juni 2021.
- ^ "Kebudayaan Kota Palembang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-13. Diakses tanggal 2014-04-11.