Siti Manggopoh

pejuang perempuan dari Sumatera Barat
Revisi sejak 15 Juni 2021 17.36 oleh Urang Kamang (bicara | kontrib) (Nama yang betul sesuai prasasti makam pahlawan Perang Manggopoh)

Siti Manggopoh (lahir di Manggopoh, Agam, Hindia Belanda, Mei 1880 - meninggal di Gasan Gadang, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 1965 pada umur 85 tahun) adalah seorang pejuang perempuan dari Manggopoh, Lubuk Basung, Agam. Ia pernah mengobarkan perlawanan terhadap kolonialis Belanda dalam perang yang dikenal sebagai Perang Belasting.[3][4][5]

Siti Manggopoh
LahirMei 1880
Hindia Belanda Manggopoh, Hindia Belanda
Meninggal22 Agustus 1965 (umur 85)
Indonesia Gasan Gadang, Batang Gasan, Padang Pariaman, Sumatra Barat
Dikenal atasPemimpin Perang Belasting
Suami/istriHasik Bagindo Magek[1][2]
Orang tuaSutan Tariak (ayah)
Mak Kipap (ibu)

Riwayat

 
Kompleks Makam Pejuang Perang Manggopoh

Pada tahun 1908, Siti melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau, karena tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau. Pada tanggal 16 Juni 1908, Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini, sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh. Perang ini kemudian dinamai Perang Belasting.

Dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Sebagai perempuan, Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Ia memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka.

Ia pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Konflik batin tersebut adalah antara rasa keibuan yang dalam terhadap anaknya yang erat menyusu di satu pihak dan panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda di pihak lain. Namun ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat.

Tanggung jawabnya sebagai ibu dilaksanakan kembali setelah melakukan penyerangan. Bahkan anaknya, Dalima, dia bawa melarikan diri ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta ketika ia ditangkap dan dipenjara 14 bulan di Lubuk Basung, Agam, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Mungkin karena anaknya masih kecil atau karena alasan lainnya, akhirnya Siti Manggopoh dibebaskan. Namun suaminya dibuang ke Manado.

Referensi

Pranala luar