Malaikat jatuh
Dalam agama-agama ibrahimi, malaikat jatuh adalah malaikat yang terusir dari surga. Istilah "malaikat jatuh" tidak terdapat di dalam Alkitab maupun kitab suci agama-agama ibrahimi lainnya, tetapi digunakan untuk menyifatkan malaikat-malaikat yang tersingkir dari surga[1] atau malaikat-malaikat berdosa. Malaikat-malaikat semacam itu kerap menggoda umat manusia untuk berbuat dosa.
Gagasan malaikat jatuh berasal dari Kitab Henokh, sebuah pseudopigraf Yahudi, maupun dari asumsi bahwa "anak-anak Allah" (bahasa Ibrani: בני האלוהים, bənê haĕlōhîm) yang disebutkan dalam Kejadian 6:1–4 adalah malaikat-malaikat. Pada kurun waktu menjelang penyusunan kitab suci Perjanjian Baru, beberapa sekte Yahudi dan banyak bapa Gereja, menafsirkan frasa "anak-anak Allah" di dalam Kejadian 6:1–4 sebagai malaikat-malaikat jatuh. Para pemuka agama Yahudi Rabani maupun agama Kristen selepas abad ke-3 menolak kitab-kitab Henokh maupun anggapan bahwa perkawinan menyimpang di antara malaikat-malaikat dan anak-anak perempuan manusia menghasilkan para raksasa. Dokrin Kristen menandaskan bahwa dosa malaikat-malaikat jatuh sudah berdosa sebelum manusia diciptakan. Oleh karena itu, malaikat-malaikat jatuh diidentikkan dengan malaikat-malaikat pengikut Setan yang memberontak melawan Allah, dan dianggap sama dengan roh-roh jahat. Meskipun demikian, menjelang berakhirnya zaman Haikal Kedua, roh-roh jahat dianggap bukan malaikat-malaikat jatuh melainkan arwah raksasa-raksasa keturunan mereka. Menurut alur penafsiran ini, malaikat-malaikat jatuh menghampir anak-anak perempuan manusia, sehingga lahirlah suatu kaum yang disebut "orang-orang raksasa" di dalam Alkitab. Untuk membersihkan dunia dari makluk-makhluk hibrida tersebut, Allah menurunkan Air Bah yang membinasakan jasad mereka. Meskipun jasadnya sudah binasa, arwahnya terus bergentayangan sebagai roh-roh jahat.
Bukti-bukti kepercayaan akan adanya malaikat-malaikat jatuh di kalangan umat Islam dapat dirunut sampai pada laporan-laporan yang dinisbatkan kepada para sahabat Muhammad, misalnya Ibnu Abbas (619–687) dan Abdullah bin Mas'ud (594–653).[2] Pada saat yang sama, sejumlah ulama Islam menentang gagasan malaikat jatuh dengan pernyataan bahwa malaikat adalah makhluk-makhluk yang saleh menurut ayat-ayat Alquran, misalnya ayat ke-49 Surah An Nahl dan ayat ke-6 Surah At Tahrim, meskipun tak satu pun ayat yang menandaskan bahwa para malaikat kebal terhadap dosa.[3]
Referensi
- ^ "Mehdi Azaiez, Gabriel Said Reynolds, Tommaso Tesei, Hamza M. Zafer The Qur'an Seminar Commentary / Le Qur'an Seminar: A Collaborative Study of 50 Qur'anic Passages / Commentaire collaboratif de 50 passages coraniques Walter de Gruyter GmbH & Co KG ISBN 978-3110445459 Q 72
- ^ Mahmoud Ayoub The Qur'an and Its Interpreters, Jilid 1 SUNY Press 1984 ISBN 978-0873957274 hlm. 74
- ^ Valerie Hoffman The Essentials of Ibadi Islam Syracuse University Press 2012 ISBN 978-0815650843 hlm. 189