Mustafa Sjarief Soepardjo

personel militer Indonesia
Revisi sejak 23 Juni 2021 07.00 oleh Urang Kamang (bicara | kontrib) (+foto)

Brigjen. Mustafa Sjarief Soepardjo atau Soepardjo (23 Maret 1923 – 16 Mei 1970) adalah Komandan TNI Divisi Kalimantan Barat yang memiliki peran penting dalam peristiwa Gerakan 30 September. Brigjen Soepardjo berasal dari Divisi Siliwangi. Ketika Operasi Dwikora Soepardjo menjabat sebagai Pangkopur-II yang memimpin Komando Tempur Dua di bawah KOLAGA melawan Malaysia di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ia berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat.[1]

Brigjen Soepardjo

Karier Militer

Brigjen Soepardjo bernama lengkap Mustafa Sjarif Soepardjo merupakan Komandan TNI Divisi Kalimantan Barat dan pernah mengikuti sekolah pelayaran calon Bintara AL Jepang di Cilacap. Ia masuk TNI setelah Indonesia merdeka dan Soepardjo bertugas di perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia, sebagai Panglima Komando Tempur II dalam Komando Mandala Siaga (Kolaga). Sebelumnya, Soepardjo pernah belajar setahun di Sekolah Staf Tentara Pakistan di Quetta. Sopardjo juga merupakan mantan Komandan Resimen Divisi Siliwangi yang ditempatkan di Jawa Barat.

Peran dalam Gerakan 30 September

Menjelang 30 September, Brigjen Soepardjo terbang dari Kalimatan khusus ke Jakarta untuk ikut serta dalam gerakan September 1965 tersebut. Dia yang melaporkan penangkapan jenderal-jenderal kepada Soekarno. Dia juga yang mendapat perintah Soekarno untuk menghentikan gerakan dan menghindari pertumpahan darah. Tengah hari 1 Oktober 1965, Brigjen Soepardjo membawa amanat itu pulang ke Cenko II yang bertempat di rumah Sersan Udara Anis Suyatno, kompleks Lubang Buaya. Perintah itu didiskusikan oleh para pimpinan pelaksana gerakan September 1965. Brigjen Soepardjo dan pasukan Diponegoro, terlibat pertempuran bersenjata melawan pasukan RPKAD yang menyerang mereka.

Bersama Sjam dan Pono, Brigjen Soepardjo menyelamatkan diri ke rumah Pono di Kramat Pulo, Jakarta. Kemudian mereka menemui Sudisman di markas darurat CC PKI. Setelah tertangkap, Brigjen Soepardjo langsung diamankan ke RTM untuk kemudian diadili dan dijatuhi hukuman mati. Berbeda dengan Sjam yang ditempatkan di ruang VIP dalam tahanan militer, eks Brigjen Soepardjo berbaur dengan tapol lainnya. Seorang mantan tapol yang biliknya berdekatan dengan Soepardjo memberikan kesaksian, ketika esoknya akan dihukum mati, malamnya Soepardjo sempat mengumandangkan adzan. Kumandang adzan itu sempat membuat hati para sebagian penghuni penjara yang mendengarkan tersentuh dan merinding.[2]

Tertangkapnya Brigjen Soepardjo

Brigjen Soepardjo tertangkap di hari lebaran. Menjelang hari Lebaran, Panglima Kodam V/Jaya Brigjen Amirmachmud mendapat tugas khusus. Perintah datang langsung dari Panglima Kostrad merangkap pimpinan sementara TNI AD Letjen Soeharto. Sang buronan adalah perwira berpangkat Brigadir Jenderal, pangkat tertinggi seorang tentara yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Bersama Letnan Kolonel Oentoeng Sjamsoeri dari Resimen Tjakrabirawa, dia dituding ikut merancang penculikan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Tercatat sejak Oktober 1965, Soepardjo telah masuk daftar buruan Kodim 0501/Jakarta Pusat. Untuk meringkus Soepardjo secepatnya, Panglima Kodam V/Jaya Amirmachmud menggelar operasi intelijen. Tim khusus dibentuk dalam operasi bersandi “kalong”. Dinamakan demikian karena tim operasi bergerak malam hari, seperti kalong. Operasi Kalong dipimpin oleh Kapten Cpm Suroso. Personelnya berasal dari Kompi Raiders Kodam V Jaya yang dipersiapkan sebagai pasukan tempur. Selain itu, kelompok pengintai di bawah pimpinan Pembantu Letnan M. Afandi bertugas mencari informasi persembunyian Soepardjo.[3]

Pada 10 Januari 1967, lokasi persembunyian Soepardjo diketahui berada di Komplek KKO Cilincing, Jakarta Utara. Salah seorang anggota KKO AL, Mayor KKO Adnan Suwardi menampung Soepardjo dikediamannya. Tim Operasi Kalong bergegas menyerbu ke Cilincing. Namun Soepardjo berhasil melarikan diri menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pagi hari menjelang subuh 12 Januari 1967, Tim Operasi Kalong bergerak ke arah Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pasukan memasuki komplek perumahan AURI pukul 05.30. Dalam penggeledahan, Soepardjo berhasil ditangkap di loteng rumah Kopral Udara Sutardjo. Soepardjo terpaksa turun dari loteng setelah seorang pasukan penangkap mengancam akan menembaknya. Selain Soepardjo turut terciduk Anwar Sanusi, seorang penulis buku pelajaran sejarah dan anggota PKI.

Kabar teringkusnya Soepardjo sampai kepada Panglima Kodam V/Jaya Brigjen Amirmachmud pada siang hari. Berita itu dilaporkan Letnan Kolonel Soedjiman ketika Brigjen Amirmachmud selesai sholat Ied di lapangan Banteng. Pada 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, seluruh keluarga Soepardjo berkumpul untuk terakhir kali dalam suasana hangat. Semula Soepardjo meminta agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan keluarga, niat itu urung dilaksanakan.[4]

Referensi