Cincin pernikahan

cincin jari yang mengindikasikan penggunanya menikah
Revisi sejak 24 Juni 2021 02.53 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>"))

Cincin pernikahan adalah salah satu simbol di dalam pernikahan menurut tradisi Kristen Barat.[1] Pertukaran cincin pernikahan di dalam prosesi pernikahan dilakukan pada saat pengucapan komitmen kedua mempelai untuk menjalani kehidupan bersama.[1] Meskipun demikian, cincin pernikahan bukanlah simbol utama sebab yang terpenting adalah pengucapan komitmen antara kedua mempelai tersebut.[1] Pertukaran cincin pernikahan tersebut adalah simbol sekunder yang boleh ditiadakan.[1]

Cincin pernikahan emas putih


Latar Belakang Sejarah

Abad ke-1 hingga Abad ke-9

Pemberian cincin semula berasal dari upacara pertunangan Romawi sejak abad pertama Masehi.[2] Upacara pertunangan tersebut berisi pernyataan tentang janji untuk menikah pada masa depan.[2] Pada masa itu, keterlibatan tradisi setempat masih kuat di dalam kekristenan yang tengah berkembang sehingga banyak unsur-unsur tradisi setempat yang masuk ke dalam ritus pernikahan Kristen.[2] Salah satu unsur tradisi Romawi yang masuk ke dalam ritus pernikahan Kristen adalah prosesi pertukaran cincin pernikahan.[2] Di dalam suatu garis besar tata pernikahan yang dibuat gereja pada abad ke-9, prosesi pemasangan cincin dalam pernikahan telah tercantum di dalamnya.[3]

Abad ke-10 hingga Abad ke-11

Di dalam abad ke-10 dan ke-11 terdapat penambahan di dalam prosesi pemasangan cincin, yaitu pemasangan cincin disertai dengan pemberian berkat pada cincin.[4] Mempelai pria memasangkan cincin kepada mempelai wanita seraya berkata,"Dia (menyebutkan nama mempelai perempuan) yang mengenakan cincin ini boleh berada di dalam damai, kehidupan, bertumbuh di dalam kasih, dan dikaruniakan umur panjang."[4] Dengan demikian seolah-olah cincin memiliki makna dalam pernikahan sebagaimana konsekrasi roti dan anggur dalam Ekaristi.[4]

Gereja-gereja Ortodoks Timur mempertahankan prosesi pertukaran cincin, seperti pertukaran janji dan cincin di ruang depan.[2] Dengan demikian, jikalau pada abad ke-10 dan ke-11 cincin menjadi simbol berkat, maka pada gereja-gereja Ortodoks Timur, cincin menjadi simbol ikatan kedua mempelai melalui janji pernikahan.[2]

Abad ke-16 hingga Kini

Pada masa Reformasi Gereja, muncul rumusan lain yang berasal dari Martin Luther, yaitu "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia".[2] Ibadah pernikahan di gereja-gereja Protestan Indonesia hingga kini sebagian besar memakai rumusan ini atau yang serupa dengan ini.[2]

Walaupun cincin banyak digunakan dalam liturgi pernikahan, tetapi bukan berarti semua gereja menyetujui penggunaan cincin dalam liturgi pernikahan.[2] Kaum Puritan pada abad ke-17 menolak penggunaan cincin pernikahan.[2] Mereka keberatan terhadap prosesi pertukaran cincin, dan juga unsur-unsur lain di dalam ibadah, sehingga menghilangkan prosesi tersebut dari ibadah pernikahan.[2] Akan tetapi, sebagian besar unsur-unsur tersebut dipulihkan kembali pada tahun-tahun berikutnya.[2] Keberatan tersebut wajar mengingat tujuan mereka adalah "memurnikan" Gereja Inggris pada saat itu dengan cara menyingkirkan segala hal yang berbau Romawi.[2] Pada abad ke-18, John Wesley juga menghapus ritus penyerahan mempelai dan pemberian cincin.[2] Akan tetapi, para penerus John Wesley memulihkan kedua ritus tersebut.[2]

Fungsi Simbolik Cincin Pernikahan

Simbol berfungsi menghadirkan masa lalu pada masa kini.[5] Dengan demikian, melalui cincin pernikahan pasangan suami-istri dapat mengingat cinta yang terjalin dan makna pernikahan yang telah mereka jalani.[5] Cincin pernikahan tidak menjamin cinta dan kesetiaan suami-istri, tetapi cincin pernikahan menjadi simbol yang senantiasa mengingatkan dan membahasakan kerinduan mereka untuk selalu memperdalam cinta kepada pasangannya.[5] Secara populer ada makna-makna lain yang diberikan kepada cincin pernikahan, misalnya sebagai penanda akan status pemakainya selaku suami-istri, atau perlambang ikatan pernikahan yang tiada akhirnya seperti bentuk cincin yang bulat dan tak berujung.

Referensi

  1. ^ a b c d (Inggris)George R. Szews. 1983. We Will Celebrate a Church Wedding. Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia)James F. White. 2002. Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 282-286.
  3. ^ Rasid Rachman. 1999. Pengantar Sejarah Liturgi. Tangerang: Bintang Fajar. Hal. 82.
  4. ^ a b c (Inggris)Kenneth Stevenson. 1982. Nuptial Blessing: A Study of Christian Mariage Rites. London: Alcuin SPCK, p. 66-67.
  5. ^ a b c Warsito Djoko Sudibya. 1995. Aneka Simbol. Jakarta: Obor. Hal. 4.