S. aureus Dalam Susu Sapi
Pendahuluan
Susu sapi merupakan salah satu produk peternakan yang mengandung banyak nutrisi. Susu dianggap sebagai pelengkap gizi dalam proses tumbuh kembang anak. Namun rendahnya higienitas di peternakan menyebabkan susu seringkali dicemari oleh bakteri. Menurut Winarso (2008), salah satu potensi bahaya yang terdapat pada susu dan berbagai produk olahannya adalah bahaya mikrobiologis (microbial hazard), khususnya keberadaan bakteri pathogen. Penelitian yang dilakukan Sugiri dan Anri (2014) menunjukkan 83,56% sampel yang diperiksa di wilayah Jawa Barat (Lembang, Pangalengan, Cianjur) mengandung bakteri (S. aureus, S. agalatiae dan bakteri lainnya) penyebab mastitis.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri pathogen penyebab peradangan pada ambing atau mastitis. Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab utama mastitis pada sapi dan kejadian mastitis sering diasosiasikan dengan infeksi S. aureus (Fajar Budi Lestari dan Siti Isrina. O. S, 2015). Infeksi mastitis diawali dari kondisi peternakan yang tidak higienis sehingga mendukung perkembangan bakteri Staphylococcus aureus. Salah satu faktor virulensi yang penting dalam proses infeksi awal mastitis pada sapi adalah protein-A dari S. aureus (Budiarto dan Effendi, 2008). Menutut Suarsana (2005), peran protein-A sebagai faktor virulensi yaitu sebagai sarana adesi atau perlekatan bakteri dan kolonisasi, perusakan sel inang, antifagosit dan menurunkan respons imun.
Selain itu, S. aureus juga terdapat pada susu dan produk olahannya. Kontaminasi Staphylococcus aureus dalam susu tidak menyebabkan perubahan fisik pada susu, sehingga sering kali keberadaannya tidak disadari oleh konsumen. Menurut Saleh (2004) dalam Miskiyah (2011), Kandungan nilai gizi yang tinggi menyebabkan susu merupakan media yang sangat disukai oleh mikroba untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu dapat menjadi tidak layak dikonsumsi bila tidak ditangani dengan benar.
S. aureus merupakan bateri Gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk menggerombol yang tidak teratur seperti anggur. Pertumbuhan S. aureus terjadi dengan cepat pada beberapa tipe media serta aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari warna putih hingga gelap. S. aureus tumbuh denganbaik pada berbagai media bakteriologi dengan suasana aerobic atau mikroaerofilik serta tumbuh dengan cepat pada temperature 20-35°C.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2011, batas maksimum cemaran Staphylococcus aureus pada susu sapi segar adalah 1 x 102 cfu/ml. Penelitian Darmansyah (2011) melaporkan bahwa rataan jumlah Staphylococcus aureus pada sampel susu di Kabupaten Bogor sangat tinggi, yaitu 1,2 x 102 cfu/ml.
Karakteristik S. aureus
Klasifikasi Staphylococcus aureus :
Kingdom : Protozoa
Divisio : Schyzomycetes
Class : Schyzomycetes
Ordo : Eubacterialos
Family : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus (Salle, 1961)
S. aureus merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan pada kulit manusia, selaput lendir pada mulut, hidung, saluran pernafasan, saluran pencernaan, selain itu juga dapat ditemukan dalam air, tanah, susu, makanan dan udara. S. aureus berbentuk bulat dan terlihat seperti untaian buah anggur ketika diamati dengan mikroskop.
S. aureus merupaka sel yang berbentuk bulat dengan ukuran diameter 0,7-1,2 mikrometer, tersusun dalam koloni yang tidak teratur (pada biakan sering terlihat kokus yang tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai), S, aureus dapat tumbuh pada keadaan aerob sampai anaerob fakultatif, namun pertumbuhan yang terbaik pada kondisi aerob. Pertumbuhan optimal S. aureus terjadi pada suhu 35°C-40°C dan paling cepat pada suhu 37°C, dengan pH optimal 7,0-7,5.
S. aureus dapat memfermentasi karbohidrat antara lain : glukosa, dekstrosa, mannitol, sukrosa dan laktosa serta dapat menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas. S.aureus menghasilkan enzim koagulase dan enzim katalase yang bersifat hemolitik, mereduksi nitrat menjadi nitrit. S. aureus relative resistan terhadap pengeringan, panas (S. aureus tahan pada suhu 50°C selama 30 menit) dan NaCl 7-8%. S. aureus juga menghasilkan enterotoksin yang dalam jumlah tertentu akan meracuni tubuh dan menyebabkan gastroenteteritis atau radang mukosa usus..
Menurut Spicer (2000) S. aureus mempunyai 4 karakteristik khusus, yaitu faktor virulensi yang menyebabkan penyakit berat pada normal hast, faktor differensiasi yang menyebabkan penyakit yang berbeda pada sisi atau tempat berbeda, faktor persisten bakteri pada lingkungan dan manusia yang membawa gejala karier, dan faktor resistensi terhadap berbagai antibiotic yang sebelumnya masih efektif.
Patogenisitas S. aureus
Menurut Warsa (1994) dalam Sri Agung. F.K. (2009), sebagian bakteri Staphylococcus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Selain itu, bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang pathogen bersifat invasive, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan mannitol.
Menurut Sri Agung. F.K. (2009). Infeksi yang disebabkan oleh S.aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S.aureus diantaranya adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, phlebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomyelitis, dan endocarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosocomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et. al., 1994; Warsa, 1994).
Keracunan makanan yang disebabkan oleh kontaminasi enterotoksin dari S. aureus, waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan adalah 1,0 µg/gr makanan (Sri Agung. F.K. (2009). Gejala keracunan ditandai dengan mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan, et. al., 1994; Jawetz, et. al., 1995).
S. aureus akan sangat bergantung pada kepekaan setiap individu terhadap toksin, jumlah makanan tercemar yang dikonsumsi dan status kesehatan individu tersebut. Pada umumnya makanan dapat tercemar dibawah suhu 4°C. Gejala yang paling umum akibat keracunan enterotoksin adalah mual, muntah, kram pada perut (abdomen) dan diare. Pada tingkatan yang lebih parah terjadi sakit kepala, kram otot, peningkatan denyut nadi, perubahan tekanan darah dan kadang-kadang sampai pingsan. Cara untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan mengganti cairan, garam dan mineral yang hilang akibat diare dan muntah (Todar, 2005).
Faktor Virulensi S. aureus
S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya :
a. Katalase
Katalase merupakan enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus dari Streptococcus (Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).
b. Koagulase
Koagulase merupakan protein ekstraseluler yang dihasilkan oleh S. aureus yang dapat menggumpalkan plasma dengan bantuan faktor yang terdapat dalam serum (Fajar. B.L dan Siti Isrina. O. S, 2015). Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis (Warsa, 1994). Staphylococcus aureus mempunyai dua macam koagulase, yaitu (Sari Wijayanti, 2009) :
1) Koagulase terikat atau faktor penjendalan yang terikat pada dinding sel bakteri. Bila suspensi bakteri dicampur dengan plasma maka enzim tersebut dapat mengumpulkan fibrin yang ada di dalam plasma membentuk deposit pada permukaan selnya. Kemampuan ini diduga untuk menghindarkan sel dari serangan sel fagosit hospes. Koagulase ini dapat dideteksi dengan slide test. Tes ini dilakukan untuk uji cepat atau screening.
2) Koagulase bebas merupakan enzim ekstraseluler yang juga dapat menjendalkan fibrin. Koagulase ini dapat dideteksi dengan uji tabung yang memberikan hasil lebih baik daripada slide test (Anonim, 2006).
c. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisin. Alfa hemolisin merupakan toksin yang bertanggungjawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium darah, toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia.
Beta hemolisin yaitu toksin yang terutama dihasilkan Staphylococcus yang di isolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin merupakan toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Warsa, 1994).
d. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam pathogenesis pada manusia tidak jelas, karena Staphylococcus pathogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis (Jawetz et. al., 1995).
e. Toksin Eksfoliatif
Toksin eksfoliatif mempunyai proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyabab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai melepuhnya kulit (Warsa, 1994).
f. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penerita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini dapat menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisystem organ dalam tubuh (Ryan, et al., 1994; Jawetz et al., 1995).
g. Enterotoksin
Enterotoksin merupakan enzim yang tahan terhadap panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan di dalam usus. Enzim ini merupakan penyabab utama dalam keracunan makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et al., 1995).
Syarat Kualitas Susu Sapi
Syarat kualitas susu segar di Indonesia ada dalam Standart Nasional Indonesia (SNI 01-3141-1992), dimana pemeriksaan cemaran mikroba dalam susu segar meliputi uji pemeriksaan dengan angka lempeng total (batas maksimum mikroba 3,0 x 106 koloni/ml), Escherichia coli (maksimum 10/ml), Salmonella (tidak ada), Staphylococcus aureus (maksimum 102 koloni/ml) (Sari Wijayanti, 2009). Adapun syarat susu yang baik adalah sebagai berikut :
- Jumlah bakteri sedikit.
- Mempunyai nilai gizi yang tinggi.
- Tidak ada perubahan cita rasa khas susu.
- Bebas dari baktri pathogen dan substansi-substansi yang bersifat racun.
- Bebas dari spora-spora dan mikroorganisme penyebab penyakit.
- Bersih, bebas dari debu atau kotoran-kotoran yang lain.
- Tidak dikurangi atau ditambahkan bahan-bahan lainnya.
Sumber Referensi
- Aprilia, P. R., Santoso, S. A. B., & Harjanti, D. W. (2016). Jumlah Staphylococcus aureus dan kandungan nutrien susu akibat dipping puting menggunakan ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) pada sapi perah penderita mastitis subklinis. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan (Indonesian Journal of Animal Science), 26(1), 43-51.
- Agung Fitri Kusuma, Sri. (2009). Staphylococcus aureus. Jatinangor, Apt Fakultas Farmasi. Universitas Padjajaran.
- Cahyono, D. (2013). Kajian Kualitas Mikrobiologis (Total Plate Count (Tpc), Enterobacteriaceae Dan Staphylococcus Aureus) Susu Sapi Segar Di Kecamatan Krucil Kababupaten Probolinggo (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
- Herlina, N. F., Afiati, A. D., Cahyo, P. D., Herdiyani, Q., & Tappa, B. (2015). Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus dari Susu Masitis Subklinis di Tasikmalaya, Jawa Barat. In Prosesing Seminar Nasional Masyarakat Biodiversi Indonesia (Vol. 1, No. 3, pp. 413-417).
- Lestari, F. B., & Salasia, S. I. O. Karakterisasi Staphylococcus aureus Isolat Susu Sapi Perah Berdasar Keberadaan Protein-A pada Media Serum Soft Agar terhadap Aktivitas Fagositosis Secara In Vitro. Jurnal Sain Veteriner, 33(2), 2-3.
- Miskiyah, M. (2011). Kajian standar nasional Indonesia susu cair di Indonesia. Jurnal Standardisasi, 13(1), 1-7.
- Wasitaningrum, I. D. A. (2009). Uji resistensi bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dari isolat susu sapi segar terhadap beberapa antibiotik (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
- Wijayanti, S. (2009). Identifikasi dan Pemeriksaan Jumlah Total Bakteri Susu Sapi Segar dari Koperasi Unit Desa di Kabupaten Boyolali (Doctoral dissertation, Univerversitas Muhammadiyah Surakarta).
- Tamam, Mh. Badrut. (-). Ciri-Ciri Morfologi Bakteri Staphylococcus aureus. [Online]. Tersedia : https://generasibiologi.com/2016/10/ciri-ciri-morfologi-bakteri-staphylococcus-aureus.html. (internet). (01 Juni 2021).