Hak Penyandang Disabilitas
Kelompok minoritas dimanapun berada sangat dekat dengan perlakuan diskriminatif. Tindakan diskriminatif baik berupa perkataan maupun perbuatan. Salah satu bagian dari kelompok minoritas yang ada adalah kelompok penyandang disabilitas. Kata “penyandang” menurut Kamus Besar bahasa indonesia (KBBI) diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu, kata disabilitas merupakan kata bahasa indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.[1] Sebagai bagian dari masyarakat umunya, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama. Hak tersebut meliputi hak hidup, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak berumah tangga, hak politik, serta hak pembangunan. Data menunjukkan jumlah disabilitas di Indonesia saat ini menacapai angka 12 persen sebagaimana survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).[2] Angka tersebut terbagi dalam beberapa kategori, baik dari jenis kelamin, dan tingkat disabilitas (sedang dan berat). Permasalahan hak disabilitas tidak hanya di alami oleh Indonesia, dikarenakan isu ini merupakan isu global. Beberapa langkah masyarakat internasional untuk pemajuan pemenuhan hak penyandang disabilitas terus diupayakan. Pengakuan hak bagi penyandang disabilitas oleh masyarakat internasional dengan memulai gerakan tahun 1982 tidak berhenti hingga tahun 1993 dengan melibatkan peran serta persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara-negara peserta juga didorong untuk memperbaiki arah kebijakannya untuk lebih meningkatkan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas. Pada pertemuan para ahli yag diadakan di Boalt Hal School of Law pada tanggal 8-12 desember 1998 mengemukakan dua pendekatan yang selama ini terdapat dalam isu HAM penyandang cacat. 1. Pendekatan pertama yang di pandang tradisional yakni yang memandang penyandang cacat bukanlah sebagai bagian dari isu kesehatan dan kesejahteraan. Sehingga segala bentuk tindakan baik yang ditunjukkan bagi mereka hanyalah sebatas dalam bentuk dorongan moralitas atau kemurahan hati. Anggapan ini tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa kecacatan seseorang adalah sesuatu yang “abnormal, yang patut dikasihani dan diperdulikan”. 2. Pendekatan kedua adalah pendekatan yang berupaya untuk menolak penggunaan sikap paternalistic dan mempatonisasi para penyandang cacat tapi dengan memandangnya melalui model medis yang sebagai konsekuensinya memandang mereka sebagai bagian dari anggota komunitas dengan hak-hak yang setara.[3] Salah satu langkah yang di lakukan adalah memberikan perlindungan hukum dalam pemenuhan hak dengan meratifikasi berbagai instrument HAM Internasional khususnya yang berkaitan dengan penyandang disabilitas, membentuk instrument hukum nasional hingga pada tingat daerah, serta melihat kebijakan negara-negara lainnya dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Tuntutan akan hak dan diadakannya sarana dan prasarana aksesibilitas fisik maupun non-fisik bagi penyandang disabilitas telah sering disuarakan oleh para aktivis Organisasi Penyandang Disabilitas (Disabled People Organisation). Sebagian hak sudah diupayakan dan direalisasikan oleh pemerintah, seperti: pembangunan sekolah luar biasa, dibangunnya fasilitas-fasilitas di beberapa gedung, penerjemah berita penyandang disabilitas rungu/tuli di televisi (sekarang justru ditiadakan), transportasi khusus disabilitas dan sebagainya, walaupun masih minim dan kadang tidak terurus.[4] Dorongan bagi daerah terus dilakukan karena dalam lingkup pemerintahan di daerah belum banyak tersedia peraturan daerah yang dapat memberikan perlindungan yang dimaksud salah satunya hak aksebilitas. Suatu perlindungan yang mencakup seluruh hak yang dapat diakses oleh masyarakat secara umum, yang sering disebut aksesibilitas. Pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia.[5] Momentum reformasi tahun 1998 membawa pengaruh yang cukup besar di dalam perubahan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia. Khususnya dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menambah Pasal 28 I- 28 J tentang HAM, yang semula pada naskah asli hanya mengatur tentang hak warga negara.[6] Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dimana Indonesia juga turut menandatanganinya. Sekalipun perubahan tersebut juga memuat aturan pembatasan. Namun ini menjadi capaian yang baik sejak Indonesia merdeka Tahun 1945. Penyandang disabilitas sekalipun tidak disebut secara tegas dalam UUD NRI tahun 1945, namun merupakan bagian dari manusia yang kedudukannya sama. Sebagaimanan prinsip dalam HAM yang universal, non diskriminasi, tidak dapat di pungkiri, tidak dapat di bagi dan tidak dapat dikurangi. Pemenuhan hak perlu adanya payung hukum, hal ini selaras dengan tujuan pembentukan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada intinya bahwa perwujudannya bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Baik manusia yang terlahir “normal” dan terlahir dengan “ketidaksempurnaan fisik atau mental”. Pada anak-anak disabilitas dibekali dengan pendidikan yang sama sehingga ketika tumbuh dewasa menjadi pribadi yang mandiri, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. Jangan sampai hanya berakhir dijalanan karna tidak memiliki pendidikan dan keahlian. Terserapnya penyandang disabilitas di usia kerja pada lapangan pekerjaan baik sebagai pegawai negeri maupun pekerjaan swasta. Keengganan perusahaan mempekerjakan penyandang disabilitas turut menambah jumlah disabilitas yang tidak terserap pada dunia kerja. Diberikannya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk aktif dalam dunia politik. Sebelum adanya ratifikasi atas CRPD banyak instrument-instrumen berkaitan dengan penyandang disabilitas. Dari Undang-Undang, Peraturan Menteri terkait hingga Peraturan Daerah. Undang-undang yang didalamnya juga menyinggung tentang penyandang disabilitas antara lain ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan. Kondisi ini membuktikan bahwa sesuangguhnya Indonesia memiliki cukup instrument perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas namun terhambat pada taraf implementasinya. Indonesia juga memiliki organisasi penyandang disabilitas salah satunya adalah Persatuan Penyandang disabilitas Indonesia, yang memiliki kantor perwakilan di berbagai daerah, salah satu yang dilakukannya adalah advokasi terhadap penyandang disabilitas agar hak-haknya dapat dipenuhi oleh pemerintah, serta melakukan penggalangan dana serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan penyandang disabilitas.[7]
Ragam dari penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, yaitu. 1. Penyandang disabilitas fisik, adalah adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil. 2. Penyandang disabilitas interlektual adalah adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome. 3. Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif 4. Penyandang disabilitas sensorik adalah adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara. Terdapat penyandang disabilitas ganda atau multi, yaitu penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-wicara dan disabilitas netra-tuli. Baik penyandang disabilitas fisik, mental ataupun ganda memiliki hak yang sama. Terkait dengan hak penyandang disabilitas, perlu diperhatikan tentang makna hak. Hak mulai menjadi perbincangan seiring timbulnya negara-negara nasional yang mempersoalkan hubungan negara dan warga negara.[8] Teori-teori yang berbasis pada hak memberikan justifikasi terhadap diutamakannya kepentingan pribadi dari pada kepentingan masyarakat. Hukum dirancang untuk sebanyak mungkin melindungi kepentingan individu sebagaimana yang dikemukakan Jeremy Bentham lewat utilitarianismennya. Hak juga merupakan sesuatu hal yang tak terpisahkan dari hakekat kemanusiaan itu sendiri. Menurut Lord Lloyd of Hamstead dan M.D.A. Freeman terdapat dua teori hakikat dari hak, yaitu teori kehendak yang menitikberakan kepada kehendak atau pilihan dan yang lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Dan teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum.[9] Menurut Paton bahwa esensi hak bukanlah kekuasaan yang dijamin oleh hukum, melainkan kekuasaan yang dijamin oleh hukum untuk merealisasikan suatu kepentingan, karena kehendak manusia tidak bekerja tanpa maksud apa-apa (in vacuo) tetapi menginginkan tujuan-tujuan tertentu yaitu kepentingan. Ronald Dworkin menyampaikan bahwa hak paling tepat dipahami sebagai yang paling tinggi atas justifikasi latar belakang bagi keputusan politis yang menyatakan suatu tujuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Dworkin menempatkan hak sebagai suatu yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun.[10] Komite ICESCR melalui General Comment no 5. Dalam Comment tersebut dinyatakan bahwa Komite mendorong Majelis Umum dan Komisi HAM untuk memonitor para negara peserta terkait dengan ketaatannya terhadap hak-hak orang cacat. Sekalipun tidak mengatur secara tegas tentang penyandang cacat namun Deklatasi Umum Hak Asasi Manusia ditunjukkan sekerangka bagi perlindungan atas hak-hak yang berada di dalamnya, termasuk hak bagi penyandang disabilitas dan di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, pada dasarnya mendorong partisipasi dan kebebasan yang lebih besar bagi semua individu dan golongan yang ada. Perlindungan terhadap ICESCR pun dapat ditemukan dalam Standar Rules, dimana Standar Rules ini sangat penting dan merupakan bimbingan yang berharga untuk mengidentifikasi secara tepat apa yang menjadi kewajiban para negara peserta. Dimana selaras dengan Kovenan Hak Atas Perlakuan Non Diskriminatif, dimana dalam pengertiannya hak ini harus meliputi penghapusan atas berbagai bentuk diskriminatif yang menjadi para penyandang cacat mampu berintegrasi dan menjalani hidup secara mandiri dan berdaulat.[11] Hak-hak lainnya adalah hak atas kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 1970-an dengan diundangkannya Deklarasi Orang dengan Cacat Mental pada tahun 1971 dan Deklarasi Hak-hak Penyandang Cacat (1975), membuat mengutamakan keberadaan penyandang disabilitas menjadi subyek dari deklarasi HAM. Dalam Deklarasi Mengenai Hak-Hak Para Penyandang Cacat mendefinisikan orang cacat sebagai “setiap orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, secara keseluruhan atau sebagian, sebagaimana layaknya individu normal dan/atau kehidupan sosial sebagai akibat dari kekuarangannya, baik bawaan lahir (congenital) atau tidak, dalam mental atau kemampuan fisiknya. Deklarasi ini mendorong agar organisasi-orgasisasi terkait (internasional maupun nasional yang bergerak di bidang advokasi terhadap penyandang disabilitas) harus diikutkan dalam semua hal yang berkaitan dengan hak-hak penyandang cacat. Penyandang cacat dan keluarganya harus diberi informasi mengenai hak-hak yang terkandung dalam Deklarasi. Adapun hak-hak tersebut meliputi hak-hak sipil dan politik sebagaimana dimiliki oleh warga negara lainnya, hak atas berbagai tindakan yang ditujukan supaya meraka menjadi mandiri, hak atas berbagai pelayanan seperti medis dan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian, hak untuk terlibat dalam pekerjaan yang bernilai komersial dan bergabung dengan serikat pekerja, dan hak atas perlindungan terhadap praktek eksploitatif.[12]
Adapun hak-hak penyandang disabilitas tersebut diperinci, yaitu:
- Hak atas aksesibilitas.
- Hak untuk hidup.
- Hak memperoleh jaminan perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, termasuk situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan, dan terjadinya bencana alam.
- Hak atas kesetaraan pengakuan di hadapan hukum.
- Hak atas akses terhadap keadilan
- Hak atas kebebasan dan keamanan.
- Hak atas kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
- Hak atas kebebasan dari eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan.
- Hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya.
- Hak untuk memperoleh dan mengubah kewarganegaraan.
- Hak untuk hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat.
- Hak atas mobilitas pribadi.
- Hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat serta akses terhadap informasi.
- Hak memperoleh penghormatan terhadap keleluasaan pribadi.
- Hak memperoleh penghormatan terhadap rumah dan keluarga.
- Hak atas pendidikan, kesehatan, habilitasi dan rehabilitasi.
- Hak atas pekerjaan dan lapangan kerja.
- ^ Sutami, Hermina (2009-10-01). "Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa; Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, 1701 pp. [First edition: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.] ISBN 978-979-22-3". Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia. 11 (2): 335. doi:10.17510/wjhi.v11i2.165. ISSN 2407-6899.
- ^ Amaliah, Henni; Hos, Jamaluddin; Tanzil, Tanzil (2020-12-13). "STRATEGI PENYANDANG DISABILITAS DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN SOSIAL EKONOMI (Studi Pada Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi Sulawesi Tenggara)". WELL-BEING: Journal of Social Welfare. 1 (2): 74. doi:10.52423/well-being.v1i2.16524. ISSN 2722-7960.
- ^ Sunyowati, Dina (2013-03-29). "HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di Indonesia)". Jurnal Hukum dan Peradilan. 2 (1): 67. doi:10.25216/jhp.2.1.2013.67-84. ISSN 2528-1100.
- ^ Ridlwan, Zulkarnain (2015-10-26). "PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PENYANDANG DISABILITAS (RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES)". FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum. 7 (2). doi:10.25041/fiatjustisia.v7no2.382. ISSN 2477-6238.
- ^ Ridlwan, Zulkarnain (2015-11-06). "Payung Hukum Pembentukan BUMDes". FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum. 7 (3). doi:10.25041/fiatjustisia.v7no3.396. ISSN 2477-6238.
- ^ Fatah, Abdul (2013-09-04). "GUGATAN WARGA NEGARA SEBAGAI MEKANISME PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA DAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA". Yuridika. 28 (3). doi:10.20473/ydk.v28i3.347. ISSN 2528-3103.
- ^ Setyadi, Stefanus Novian (2019-12-13). "MEMAKNAI PENDERITAAN DALAM KATEKESE PENGHARAPAN DILIHAT DARI KITAB AYUB". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-06-30.
- ^ Marzuki, Marzuki (2020-06-17). "HUKUM DAN PERADILAN DALAM MASYARAKAT MUSLIM PERIODE AWAL ISLAM". Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah dan Hukum. 14 (1): 1–12. doi:10.24239/blc.v14i1.518. ISSN 2579-9762.
- ^ Le Lay, Stéphane (2004). "« Comment loger les plus pauvres si l'on démolit les HLM ? » Bah, en reconstruisant !". Mouvements. 36 (6): 175. doi:10.3917/mouv.036.0175. ISSN 1291-6412.
- ^ LAÉ, Jean-François (2002-09-30). "La main courante en HLM et l'événement". Sociologie et sociétés. 28 (1): 177–188. doi:10.7202/001399ar. ISSN 1492-1375.
- ^ Koch, Raphael; Mrugalla, Finn (2018). The General Rules of Chinese Civil Law. Nomos Verlagsgesellschaft mbH & Co. KG. hlm. 117–130. ISBN 978-3-8452-9110-9.
- ^ Hiban, Muhammad Ibnu; Purnomo, Eko Priyo; Nurkasiwi, Aulia (2020-06-23). "Smart City dalam Memenuhi Hak-Hak Penyandang Difabel di Yogyakarta "Studi Kasus : Infrastruktur Transportasi Publik dalam Memenuhi Hak Penyandang difabel"". Jurnal Pemerintahan dan Politik. 5 (2). doi:10.36982/jpg.v5i2.1034. ISSN 2502-2032.