Pengguna:Altair Netraphim/Bookmark5

Ginonjing

Ginonjing adalah nama gending yang digemarin oleh R.A. Kartini dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata “gonjing” (goyah karena tidak seimbang), yang berarti goyah tanpa mengetahui yang membuatnya tidak seimbang. Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang dipakai ungkapan gonjang-ganjing. Ginonjing juga digunakan untuk memberi menamai emansipasi Kartini karena gending tersebut dipilih Kartini untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian dari zaman baru tersebut.

Emansipasi Kartini

ecara umum, ginonjing adalah emansipasi dan modernisme yang dilakukan oleh Kartini agar dia memberikan ritmenya sendiri kepada sesuatu yang secara universal disebut dengan zaman baru, zaman modern, dan zaman emansipasi. Namun, penanaman ini tidak dapat ditafsirkan seolah-olah pengalaman hidup Kartini (dengan ide-idenya) sepenuhnya datang dari dalam, tanpa pengaruh asing. Hal tersebut tidaklah mungkin. Berdasarkan idiom-idom yang dipakai, dapat diketahui asalnya pengaruh-pengaruh tersebut. Joost Coté sudah membahasnya di dalam buku berjudul Aku Mau... Nasionalisme dan Feminisme serta Surat-Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar. Penamaan itu hanya ingin menunjukkan seorang Kartini menelaah ide-ide emansipasi dari sahabat-sahabatnya yang berada di Eropa sesuai dengan situasi sesungguhnya.

Gending Ginonjing yang disebut dalam suratnya tertanggal 13 Januari 1900 dipakai Kartini untuk mengungkapkan "hubungannya" dengan zaman baru dan juga isi zaman baru itu sendiri. Pengalaman tersebut sarat dengan ketidakpastian bukan ketidakpastian yang harus dihindari, tetapi ketidakpastian yang harus menjadi risiko. Obsesinya kepada zaman modern sudah tidak bisa ditawar lagi, tetapi pada waktu yang sama dia melihat ketidakpastian nasib masa depan zaman baru itu.

Gamelan kaca yang ada di pendopo itu bisa bercerita padamu lebih banyak daripadaku. Mereka melagukan lagu kesayangan kami. Bukan sebuah lagu, juga bukan sebuah melodi, hanya suara-suara dan getaran-getaran lembut, berpadu dan mengalir begitu saja, tapi di saat yang sama terdengar begitu menenteramkan sukma, mengalir begitu syahdunya! Tidak, tidak, itu bukan semacam suara dari kaca, tembaga atau kayu; itu adalah suara jiwa-jiwa manusia yang sedang berbicara kepada kami, kadang gundah, kadang meratap dan sangat jarang tertawa bahagia. Dan jiwaku terbang terbawa bersama desiran suara-suara itu, suara gamelan, ke langit biru, melewati awan tipis, menerpa sinar gemintang bunyi gong bergaung keras membawaku ke lembah gulita, ke jurang yang dalam, melewati belantara yang tak terjamah manusia dan jiwa gemetar ketakutan, kesakitan dan perih !


Begitulah Kartini menyerahan dirinya pada gending Ginonjing untuk menjadi juru bicara yang paling bisa dipercaya bagi pengalaman batinnya saat itu. Pengalaman batin yang dimaksud adalah batin yang sedang gemetar ketakutan karena mendengar “suara jiwa-jiwa manusia yang sedang berbicara kepada kami, kadang gundah, kadang meratap dan sangat jarang tertawa bahagia.” Itulah yang terdengar Kartini saat mendengarkan gending Ginonjing. Selanjutnya, dia mengatakan :

Aku mendengar Ginonjing ribuan kali tapi tak ada satupun bunyi yang bisa kutirukan. Sekarang suara gamelan itu sudah berlabuh, aku juga tak bisa mengingat satu suara pun, semuanya hilang dari ingatanku, rintihan nsuara yang enyayat hatiku itu di saat yang sama terdengar sangat melankolis. Aku tidak bisa mendengarkan Ginonjing tanpa turut hanyut bersamanya. Aku hanya butuh mendengar musik awalnya saja lalu aku akan lengsung terbuai dalam pesonanya. Aku tak ingin mendengar lagu yang menyedihkan itu tapi ternyata, aku harus, aku harus, aku harus mendengar getarannya yang bercerita tentang masa silam dan masa datang seolah suara itu adalah getar napas gamelan yang berhembus menyingkap tirai penutup masa depanku. Dan seperti cerahnya hari, angan masa depanku sudah hilang sebelum benak mataku. Menggigil sendi tulangku, melihat sosok gelap yang bangkit di depanku. Aku mau melihat tapi mataku tetap terbelalak dan, di hadapan kakiku ternganga jurang dalam yang membuatku pening; tapi, jika aku tengadahkan kepalaku, terbentanglah bentaran langit biru atasku dan sinar emas sang surya yang membuai kapas awan putih dan terbitlah cahaya dalam hatiku sekali lagi !


Muram, sangat muram! Ginonjing memberikan sisi muram dari perjuangan Kartini yang selama ini dikenal sebagai seorang pahlawan yang gigih dan perkasa. Ia malah tidak mau melihat masa lalu dan masa depan. Masa lalu terlalu pedih untuk diteruskan dan masa depan terlalu suram untuk disambut. Ginonjing memaku Kartini tak bergerk di antara dua masa yang tak mau dilihatnya. Dia lebih senang terbang menghindarnya. Baru setahun kemudian Kartini mencoba bersikap realistis :

Perubahan akan datang di Bumiputera, jika bukan karena datang dari kami pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara sudah ditakdirkan. Dan siapapun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu rohani untuk melahirkan ‘yang baru’ harus menanggung derita. Ini adalah hukum alam : siapa yang melahirkan harus menanggung kesakitan saat melahirkan tetapi bayi yang kami semua cintai, bahkan sebelum yang lain menyangka kedatanganya, bayi yang menghampiri kami melalui luka derita itu, teramat sangat kami cintai.


Jadi gending Ginonjing menjadi gending emansipasi Kartini yang merasa tidak mampu melahirkan zaman baru. Ginonjing menjadi hiburan terakhir Kartini saat ia melihat jalan buntu. Derita yang dialami Kartini bukanlah derita orang yang sedang melahirkan melainkan yang sedang mengandung tanpa tahu sosok bayi yang akan lahir atau malah tidak tahu kalau sang bayi itu tidak akan mengalami aborsi.

           Kalau kita setuju bahwa emansipasi Kartini baru sampai pada tahap “ginonjing”, hal-hal baru apa saja yang sudah dilihat Kartini dan mengapa dia tidak mampu untuk melahirkannya, dan “kompromi” atau pembenaran apa yang ia berikan untuk menerima semuanya itu ? untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dimulai dengan mencari Jawab apa yang Kartini maksudkan dengan emansipasi, apa artinyaemansipasi bagi lembaga-lembaga yang ia saksikan seperti lembaga pemerintahan, pendidikan, dan keluarga. Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas sepintas saja mengingat sudah banyak yang membahasnya. Perhatian yang lebih besar akan diberikan pada apa artinya emansipasi pada bahasa dan pendidikan rasa.

Emansipasi sebagai semangat perubahan

“Barang siapa tidak berani, tidak akan mendapat apa-apa.” Kartini (6 November 1899)

Dalam surat-suratnya pada stella, Kartini mengaku bahwa dia sudah mendengar bisikan perubahan jauh sebelum dia mengenal kata “emansipasi” dari teman-temannya di Eropa. Jiwa emansipasi sudah lebih dahulu ia kenal daripada namanya. Dia hanya bisa memberi nama perubahan.

           Ada bisikan-bisikan yang menekan hatiku, membuahkan kerinduan akan perubahan untuk sebuah masa. Bisikan itu tidak hanya datang dari luar, dari mereka yang sudah beradap, dari benua Eropa namun sudah sejak ketika kata ‘emansipasi’ belum terdengar olehku, ketika kata itu belum punya arti bagiku, dan artikel-artikel dan buku-buku tentang hal itu masih jauh dari jangkauan, telah tumbuh dalam diriku kerinduan yang teramat kuat akan sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Keadaan dan situasi di sekeliling sungguh mengiris hatiku, membawa kepedihan yang dalam.


Jadi, Kartini menginginkan perubahan. Seluas mana dan secepat apa perubahan itu harus dilakukan hal itu menjadi pemikirannya yang tidak pernah henti. Yang pasti, perubahan itu harus mulai dari dirinya, dari lingkungannya. Ia siap mengambil risiko dalam perubahan itu. Obsei Kartini pda perubahan begitu kuat sampai dia siap bersembunyi dalam perubahan itu tidak perlu tampil. Dia juga terobsesi pada perubahan karena tanpanya dia akan terus menderita, orang lain juga. Demikianlah kerinduannya akan perubahan bersifat sosial. Isi perubahan itu kurang lebih ini :

           “perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesamanya.”


Itulah kurang lebih arah dari perubahan yang diimpikan oleh Kartini. Itulah arti emansipasi bagi seorang Kartini. Itulah ukuran yang baru yang dipakai Kartini untuk menilai hidupnya dan hidup orang lain.

           Perubahan itu kiranya juga sudah menjadi kehendak zaman Informasi yang ia terima dari pelbagai penjuru dunia hanya menegaskan bahwa perubahan itu sudah menjadi tuntutan banyak orang.