Ginonjing

 
R.A. Kartini.

Ginonjing adalah nama gending yang digemarin oleh R.A. Kartini dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata “gonjing” (goyah karena tidak seimbang), yang berarti goyah tanpa mengetahui yang membuatnya tidak seimbang. Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang dipakai ungkapan gonjang-ganjing. Ginonjing juga digunakan untuk menamai emansipasi Kartini karena gending tersebut dipilihnya sendiri untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian dari zaman baru tersebut.

Emansipasi Kartini

Gending Ginonjing sering dinyanyikan oleh ibu Kartini yang bernama M.A. Ngasirah. Lagu tersebut menceritakan kisah seorang ibu yang sedang menimang-nimang anaknya dan berharap kalau besar nantinya dapat berguna bagi masyarakat dan bangsanya.[1] Secara umum, ginonjing adalah emansipasi dan modernisme yang dilakukan oleh Kartini agar dia memberikan ritmenya sendiri kepada sesuatu yang secara universal disebut dengan zaman baru, zaman modern, dan zaman emansipasi. Namun, penanaman ini tidak dapat ditafsirkan seolah-olah pengalaman hidup Kartini (dengan ide-idenya) sepenuhnya datang dari dalam, tanpa pengaruh asing. Hal tersebut tidaklah mungkin.[2] Berdasarkan idiom-idiom yang dipakai, dapat diketahui asalnya pengaruh-pengaruh tersebut. Joost Coté sudah membahasnya di dalam buku berjudul Aku Mau... Nasionalisme dan Feminisme serta Surat-Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar. Penamaan itu hanya ingin menunjukkan seorang Kartini menelaah ide-ide emansipasi dari sahabat-sahabatnya yang berada di Eropa sesuai dengan situasi sesungguhnya.[3]

Gending Ginonjing – yang disebut dalam suratnya tertanggal 13 Januari 1900 dipakai Kartini untuk mengungkapkan "hubungannya" dengan zaman baru dan juga isi zaman baru itu sendiri. Pengalaman tersebut sarat dengan ketidakpastian bukan ketidakpastian yang harus dihindari, tetapi ketidakpastian yang harus menjadi risiko. Obsesinya kepada zaman modern sudah tidak bisa ditawar lagi, tetapi pada waktu yang sama dia melihat ketidakpastian nasib masa depan zaman baru itu.[4][5]

Gamelan kaca yang ada di pendopo itu bisa bercerita kepadamu lebih banyak daripadaku. Mereka melagukan lagu kesayangan kami. Bukan sebuah lagu, juga bukan sebuah melodi, hanya suara-suara dan getaran-getaran lembut, berpadu dan mengalir begitu saja, tetapi pada saat yang sama terdengar begitu menenteramkan sukma, mengalir begitu syahdunya! Tidak, tidak, itu bukan semacam suara dari kaca, tembaga, atau kayu; itu adalah suara jiwa-jiwa manusia yang sedang berbicara kepada kami, kadang gundah, kadang meratap, dan sangat jarang tertawa bahagia. Dan, jiwaku terbang terbawa bersama desiran suara-suara itu, suara gamelan, ke langit biru, melewati awan tipis, menerpa sinar gemintang – bunyi gong bergaung keras membawaku ke lembah gulita, ke jurang yang dalam, melewati belantara yang tidak terjamah manusia dan jiwa gemetar ketakutan, kesakitan, dan perih![2]

Begitulah, Kartini menyerahan dirinya kepada Gending Ginonjing untuk menjadi juru bicara yang paling bisa dipercaya bagi pengalaman batinnya saat itu. Pengalaman batin yang dimaksud adalah batin yang sedang gemetar ketakutan karena mendengar “suara jiwa-jiwa manusia yang sedang berbicara kepada kami, kadang gundah, kadang meratap, dan sangat jarang tertawa bahagia”.[6] Itulah yang terdengar olehnya saat mendengarkan Gending Ginonjing. Selanjutnya, dia mengatakan sebagai berikut.[2]

Aku mendengar Gending Ginonjing ribuan kali, tetapi tidak ada satu pun bunyi yang bisa kutirukan. Sekarang suara gamelan itu sudah berlabuh, aku juga tidak bisa mengingat satu suara pun, semuanya hilang dari ingatanku; rintihan suara yang menyayat hatiku itu pada saat yang sama terdengar sangat melankolis. Aku tidak bisa mendengarkan Gending Ginonjing tanpa turut hanyut bersamanya. Aku hanya butuh mendengar musik awalnya saja, lalu aku akan langsung terbuai dalam pesonanya. Aku tidak ingin mendengar lagu yang menyedihkan itu, tetapi ternyata, aku harus, aku harus, aku harus mendengar getarannya yang bercerita tentang masa silam dan masa datang, seolah suara itu adalah getar napas gamelan yang berembus menyingkap tirai penutup masa depanku. Dan seperti cerahnya hari, angan masa depanku sudah hilang sebelum benak mataku. Menggigil sendi tulangku, melihat sosok gelap yang bangkit di depanku. Aku tidak mau melihat, tetapi mataku tetap terbelalak dan di hadapan kakiku ternganga jurang dalam yang membuatku pening; tapi, jika aku tengadahkan kepalaku, terbentanglah bentangan langit biru atasku dan sinar emas sang surya yang membuai kapas awan putih dan terbitlah cahaya dalam hatiku sekali lagi![2]

Ginonjing memberikan sisi muram dari perjuangan Kartini yang selama ini dikenal sebagai seorang pahlawan wanita yang gigih.[7] Dia tidak mau melihat masa lalu dan masa depan. Masa lalu terlalu pedih untuk diteruskan dan masa depan terlalu suram untuk disambut.[8] Ginonjing memaku Kartini tidak bergerak di antara dua masa yang tidak mau dilihatnya. Dia lebih senang terbang menghindarnya. Baru setahun kemudian, Kartini mencoba bersikap realistis sebagai berikut.[2]

Perubahan akan datang di Bumiputera, jika bukan karena datang dari kami pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara – sudah ditakdirkan. Dan siapa pun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu rohani untuk melahirkan "yang baru" harus menanggung derita. Ini adalah hukum alam: siapa yang melahirkan harus menanggung kesakitan saat melahirkan, tetapi bayi yang kami semua cintai, bahkan sebelum yang lain menyangka kedatangannya, bayi yang menghampiri kami melalui luka derita itu, teramat sangat kami cintai.[2]

Jadi, Gending Ginonjing menjadi gending emansipasi Kartini yang merasa tidak mampu melahirkan zaman baru. Ginonjing menjadi hiburan terakhirnya saat dia melihat jalan buntu. Derita yang dialaminya bukanlah derita orang yang sedang melahirkan, melainkan yang sedang mengandung tanpa tahu sosok bayi yang akan lahir – atau malah tidak tahu kalau sang bayi itu tidak akan mengalami aborsi.[9] Emansipasi yang dilakukan oleh Kartini mungkin baru sampai di tahap ginonjing, tetapi hal-hal baru telah dilihatnya, meskipun dia sendiri tidak mampu untuk "melahirkan" kompromi atau pembenaran untuk menerima semua dogma-dogma agama (terutama agama Islam) dan tradisi-tradisi masyarakat adat.[10]

Emansipasi sebagai semangat perubahan

 
Surat Kartini - Rosa Abendanon (fragmen).

Melalui surat-suratnya yang ditujukan kepada Stella Zeehandelaar, Kartini mengaku bahwa dia sudah mendengar bisikan perubahan jauh sebelum dia mengenal kata “emansipasi” dari teman-temannya yang berada di Eropa. Jiwa emansipasi sudah lebih dahulu dikenalnya daripada namanya. Dia hanya bisa memberi nama: perubahan.

           Ada bisikan-bisikan yang menekan hatiku, membuahkan kerinduan akan perubahan untuk sebuah masa. Bisikan itu tidak hanya datang dari luar, dari mereka yang sudah beradap, dari benua Eropa namun sudah sejak ketika kata ‘emansipasi’ belum terdengar olehku, ketika kata itu belum punya arti bagiku, dan artikel-artikel dan buku-buku tentang hal itu masih jauh dari jangkauan, telah tumbuh dalam diriku kerinduan yang teramat kuat akan sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Keadaan dan situasi di sekeliling sungguh mengiris hatiku, membawa kepedihan yang dalam.


Jadi, Kartini menginginkan perubahan. Seluas mana dan secepat apa perubahan itu harus dilakukan hal itu menjadi pemikirannya yang tidak pernah henti. Yang pasti, perubahan itu harus mulai dari dirinya, dari lingkungannya. Ia siap mengambil risiko dalam perubahan itu. Obsei Kartini pda perubahan begitu kuat sampai dia siap bersembunyi dalam perubahan itu tidak perlu tampil. Dia juga terobsesi pada perubahan karena tanpanya dia akan terus menderita, orang lain juga. Demikianlah kerinduannya akan perubahan bersifat sosial. Isi perubahan itu kurang lebih ini :

           “perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesamanya.”


Itulah kurang lebih arah dari perubahan yang diimpikan oleh Kartini. Itulah arti emansipasi bagi seorang Kartini. Itulah ukuran yang baru yang dipakai Kartini untuk menilai hidupnya dan hidup orang lain.

           Perubahan itu kiranya juga sudah menjadi kehendak zaman Informasi yang ia terima dari pelbagai penjuru dunia hanya menegaskan bahwa perubahan itu sudah menjadi tuntutan banyak orang.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Khoiri, Agniya (21 April 2016). "Kartini Bukan Hanya Pahlawan Emansipasi". CNN Indonesia. Diakses tanggal 1 Juli 2021. 
  2. ^ a b c d e f Sunardi, St. (2012). Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika. Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 53–68. ISBN 978-602-8252-73-7. 
  3. ^ Kartini (2005). On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899–1903. Melbourne: Monash Asia Institute. hlm. 2. ISBN 978-187-6924-35-5. 
  4. ^ Suyono, Seno Joko (2020). Mengenang Anne Frank. Jakarta: Tempo Publishing. hlm. 110–111. ISBN 978-623-2625-82-2. 
  5. ^ Flamboyan, Evy (9 April 2006). "Sepotong Fragmen Putri Jepara". Koran Tempo. Diakses tanggal 1 Juli 2021. 
  6. ^ Murniati, A. Nunuk P. (2004). Getar Gender. Yogyakarta: Indonesia Tera. hlm. 15. ISBN 978-979-9375-27-8. 
  7. ^ Rinaldi, Willy (7 April 2009). "Agama Kartini". Kabar Indonesia. Diakses tanggal 1 Juli 2021. 
  8. ^ Supriyanto, Totok (15 November 2020). "Surat untuk Stella di Belanda 1900". Blora News. Diakses tanggal 1 Juni 2021. 
  9. ^ Maryanto, Daniel Agus (2003). R.A. Kartini: Pahlawan Emansipasi Wanita. Jakarta: Gramedia. hlm. 9–12. ISBN 978-979-7321-03-1. 
  10. ^ Roihan, Raiz Azmi (16 April 2020). "Gerakan Emansipasi Wanita: Dari Ketertinggalan Menuju Kesetaraan". IBTimes. Diakses tanggal 1 Juli 2021. 

Pranala luar