Penaklukan Kepulauan Banda oleh Belanda

kampanye militer oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda dari tahun 1609 hingga 1621

Penaklukan Kepulauan Banda oleh Belanda berlangsung dari 1609 hingga 1621 dan dilancarkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC, "Perusahaan Hindia Timur Belanda"). Penaklukan ini terkait dengan upaya VOC untuk menegakkan monopoli rempah-rempah di Kepulauan Banda. VOC dikejutkan oleh penolakan rakyat Banda terhadap upaya ini. Pembunuhan seorang pejabat Belanda yang bernama Pieter Willemsz. Verhoeff kemudian dijadikan alasan oleh VOC untuk memulai perang. Pada akhirnya Kepulauan Banda mengalami depopulasi akibat perang, kelaparan, serta pembantaian dan pengusiran yang dilancarkan oleh orang Belanda.

VOC, yang dibentuk pada 1602 dan merupakan hasil penggabungan 12 voorcompagnies, memiliki kepentingan di Nusantara yang merupakan sumber rempah-rempah. Rempah-rempah sangat menguntungkan untuk dijual di Eropa pada masa itu karena tidak dapat ditemui di tempat lain di Dunia. Orang Belanda sendiri sudah memulai kontak dengan Kepulauan Banda pada tahun 1599 dan telah menandatangani sejumlah perjanjian dengan para orang kaya di Banda. Begitu VOC mencoba menegakkan monopoli atas rempah-rempah dan melarang orang Banda menjual komoditas tersebut kepada orang lain, orang-orang Banda melawan. Dengan bantuan dari tentara bayaran Jepang, VOC kemudian melancarkan sejumlah ekspedisi militer ke Kepulauan Banda untuk menaklukkan wilayah tersebut.

Penaklukan ini berujung pada pembantaian Banda yang menewaskan 2.800 orang Banda, sementara terdapat 1.700 warga Banda yang diperbudak oleh orang Belanda. Akibat kelaparan dan pertempuran yang tiada henti, orang Banda merasa tidak dapat lagi melawan Belanda dan menawarkan untuk berdamai pada 1621. Pejabat VOC yang memimpin penaklukan ini, Jan Pieterszoon Coen, mengusir 1.000 orang Banda yang tersisa ke Batavia. Dengan dipadamkannya perlawanan rakyat Banda, VOC berhasil menguasai perdagangan rempah-rempah.

Latar belakang

Ekspedisi pertama yang dilancarkan oleh orang Belanda untuk menjelajahi Kepulauan Banda (serta Banten, Ternate, dan Ambon) dilancarkan oleh sebuah voorcompagnie Belanda pada 1 Mei 1598. Sebuah armada yang dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van Neck, Jacob van Heemskerck, dan Wybrand van Warwijck berlayar dan memulai kontak dengan penduduk Kepulauan Banda pada 1599. Heemskerck menandatangani sejumlah kontrak dengan orang kaya di Banda dan mendirikan sebuah pos perdagangan rempah-rempah.[4] Pada masa itu, pala dan fuli hanya dapat ditemui di Kepulauan Banda, sehingga mereka yang dapat menguasai perdagangan komoditas ini akan memperoleh keuntungan yang besar.[1]

Kampanye militer

Penyerbuan

Armada Perusahaan Hindia Timur Belanda (dikenal dengan singkatannya dalam bahasa Belanda, VOC) dari Batavia berlayar pada akhir tahun.[5] Armada tersebut terdiri dari 19 kapal, 1.655 bala tentara Eropa dan 286 bala tentara pembantu Asia, dan dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.[5] Pada 21 Februari 1621, armada ini tiba di Benteng Nassau, yang diperkuat oleh 250 garnisun tangguh dan 36 kapal pribumi.[6]

Setelah gagal merekrut orang Inggris dari Pulau Run dan Pulau Ay di dekatnya, Coen mulai mengirim para pengintai ke garis pantai Pulau Lontor, pulau Banda utama. Pengintaian itu memakan waktu dua hari, di mana beberapa kapal berada dalam tembakan meriam dari para pembela pribumi. Para pengintai menemukan posisi-posisi yang dibentengi di sepanjang pantai Selatan dan di perbukitan dan gagal menemukan tumpuan pantai yang tepat. Pada 7 Maret, sebuah rombongan penyelidik VOC mendarat di pulau tersebut namun dipukul mundur setelah jatuhnya korban satu orang tewas dan empat terluka.[7]

Pada 11 Maret, dia memerintahkan sebuah serangan yang menentukan. Dia membagi pasukannya menjadi beberapa kelompok, yang menyerang berbagai titik di pulau itu. Para penyerbu dengan cepat merebut benteng-benteng kunci, dan menjelang akhir hari, dataran rendah di bagian utara dan pegunungan yang memanjang ke laut di bagian selatan pulau tersebut. Para pembela dan penduduk lokal melarikan diri ke perbukitan yang membentuk pusat pulau itu, dengan pasukan Belanda dalam pengejaran. Pada akhir 12 Maret, Belanda menduduki seluruh pulau itu, dengan korban enam orang tewas dan 27 orang terluka.[8]

Perdamaian sementara

Setelah sukses awal Belanda tersebut, kaum bangsawan Lontor ("orang kaya") meminta perdamaian. Mereka menawarkan hadiah kepada Coen dan menerima semua tuntutan VOC. Mereka sepakat untuk menyerahkan senjata, menghancurkan benteng, dan melepaskan sandera. Mereka berjanji untuk membayar sebagian dari hasil panen mereka, dan menjual sisanya secara eksklusif kepada VOC dengan harga tetap. Sebagai gantinya, Belanda setuju untuk memberikan kebebasan pribadi pribumi, otonomi, dan hak untuk tetap mempraktikkan Islam.[9][2]

Dimulainya lagi permusuhan

Ketika perdamaian disepakati antara "orang kaya" dan VOC, sebagian besar penduduk pulau melarikan diri ke perbukitan, dan mulai melancarkan pertempuran kecil melawan Belanda. Coen membalas dengan menghancurkan desa-desa dan memaksa para penduduknya bekerja untuk VOC.[9]

Pada 21 April, Belanda memperoleh — melalui penyiksaan — pengakuan dari "orang kaya" bahwa ada persekongkolan melawan Belanda.[10] Coen menangkap setidaknya 789 "orang kaya" dan anggota keluarga mereka, dan mendeportasi mereka ke Batavia, di mana beberapa di antaranya diperbudak.[3][2] Dia memerintahkan pasukannya menyapu pulau tersebut untuk menghancurkan desa-desa dengan tujuan memaksa penyerahan penduduk.[3] Selama bulan-bulan berikutnya, Belanda dan para penduduk pribumi terlibat dalam pertempuran sengit. Melihat kehancuran yang disebabkan oleh Belanda, banyak pembela memilih mati kelaparan atau melompat dari tebing, bukannya menyerah.[2]

Menurut Coen, "sekitar 2.500" penduduk meninggal "karena kelaparan dan kesengsaraan atau oleh pedang", "sekelompok wanita dan anak-anak berkedudukan tinggi" dirampas, dan tidak lebih dari 300 orang melarikan diri.[3] Laporan lain memperkirakan bahwa dari 15.000 populasi di pulau ini, hanya 1.000 yang selamat, termasuk mereka yang tinggal atau melarikan diri ke pulau Ay-Run yang dikuasai Inggris.[3][2] Akademisi modern, termasuk Willard Hanna dan Vincent C. Loth, memperkirakan bahwa 90 persen penduduk tewas, diperbudak atau dideportasi selama kampanye militer tersebut.[11]

Setelah penaklukan

Setelah kampanye militer ini, Belanda menguasai hampir seluruh Kepulauan Banda. Inggris mengosongkan Pulau Run, dan hanya muncul sporadis di Nailaka. Dalam Perdamaian Breda tahun 1667, Inggris secara resmi menyerahkan seluruh klaim atas kepulauan tersebut.[5]

Kepulauan tersebut mengalami penyusutan populasi yang sangat parah akibat kampanye militer tersebut. Hanya sekitar 1.000 dari 15.000 penduduk yang tersisa.[2] Untuk menjaga pulau tersebut tetap produktif, VOC mengisi kembali populasi kepulauan tersebut, kebanyakan dengan budak-budak yang diambil dari daerah lainnya di Indonesia saat ini, India, pesisir Tiongkok, yang bekerja di bawah kekuasaan para pekebun Belanda (perkeniers).[12] Penduduk pribumi asli juga diperbudak dan diperintahkan untuk mengajar para pendatang baru tentang budidaya pala dan salut biji pala (fuli).[13] Perlakuan terhadap para budak sangat parah - populasi orang Banda asli turun menjadi seribu pada tahun 1681, dan 200 budak diimpor setiap tahun untuk menjaga agar populasi budak tetap stabil pada 4.000.[13]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b Rozendaal, Simon (2019). Zijn naam is klein: Piet Hein en het omstreden verleden (dalam bahasa Belanda). Amsterdam: Atlas Contact. hlm. 123–127. ISBN 9789045038797. Diakses tanggal 17 juni 2020. 
  2. ^ a b c d e f g Loth 1995, hlm. 18.
  3. ^ a b c d e Corn 1998, hlm. 170.
  4. ^ Encarta-encyclopedie Winkler Prins (1993–2002) s.v. "Banda-eilanden. §1. Geschiedenis", "Heemskerck, Jacob van". Microsoft Corporation/Het Spectrum.
  5. ^ a b c Loth 1995, hlm. 19.
  6. ^ Corn 1998, hlm. 165.
  7. ^ Corn 1998, hlm. 165–166.
  8. ^ Corn 1998, hlm. 166.
  9. ^ a b Corn 1998, hlm. 167.
  10. ^ Corn 1998, hlm. 169.
  11. ^ Lape 2000, hlm. 139.
  12. ^ Loth 1995, hlm. 24.
  13. ^ a b van Zanden 1993, hlm. 77.

Bibliografi